Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Piala Uber 1998: Dicari dan Dicaci, Susy Susanti Tetap Kembali
18 Mei 2018 10:24 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB

ADVERTISEMENT
Jika romansa sudah menyelimuti benak seorang wanita, maka seburuk apa pun takdir yang terjadi tak akan mengubah kecintaan pada tokoh utama. Adalah Susy Susanti, pebulu tangkis wanita yang memiliki kisah tersendiri tentang Indonesia di salah satu lembaran dalam antologi perjalanan kariernya.
ADVERTISEMENT
Salah satu fragmennya adalah situasi pada Mei 1998. Dari tahun kejadian mudah ditebak, alur cerita yang tersaji tidak seindah senandung cinta lainnya. "Waktu berangkat kami masih aman-aman saja, justru dilepas oleh Presiden Soeharto. Ketika pulang, disambut Presiden Habibie. Ha ha ha," begitu ucapan yang keluar dari mulut Susy kepada kumparanSPORT.
Jangan harap obrolan Susy selanjutnya masih seringan celotehan pertamanya. Tampil di Hong Kong, hari-hari Susy diselimuti perasaan was-was. Bagaimana tidak, dalam kondisi berjuang mewakili bangsa Indonesia, keluarga yang ia tinggalkan di Tanah Air justru harus bertaruh nyawa.
Mei 1998 memang menjadi bagian kelam dalam sejarah Indonesia. Kerusuhan rasial menjadi tajuk utama.
Begitu banyak rumah dan toko milik etnis Tionghoa yang dirusak, dibakar, hingga dijarah oleh oknum yang berlindung di balik nama 'pribumi'. Tak hanya kondisi Jakarta yang porak-poranda, nasionalisme pun hilang menyaru dalam asap hitam yang membumbung tinggi.
ADVERTISEMENT
Dalam gentingnya situasi itu, justru Susy --yang juga keturunan Tionghoa dan menjadi sasaran amuk massa-- masih teguh menjunjung kecintaan pada 'Merah-Putih'.
"Di Hong Kong khawatir banget, sebentar-sebentar telepon (keluarga). Waktu itu, Manajer Tim (Almarhum) Agus Wirahadikusumah buka 24 jam kamar untuk telepon. Waktu itu pun kartu kredit di-block, tidak bisa bayar hotel, tidak bisa makan. Hingga akhirnya Direktur Sinar Mas Gandi Sulistiyanto menyusul bawa uang cash, kalau tidak kami diusir (dari hotel)," tuturnya.
"Dia bawa sendiri ke dalam kondisi Jakarta lagi rusuh, sementara kami di Hong Kong sedang bertanding. Jadi, sambil main sambil diarahkan: 'Sudah dekat? Sudah dekat? Di mana?' Seperti itu."
"Pasti panik, karena salah satu target utama adalah rumah saya. Rumah saya dibakar, yang di Tasikmalaya kena lemparan, malah dicari. Mungkin (saat itu) ada yang mengatur cari pom bensin mau dibakar. Tapi, tetangga menjaga, bilang: 'Nggak ada. Ini rumah haji siapa haji siapa (bukan rumah Susy).' Semua menjaga," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Dengan suara bergetar, emosi Susy terasa meninggi kala mengingat dan menceritakan kembali tragedi itu. Ia tak menampik tragedi 13-14 Mei 1998 masih terbawa di Piala Thomas dan Uber yang dibuka 15 Mei.
Saat itu, fokusnya terpecah dan harus dibayar dengan hilangnya gelar Piala Uber. Di final pada 23 Mei 1998, Susy sebagai tunggal pertama gagal menyumbang poin. Kekalahan berlanjut kepada Zelin Resiana/Indarti Isolina, Mia Audina, dan Meiluawati. Kemenangan hanya direngkuh pasangan Eliza Nathanael/Deyana Lomban.

