Perjalanan Agus Dwi Santoso Menempa Mental Tunggal Putra Thailand

20 Juli 2019 11:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelatih tunggal putra Thailand asal Indonesia, Agus Dwi Santoso. Foto: Aditia Rizki Nugraha/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih tunggal putra Thailand asal Indonesia, Agus Dwi Santoso. Foto: Aditia Rizki Nugraha/kumparan
ADVERTISEMENT
Enam bulan sebelum gelaran Indonesia Open 2019, Agus Dwi Santoso mendapat pekerjaan baru. Ia ditunjuk oleh Federasi Bulu Tangkis Thailand (BAT) menjadi juru latih sektor tunggal putra dan putri.
ADVERTISEMENT
Sebelum hijrah ke Thailand, Agus merupakan pelatih sektor tunggal Korea Selatan (Korsel) sejak 2016. Lewat tangan dinginnya, beberapa pebulu tangkis ‘Negeri Ginseng’ bisa berbicara banyak di kancah tepok bulu dunia.
Salah duanya adalah tunggal putra, Son Wan-hoo, yang menjadi runner-up Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2017, dan tunggal putri Sung Ji-hyun yang dua kali meraih predikat runner-up Kejuaraan Dunia (2017 dan 2018).
Prestasi terbaik Agus bersama Korea Selatan adalah mempersembahkan trofi Piala Sudirman 2017 di Australia. Di partai pemungkas, Korsel keluar sebagai jawara usai mengalahkan China dengan skor 3-2.
Mantan anak didik Agus Dwi Santoso, Sung Ji-hyun. Foto: AFP/Roslan Rahman
Jauh sebelum melatih Korsel, Agus sempat mengabdi buat tanah kelahirannya, Indonesia. Kini, Thailand sebagai destinasi selanjutnya disebut Agus memberikan tantangan berbeda ketimbang Korsel atau Indonesia.
ADVERTISEMENT
Paling kentara, kata Agus, adalah aspek mental yang dimiliki oleh para atlet Thailand, khususnya atlet di sektor tunggal yang ia tangani. Agus tak menampik potensi yang dimiliki para pemain Thailand menyoal teknik, tapi Agus menyebut fokusnya selama enam bulan terakhir adalah memperbaiki aspek psikis.
“Pemain Thailand mentalnya tidak ada. Pemain Thailand 'kan dulu terkenal kalau di gim pertama menang terus di gim kedua kalah, di gim ketiga tidak mau memaksakan diri. Kalau di gim pertama sudah kalah, gim kedua biasanya dilepas,” kata Agus saat ditemui di area mixed zone Istora.
“Jadi, bagaimana cara bisa mengubah mindset-nya mereka. Pemain Thailand menurut saya banyak yang berbakat, bahkan banyak pemain junior yang menonjol, tapi saat masuk ke level senior banyak hilang. Membentuk karakter itu tidak gampang,” tuturnya menambahkan.
ADVERTISEMENT
Jerih payah Agus mulai terlihat di gelaran Indonesia Open 2019 dengan lolosnya Kantaphon Wangcharoen ke semifinal. Perjalanannya menuju babak ini pun impresif. Ia lebih dulu mengalahkan wakil tuan rumah, Anthony Sinisuka Ginting, di 16 besar.
Di perempat final, Jumat (19/7/2019), Wangcharoen mengalahkan tunggal putra China, Huang Yu Xiang, yang sebelumnya mengalahkan unggulan pertama turnamen asal Jepang, Kento Momota.
Berkaca dari rapor Wangcharoen di edisi tahun lalu, raihan di tahun ini merupakan peningkatan karena pada gelaran sebelumnya ia hanya sampai di perempat final usai dikalahkan oleh legenda Malaysia, Lee Chong Wei.
Perjalanan impresif Wangcharoen disebut Agus tak terlepas dari persiapan matang, khususnya menyoal penguatan mental untuk menghadapi atmosfer Istora yang terkenal berisik. Oleh karena itu, Agus menerapkan suasana latihan semirip mungkin dengan kondisi ketika pertandingan sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
“Kesatu saya bilang dia harus bersiap susah dulu, kemudian dari awal kita sudah mempersiapkan di sana (Thailand) bahwa kondisi Indonesia Open itu berbeda. Satu angin, kemudian masalah penonton, bagaimana caranya mengubah penonton biar bisa mendukung kita,” jelas Agus.
Suasana Istora Senayan. Foto: AFP/Adek Berry
“Lebih ke mentalnya, harus bersiap susah. Kami juga punya persiapan sekitar empat minggu sebelum Indonesia Open. Semenjak Australia Terbuka 2019 itu kita punya banyak waktu. Dia juga pernah main di Istora, bagaimana mengkondisikan latihan seperti pertandingan sesungguhnya,” lanjutnya.
Selain keberhasilan mengatasi tekanan, Agus menyebut beberapa faktor dalam diri Wangcharoen sebagai pendukung lain sehingga pemain berusia 20 tahun itu mampu tampil ciamik di Indonesia Open 2019.
“Fisiknya dia kuat. Kalau dulu hanya kuat tapi tidak bisa ngatur, masih muda wajar pikirnya ingin menyerang terus. Tapi, sekarang ada sabarnya, sudah mulai berpikir. Dia ngotot, anaknya pekerja keras, tidak gampang mengeluh, terus dia patuh. Pelatih bicara apa dia ikuti, saya salut dengan sikap itu," puji Agus.
ADVERTISEMENT
Agus mengakui pencapaian Wangcharoen kali ini sudah melebihi target awal. Kadung berlanjut, kata Agus, ia berharap pemain didikannya bisa meneruskan langkahnya lebih jauh.
Selain itu, Agus berkomitmen untuk mengantarkan pemain Thailand mentas di Olimpiade 2020. Tak hanya Wangcharoen, ada pula Khosit Phetpradab, Suppanyu Avihingsanon, Nipitphon Phuangphuapet, Busanan Ongbamrungphan, dan Nitchaon Jindapol, sebagai atlet lain yang dilatih olehnya.
Pemain tunggal putri Thailand, Nitchaon Jindapol. Foto: AFP/Sonny Tumbelaka
“Sudah lanjut, sudah tanggung. Semua pemain di sini bertanding hidup mati karena satu tahun sebelum Olimpiade tidak ada pemain yang melepas dan semuanya ingin berangkat ke sana," ucap Agus.
“Semua pemain diproyeksikan untuk Olimpiade 2020, kita coba adil. Sama seperti di Indonesia sistemnya, seperti Marcus/Kevin dan Fajar/Rian, ada juga Ahsan/Hendra. Bagaimana caranya bisa masuk peringkat 16 besar dunia dulu agar bisa mengirimkan dua pemain."
ADVERTISEMENT
“Saya hanya berpikir bagaimana caranya latihan berjalan. Kalau di awal banyak pemain yang mudah kalah pasti federasi banyak protes, padahal para pemain masih dalam progres. Saya berharap setelah ada hasilnya, bisa meredam tekanan.”
“Yang penting saya bisa melindungi para pemain karena biasanya situasi seperti itu membuat tekanan langsung diberikan kepada pemain. Target saya mengantarkan anak-anak ke Olimpiade 2020,” jelasnya panjang lebar.
Agus akan kembali mendampingi Wangcharoen dari pinggir lapangan Istora pada laga semifinal melawan unggulan keempat asal Taiwan, Chou Tien Chen, Sabtu (20/7).