Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Putra Sang Angin, Legenda Dunia Balap, John Surtees
23 Maret 2017 12:23 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT

"John, cobalah balap mobil. Nggak perlu pakai diberdirikan segala."
ADVERTISEMENT
Mendiang Mike Hawthorn, juara dunia Formula 1 (F1) 1958, hanya bercanda ketika dia melontarkan kata-kata itu. Lagipula, malam itu suasana sedang santai. Disuguhi berbagai hidangan lezat dan anggur berkualitas di acara makan malam resmi Sportsman of the Year 1959, Mike Hawthorn dan John Surtees bercengkrama.
Keduanya pebalap hebat dari dua ajang berbeda. Hawthorn adalah jawara di balap empat roda, sementara Surtees merupakan penguasa ajang roda dua. Pada tahun 1958, mereka sama-sama menjadi juara dunia dan setahun berikutnya, Surtees dianugerahi gelar Sportsman of the Year oleh BBC setelah berhasil memertahankan gelar juara Grand Prix (GP) 500cc. Malam itu, semuanya memang untuk Surtees.
Tak lama setelah John Surtees menerima penghargaan tersebut, Mike Hawthorn meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Maut mendatangi Hawthorn tak lama setelah dia memutuskan untuk menggantung helm.
ADVERTISEMENT
Hawthorn mungkin tak menyangka jika gurauannya itu ditanggapi serius oleh Surtees. Pada tahun 1960, kurang lebih setahun setelah Hawthorn wafat, Surtees benar-benar hijrah dari balap roda dua ke roda empat. Dia bergabung dengan tim yang pernah dibawa Hawthorn menjadi kampiun, Scuderia Ferrari, dan empat tahun kemudian, Surtees menyusul Hawthorn menjadi juara F1.
***
John Surtees adalah orang asli Inggris, tetapi dia juga dicintai oleh orang-orang Italia. Tak mengherankan, memang, mengingat selain bersama Ferrari di F1, Surtees sebelumnya sudah berjasa mengharumkan nama pabrikan Italia lain, MV Agusta, di ajang balap GP 500cc.
Il Grande Gianni atau Big John, begitu dia biasa disapa. Padahal, tak seperti Giorgio Chinaglia yang dijuluki Long John oleh orang-orang Amerika, Surtees berperawakan kecil. Namun, hal itu seperti jadi tak kasatmata ketika Surtees menunggangi motor balapnya.
ADVERTISEMENT
Julukan lain yang disematkan kepada Surtees adalah "Figlio del Vento" alias "The Son of the Wind". Putra Sang Angin. Dengan posturnya yang mungil, ketika dia sedang melaju dengan sepeda motor balapnya, Surtees memang terlihat seperti mengendarai angin.
Orang bilang, bensin mengalir di pembuluh darah John Surtees dan tentu saja ini hiperbolis. Meski begitu, Surtees memang sudah mengenal dunia otomotif sejak masih kanak-kanak. Pada usia 11 tahun, dia sudah mampu merakit sepeda motor sendiri.
Ayahnya, Jack, adalah seorang penjual mobil di London Selatan dan suatu hari, dia pernah mengajak John untuk mengikuti balap motor dengan menumpang sespan. Mereka menang hari itu. Namun, Jack dan John Surtees kemudian didiskualifikasi karena John belum cukup umur.
ADVERTISEMENT
Baru pada usia 15 tahun John Surtees mulai membalap secara kompetitif dan dua tahun kemudian, dia mulai mencuri perhatian. Ketika itu, pada tahun 1951, dia berhasil menyulitkan pebalap dari pabrikan Norton, Geoff Duke, pada sebuah balapan di Sirkuit Thruxton. Empat tahun kemudian, dengan sama-sama mengendarai sepeda motor Norton, Surtees akhirnya berhasil mengalahkan Duke di Brands Hatch yang kala itu masih merupakan trek rumput.
Namun, kiprahnya bersama Norton tak berlangsung lama karena pabrikan tersebut mengalami kesulitan keuangan dan tidak bisa menjamin bahwa mereka akan mengikuti kompetisi. Petaka Norton ini kemudian dimanfaatkan oleh MV Agusta dari Italia.

