Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Sederet agenda olahraga di Indonesia hadir pada bulan suci Ramadhan 1440 H. Teramai, tentu saja gelaran Liga 1 yang baru saja memantaskan laga pembuka pada 15 Mei 2019 di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Itu di cabang sepak bola. Kompetisi lain yang tak kalah bergengsi dan diikuti oleh atlet-atlet Indonesia adalah Piala Sudirman 2019. Skuat bulu tangkis Indonesia yang terdiri dari 20 atlet ini sudah berada di Nanning, China, dan bakal memainkan laga perdana babak grup pada Minggu (19/5).
Lantas, apa hubungannya Liga 1, Piala Sudirman, dan bulan Ramadhan?
Begini. Untuk sebagian atlet, kewajiban mereka bertambah selama bulan Ramadhan. Selain menjalankan ibadah puasa bagi mereka yang beragama Islam, sebagai atlet profesional mereka pun harus melakoni rutinitas, yakni latihan dan berkompetisi.
Kemudian muncul pertanyaan menyoal pengaruh puasa di tengah intensitas latihan dan kompetisi yang dilalui para atlet. Apakah tak menurunkan performa? Apa sebaiknya tak puasa saja? Atau sebetulnya latihan bisa dimodifikasi selama bulan Ramadhan?
ADVERTISEMENT
Dari penuturan Mury Kuswari Spd., MSi, Ketua Umum Asosiasi Nutrisionis Olahraga dan Kebugaran Indonesia (ANOKI), kepada kumparanSPORT, puasa nyatanya tak memengaruhi performa atlet, apa pun cabang olahraga yang ditekuni.
Semua Butuh Adaptasi
Secara umum, kata Mury, tubuh orang awam atau atlet sekali pun membutuhkan adaptasi ketika berpuasa selama satu bulan. Maka, pekan pertama disebut sebagai fase terberat karena tubuh masih menyesuaikan pola makan yang berubah.
"Tidak memengaruhi performa atlet. Yang jadi masalah 'kan orang yang tak biasa puasa, lalu harus puasa. Di minggu pertama itu fase adaptasi. Di minggu-minggu selanjutnya harusnya tidak ada masalah dengan pola latihan," kata Mury saat dihubungi kumparanSPORT, Jumat (17/5).
"Adaptasi bukan cuma masalah atlet atau non-atlet, tapi fisiologis kita yang butuh adaptasi. Biasanya makan jam 7-8 pagi, ditarik jam 4 pagi. Yang biasa makan siang didorong ke jam 6 sore. Jangan katakan puasa itu berat, memang di minggu pertamanya saja karena adaptasi," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Itu dari aspek adaptasi tubuh secara umum. Mury tak menampik ada perbedaan menyoal pengeluaran energi hingga rutinitas buat atlet dan non-atlet. Oleh karena itu, agar performa atlet tak menurun, maka dilakukan penyesuaian waktu bertanding atau latihan.
"Ketika bicara tentang atlet, di sana ada kemampuan maksimal dari tubuhnya. Dia mau tanding, mau latihan. Kalau orang biasa tidak perlu maksimal, kalau atlet at least 80-90% dari kemampuan tubuh. Dia mengeluarkan segitu banyak, sedangkan kondisinya berpuasa. Biasanya di Indonesia ada penyesuaian jadwal," jelas Mury.
Bagaimana Bentuk Penyesuaian Latihannya?
Yang paling mencolok selama berpuasa adalah perubahan jadwal makan atlet. Akibatnya, kata Mury umumnya latihan dengan intesitas tinggi digeser ke malam atau sore hari, 1-2 jam menjelang waktu berbuka.
ADVERTISEMENT
Tujuan utama latihan malam hari (biasanya pukul 20:00) agar atlet terbiasa dengan jadwal pertandingan yang diubah. Ambil contoh Liga 1 yang kick-off-nya dimulai pukul 20:30 WIB.