Susy pun kembali menunjukkan 'luka' yang didapatnya saat itu. Dicari di Tanah Air, dicaci di negeri seberang. Media Hong Kong yang turut memberitakan kondisi pada Mei 1998 ikut mempertegas kebencian dunia pada Indonesia.
ADVERTISEMENT
Padahal, meski gagal mempertahankan gelar Piala Uber, sudah banyak prestasi Susy yang membuat bangsa Indonesia bisa berdiri tegak di hadapan dunia, termasuk emas pertama di Olimpiade Barcelona 1992.
"Bahkan waktu itu jaket dibalik, wong satu gedung kami sudah disorakin semua, kok. Saya di Indonesia dimusuhin mau dibakar rumahnya."
"Di sana pun (berita) dicari, tahu bagaimana kelakuan (massa) di Tanah Air yang lagi biadab. Di sana ikut lempar telur, jadi diarahin juga (setiap tindakan) kami. Satu gedung, sih, sudah musuhin Indonesia. (Mereka) tahu keadaan di Indonesia; yang diperkosa, dibunuh, disiksa, dibakar, dan dijarah."
"(Mereka itu) nasionalis? Di mana nasionalisnya? Apa? (Malah) merusak bangsa. Apa, sih, yang sudah diperbuat (massa) untuk Indonesia? Malah menjelekkan di mata dunia."
ADVERTISEMENT
"Kami (etnis Tionghoa) yang sudah ini (berprestasi) saja malah diarah (jadi sasaran). Makanya, kalau ditanya apakah lebih nasionalis, meskipun saya keturunan Tionghoa saya jauh lebih nasionalis. Daripada menghancurkan bangsa sendiri, membunuh saudara-saudara sendiri, dan memecah belah bangsa," kecamnya.
Susy sendiri beruntung karena tidak ada keluarganya yang menjadi korban. Sementara, pemain putri lain yang mayoritas beretnis Tionghoa, sama khawatirnya seperti Susy. Mereka berlatih sambil disela menelepon keluarga dan kerabat di Tanah Air. "Aaah.. Sudah dekat rumah," begitu Susy menggambarkan kengerian saat itu.
"Saya yang keturunan Tionghoa jauh lebih nasionalis dari yang merasa dirinya pribumi. Kenapa? Saya berbuat untuk Indonesia. Saya berjuang pada saat orang-orang justru menghancurkan negara kita. Korupsilah, pecah-belahlah, politiklah, malah yang jadi korban rakyat. Sampai disuruh buka (jaket), dibalik, jangan sampai ada nama 'Indonesia',"
ADVERTISEMENT
"Saya di Hong Kong waktu itu malah sempat ditanya kru televisi: 'Apa mau minta suaka?' Saya jawab, baik-buruk itu negara saya, saya tidak ikut campur urusan politik. Keluarga saya di Indonesia, saya tetap akan kembali ke Indonesia," ucap Susy menutup ceritanya dengan penuh arti.

Piala Uber 1996 menjadi titel terakhir yang direngkuh skuat putri Indonesia. Pencapaian tertinggi selanjutnya sama seperti 1998, yakni runner-up pada Piala Uber 2008.
Saat ini, istri dari Alan Budikusuma itu menjabat sebagai Kepala Bidang Pembinaan Prestasi PBSI. Sebagai legenda hidup, semoga saja perjuangan dan prestasi Susy bisa menular kepada generasi terbaru yang menjadi ujung tombak tunggal putri: Fitriani dan Gregoria Mariska Tunjung.
***
ADVERTISEMENT
Atas segala hal yang dialami dan diupayakan Susy, bulu tangkis pada akhirnya mengajarkan kita semua: Setiap orang punya daya untuk memberikan yang terhebat bagi tanah airnya. Setiap orang bisa menjadi pahlawan, berlintang-pukang di atas lapangan, membalas pukulan lawan dengan smes keras yang berbuah angka dan menggiring pada podium tanda gelar juara.
Susy Susanti pada akhirnya akan terus menjadi tokoh utama dalam lembaran rapor emas bulu tangkis Indonesia. Raketnya mungkin sudah tak mengayun sekencang dulu, tapi renjanan tak akan mati dimakan zaman dan usia.
Lantas, itu pulalah yang harus dihidupi dan dikerjakan sekuat-kuatnya oleh 20 atlet PBSI yang sebentar lagi berjuang mengibarkan 'Merah-Putih' di Piala Thomas dan Uber 2018, 20-27 Mei nanti di Thailand. Karena bagaimanapun, serupa ungkapan manusia tidak diciptakan untuk ditaklukkan, ke-20 atlet itu pun tidak berangkat untuk sekadar takluk pada satu atau dua kekalahan.
ADVERTISEMENT