Setelah Franco Bertoni menjuarai GP Italia 125cc pada tahun 1949, MV Agusta mulai menjadi pabrikan yang diperhitungkan di dunia balap motor. Ambisi mereka ini kemudian mereka wujudkan dengan merekrut John Surtees yang kala itu masih berusia 21 tahun.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di Italia, Surtees disambut langsung oleh pemilik pabrikan, Count Domenico Agusta, yang merupakan putra sang pendiri, Count Giovanni. Di sana, dia kemudian dianggap sebagai bagian dari Keluarga Agusta.
Namun, relasi manis ini kemudian ternodai oleh apa yang ditulis media-media Italia. Mereka menyebut bahwa Surtees tidak membutuhkan Agusta untuk menjadi juara dan hal ini membuat Domenico Agusta murka. Meski tidak menyalahkan Surtees, dia tetap melarang sang gacoan untuk mengikuti ajang balap lain, bahkan di waktu senggangnya sekalipun.
Bersama MV Agusta, Surtees turun di dua ajang berbeda, yakni 350cc dan 500cc. Di nomor yang lebih kecil, dia berhasil menjadi juara tiga kali (1958, 1959, 1960), sementara empat gelar juara (1956, 1958, 1959, 1960) dia raih di nomor paling bergengsi. Prestasi ini nantinya memang bakal dilampaui oleh Giacomo Agostini pada dekade 1960-an, tetapi Surtees-lah yang menjadi pionirnya.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1960, Surtees resmi meninggalkan Grand Prix sepeda motor dan terjun ke Formula 1. Debutnya dia lakukan di Monaco dengan mengendarai mobil dari pabrikan asal Inggris, Lotus. Pada musim itu, dia hanya membalap sebanyak empat kali dan tiga balapan di antaranya gagal diselesaikannya.
Meski begitu, dia berhasil menjadi runner-up di rumah sendiri. Di klasemen akhir, dia ada di posisi ke-14 dengan koleksi enam poin.
Kesulitan di musim pertama, musim kedua Surtees di F1 pun tidak berjalan dengan mulus. Masih dengan tim Lotus yang menggunakan mesin Coventry Climax, dia gagal menyelesaikan lima dari delapan balapan yang diikuti. Selain itu, dari tiga balapan yang berhasil dirampungkan, tak sekali pun dia mampu naik ke atas podium.
ADVERTISEMENT
Baru di musim ketiga Surtees menunjukkan bahwa dia memang pebalap hebat. Dua runner-up, dua posisi lima, dan satu posisi empat berhasil dia persembahkan untuk Lotus. Catatan itu membuatnya finis di posisi keempat klasemen akhir dengan koleksi 19 poin.

Kesuksesan Surtees di musim ketiga itu membawanya ke Scuderia Ferrari dan di musim pertamanya bersama tim asal Italia itu, Surtees meraih gelar juara dunia Formula 1. Meski gagal menyelesaikan tiga balapan, dua kemenangan ditambah tiga runner-up dan satu tempat ketiga sudah cukup untuk menyegel gelar. Gelar juara Surtees itu sendiri dia raih setelah sang rival utama, Graham Hill, bertabrakan dengan Lorenzo Bandini di balapan terakhir di Mexico City, Meksiko.
Total, Surtees menghabiskan waktu 12 tahun di Formula 1 dan pada tiga musim terakhir, dia turun berlaga dengan timnya sendiri, Surtees Racing Organisation. Adapun, kiprahnya bersama Ferrari berakhir dengan pahit pada tahun 1966 setelah dia bertengkar dengan manajer tim Eugenio Dragoni.
ADVERTISEMENT
Surtees Racing Organisation sendiri, atau Team Surtees, bertahan selama delapan tahun sebelum bubar jalan karena ketidaktersediaan dana. Salah satu pebalap yang pernah berkiprah di Team Surtees adalah Mike Hailwood, juara dunia GP 500cc empat kali bersama MV Agusta. Namun, kiprah Hailwood di F1 tidak sebaik Surtees. Selama tiga tahun memperkuat Team Surtees, misalnya, dia hanya mampu mengemas total 16 poin dan sekali naik ke atas podium.
Setelah Team Surtees gulung tikar, John Surtees memilih untuk kembali ke kampung halaman dan meneruskan jejak ayahnya dengan berjualan mobil dan sepeda motor. Meski begitu, dia tak pernah benar-benar berhenti dari dunia balap. Antara tahun 2005-2007, misalnya, dia terlibat di ajang balap antarnegarara A1 dengan menjadi chairman Team Great Britain.
ADVERTISEMENT
Darah balap John Surtees pun diturunkan kepada sang anak, Henry, yang berasal dari pernikahan kedua. Sayang, sebelum sempat meraih kejayaan, Henry meninggal dunia menyusul sebuah kecelakaan di Brands Hatch. Ironisnya, Brands Hatch adalah tempat yang dulu jadi batu loncatan John Surtees. Ketika meninggal, Henry baru berusia 18 tahun.
***
Hari-hari terakhir John Surtees memang tidak terlalu disesaki hiruk-pikuk. Dia lebih banyak berkutat dengan Henry Surtees Foundation, sebuah yayasan yang didirikannya untuk membantu para pengidap cedera otak. Sesekali memang dia masih terlibat dengan dunia balap, termasuk ketika diberi kehormatan menyerahkan medali di podium GP Formula 1 Britania pada 2014 lalu.
Ketika John Surtees wafat pada 10 Maret 2017 lalu, dunia balap pun berduka dan duka itu, setidaknya bagi juara F1 1996 Damon Hill, tidak dibuat-buat. Bagi putra Graham Hill itu, satu hal yang akan selalu diingatnya adalah seringai Surtees. "Seperti emoji "smiley" yang kita gunakan di pesan singkat," tulis Hill di The Telegraph.
ADVERTISEMENT