"Yang harus disesuaikan adalah pola latihan untuk adaptasi menuju pertandingan, jadi dibikin semirip mungkin suasananya dengan hari biasa. Kalau malam, latihan beratnya malam. Di situ kita tahu bahwa latihan terbaik adalah malam hari setelah berbuka."
Tapi, melakoni latihan hanya satu sesi (malam hari) tentu tak akan cukup bagi atlet--terlebih jika berada di periodisasi kompetisi. Maka, Mury menyebut banyaknya sesi latihan tetap diberikan seperti umumnya di waktu tak berpuasa.
"Kalau latihannya cuma malam hari tidak cukup, jadi ada latihan pagi atau sore. Kalau pagi, biasanya dipakai untuk latihan teknik, strategi. Fungsinya untuk menjaga kondisi tubuh, tapi strategi dan teknik lebih ditekankan, jadi latihannya tak terlalu berat," jelas sosok berusia 34 tahun ini.
ADVERTISEMENT
"Saya lihat mayoritas yang berlatih di Indonesia biasanya setelah salat tarawih. Kondisinya atlet berpuasa, makan tidak seperti biasanya. Jangan sampai yang dikorbankan latihannya, nanti performanya menurun. Jadi. waktunya yang diganti setelah buka puasa dengan fase dan intensitas seperti tidak puasa."
Bahkan Mury menyebut 1-2 jam sebelum waktu berbuka adalah fase terbaik untuk berolahraga. Pasalnya, di waktu tersebut, sumber energi menurun banyak sehingga mengubah lemak menjadi sumber energi utama. Dengan kata lain, pemakaian lemak bisa meningkat 2-3 kali lebih banyak ketika berolahraga 1-2 jam sebelum berbuka.
"Latihan sore jelang berbuka ini menarik karena fase terbaik berolahraga. Metabolisme lemak dipakai sebagai sumber energi. Nah, kalau kita berolahraga, pemakaiannya 2-3 lebih banyak. Dengan syarat, seseorang tersebut cukup Vitamin D karena yang membawa lemak sebagai fungsi transportasi adalah vitamin itu."
ADVERTISEMENT
"Gampang supaya kita bisa mendapat Vitamin D, tak harus berjemur. Bisa saat bawa sepeda motor ke kantor atau terkena paparan sinar dari helm," jelasnya.
Pola latihan yang juga dimodifikasi sedemikian rupa, bisa digunakan oleh semua atlet di berbagai cabang. Menurut pria yang juga bertugas sebagai pembina di KONI Situbondo itu, puasa tak akan menurunkan performa selama mengatur pola latihan dengan tepat.
"Ketika dilakukan terus berulang selama sebulan, mau itu latihan sepeda, sepak bola, asalkan latihan dijaga stabil, maka puasa tak akan menurunkan performa. Setidaknya menjaga, ya, tidak menurun. Kalau mau ditingkatkan tentu bisa, kalau menurun berarti waktu latihan dan zat gizi yang diberikan tidak baik."
Analogi Mesin Mobil
Latihan yang sudah terjaga karena dimodifikasi belum tentu bisa menjaga performa atlet. Apa pasal? Jika pola makan dan asupan gizi yang diberikan kepadanya selama berpuasa tidak tepat, proses pemulihan tubuhnya tak sempurna yang membuat risiko cedera meningkat.
ADVERTISEMENT
"Gizi itu seperti bahan bakar. Kalau ibarat mobil, atlet itu Ferrari, misalnya. Jika mobil itu diberi bahan bakar oplosan, percuma mesin kuat, tapi bahan bakar jelek. Atau jangan-jangan salah bahan bakar. Mestinya bensin, malah solar, hancur itu mesin. Kasus lainnya bahan bakar sudah tepat, tapi tangki 40 liter cuma diisi 10 liter, ya, cepat habis," kata Mury.
Tak bisa dimungkiri bahwa atlet punya kualitas dan massa otot lebih baik ketimbang non-atlet. Karena itu pula, tubuh meminta asupan lebih banyak. Tapi, Mury menegaskan butuh kontrol agar pola makan tak merusak tubuh dan hasil latihan.
"Bahan bakar yang baik adalah sesuai dengan pola makan kita. Porsi harus detail, setiap orang diukur berat badan, tinggi, latihannya apa saja. Untuk si A itu 2.500 kalori karena kiper, si B 3.500 karena penyerang."
ADVERTISEMENT
"Tapi jangan sampai diisi penuh dengan komposisi tidak seimbang. Jangan sampai lemak lebih dari 20%. Saat sahur, jangan sampai sumber energi kurang atau lebih. Biasanya makan satu porsi malah tambah atau dikurangi. Tidak membentuk pola, nanti tubuh bingung karena kadang rendang kadang tinggi."
"Atlet itu energinya berkurang saat puasa, cara mengatasinya dengan membuat waktu makan lebih banyak. Tidak hanya saat sahur dan berbuka puasa, tapi juga di antara jeda itu, contohnya setelah salat tarawih makan dan sebelum tidur, tapi dengan porsi kecil. Misalnya makanan mengandung protein dan karbohidrat. Jadi bisa empat kali dengan makan sahur," jelasnya.
Terkait masalah asupan dan bagaimana pola yang seharusnya dijalani seorang atlet, pengajar Ilmu Gizi Olahraga di Universitas Esa Unggul, Jakarta, ini punya beberapa saran.
ADVERTISEMENT
"Kadang atlet susah makan sayur dan buah. Kalau begini, boleh ditambahkan vitamin mineral, seperti suplemen. Tapi tak perlu yang macam-macam. Suplemen itu karena orang makannya kurang lengkap, karena kalau sudah bagus terus minum itu malah berlebih. Nanti dibuang oleh tubuh atau mengendap jadi racun."
"Kemudian pemilihan makan harus beraneka ragam, banyak pilihan jangan kekurangan protein. Jangan kebanyakan nasi, padahal atlet butuh protein karena tubuhnya dipaksa melakukan latihan berat. Sahur butuh protein supaya kenyangnya lebih lama, jangan sampai jam 8 pagi sudah lapar lagi, padahal masih ada latihan sore dan tidak ada energi lagi," jelas Mury sambil berkelakar.
"Perhatikan juga deuretik. Banyak atlet saat sahur minum teh atau kopi yang bisa bikin kita sering mengeluarkan cairan tubuh karena mengandung kafein. Tapi yang biasa minum kopi, silakan. Asal jangan sampai lebih dari tiga gelas saja. Lalu cukupkan istirahat, bukan lamanya, tapi kualitasnya," ucap lulusan S1 Kepelatihan Olahraga UPI Bandung tersebut.
ADVERTISEMENT
***
Pada umumnya, Mury memastikan bahwa puasa sebetulnya tak menghalangi atlet untuk tetap berlatih. Tapi, tak dimungkiri butuh serangkaian modifikasi terhadap detail-detail besar hingga kecil dalam keseharian atlet.
Sistem tadi bukan sesuatu yang sulit dilakukan menurut Mury. Di tempat ia kini memberi bimbingan gizi, yakni atlet-atlet naungan KONI Situbondo, mencoba untuk menerapkan pola latihan dan pola makan yang sesuai dengan kebutuhan tubuh dan porsi latihan yang dijalani.
"Kalau sekarang, teman-teman dari KONI Situmbondo sedang melakukan pola seperti yang tadi saya jelaskan. Kebetulan mereka punya target emas lumayan banyak di Porprov Jawa Timur nanti. Memang masih atlet junior, tapi sudah didampingi agar paham bahwa gizi bukan makan banyak atau enak, tapi makan sesusai kebutuhan tubuh dan program latihan dari pelatih," pungkas Mury.
ADVERTISEMENT