Sains di Balik Maraton 1:59:40 Eliud Kipchoge

18 Oktober 2019 13:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Eliud Kipchoge di Ineos 1:59 Challenge. Foto: Reuters/Leonhard Foeger
zoom-in-whitePerbesar
Eliud Kipchoge di Ineos 1:59 Challenge. Foto: Reuters/Leonhard Foeger
ADVERTISEMENT
Maraton boleh saja diciptakan oleh orang-orang Yunani Kuno, tetapi di dunia modern ini kiprah mereka praktis tak terdengar sama sekali. Justru, hampir di setiap perlombaan maraton, mereka yang keluar sebagai juara biasanya berasal dari negara-negara Afrika Timur.
ADVERTISEMENT
Kenya, Ethiopia, dan Eritrea. Tiga negara itulah yang pelarinya begitu mendominasi maraton di era modern. Rupanya, dominasi ketiga negara tersebut, seperti halnya dominasi Jamaika di cabang sprint, tidak datang dengan tiba-tiba. Ada perpaduan beragam faktor di baliknya.
Menurut studi yang dilansir Fitness Genes, ada faktor lingkungan dan sosial yang berkontribusi atas dominasi para pelari Afrika Timur itu. Mereka yang berasal dari Lembah Rift, khususnya orang-orang beretnis Kalenjin dan sub-suku Nandi, punya keunggulan-keunggulan tersendiri.
Orang-orang tersebut sudah terbiasa terekspos pada ketinggian sehingga kapasitas paru-paru mereka dari sananya memang lebih besar. Dipadukan dengan latihan berintensitas tinggi dan motivasi besar, mereka pun kemudian bisa menjadi pelari andal.
Salah satu pelari jarak jauh paling dominan di abad ke-21 ini adalah Eliud Kipchoge asal Kenya. Awalnya, pria yang sekarang berumur 34 tahun itu tidak berkiprah di maraton, melainkan nomor jarak jauh lain 3.000 dan 5.000 meter. Gelar juara dunia 2003 yang dia dapatkan ada pada nomor 5.000 meter.
ADVERTISEMENT
Eliud Kipchoge sukses merampungkan maraton di bawah dua jam. Foto: Reuters/Leonhard Foeger
Di nomor 5.000 meter itu, perlombaan masih digelar di trek lari sebagaimana nomor-nomor sprint populer macam 100 meter, 200 meter, serta 4x100 meter. Lalu, pada 2012 Kipchoge memutuskan banting setir. Sejak itu dia berlaga di balap lari jalan raya.
Rupanya, di nomor barunya, Kipchoge tetap dominan. Setahun setelah beralih ke balap lari jalan raya, Kipchoge langsung berhasil menjadi juara dalam debut maratonnya di Hamburg.
Setelah itu, dominasi Kipchoge makin menjadi. Sejak 2014, dia selalu bisa meraih kemenangan di World Marathon Majors. Kemudian, pada 2016, Kipchoge berhasil meraih medali emas di Olimpiade Rio. Sampai akhirnya, di Berlin Marathon 2018, dia sukses mencatatkan rekor dunia 2:01;39.
Sudah begitu, Kipchoge tak berhenti. Sabtu (12/10/2019) pekan lalu dia berhasil menjadi manusia pertama yang merampungkan maraton di bawah dua jam. Dalam ajang bertajuk Ineos 1:59 Challenge di Wina, Austria, itu Kipchoge menorehkan waktu 1:59:40.
ADVERTISEMENT
***
Butuh 65 tahun bagi dunia atletik untuk mendapatkan catatan fenomenal baru. Rekor demi rekor memang senantiasa dipecahkan, tetapi levelnya tak ada yang mencapai 'merampungkan maraton di bawah dua jam' seperti capaian Kipchoge tersebut.
Pada 1954, pelari jarak menengah Inggris, Sir Roger Bannister, berhasil menjadi manusia pertama yang bisa menempuh jarak satu mil dalam empat menit. Sebelum torehan Kipchoge, apa yang dibukukan Bannister itu adalah catatan fenomenal terakhir di dunia atletik.
Sir Roger Bannister (tengah) usai memecahkan mitos 4-Minute Mile. Foto: AFP
Meski demikian, prestasi Kipchoge di Wina itu tidak masuk dalam catatan resmi Federasi Atletik Internasional (IAAF). Pasalnya, angka 1:59:40 tadi pada dasarnya dicapai dalam sebuah eksperimen, bukan balapan terbuka. Ada banyak hal yang disetel sedemikian rupa untuk memudahkan Kipchoge.
ADVERTISEMENT
Pertama, rute lari dipilih dengan sangat hati-hati sehingga Kipchoge tidak harus membuang energi lantaran perubahan inklinasi (derajat ketinggian) lintasan. Lintasan yang dilalui sangat datar dan dinaungi banyak pohon sehingga kekuatan angin bisa tereduksi secara optimal.
Kedua, lokasi balapan dipilih karena zona waktunya berdekatan dengan Kaptagat, lokasi latihan Kipchoge. Ini dilakukan untuk meminimalisir efek jet lag yang berpotensi mengubah kebiasaan makan dan tidur Kipchoge. Selain itu, lokasi juga dipilih di dataran rendah untuk mengoptimalkan suplai oksigen.
Ketiga, ada penanda laser yang memandu Kipchoge beserta para pacemaker-nya sehingga mereka bisa berlari dengan kecepatan tertentu. Dengan keberadaan pemandu ini, Kipchoge tak perlu membuang energi karena akselerasi-akselerasi yang tidak diinginkan.
Keempat, para pacemaker yang mendampingi Kipchoge berlari dalam formasi V yang aerodinamis sehingga terpaan angin ke tubuhnya bisa diminimalisir. Selain itu, sepanjang maraton, Kipchoge senantiasa diberi asupan air oleh koordinator tim yang mengendarai sepeda. Biasanya, dalam maraton, air hanya tersedia di lokasi-lokasi spesifik.
ADVERTISEMENT
Terakhir, Kipchoge mengenakan sepatu purwarupa khusus buatan Nike yang diklaim mampu meningkatkan efektivitas berlari sampai 4 persen. Sepatu Nike Vaporfly Next% yang diberi nama AlphaFLY itu adalah model terbaru yang sebelumnya belum pernah digunakan.
Eliud Kipchoge berpose dengan sepatu purwarupa Nike AlphaFLY. Foto: Nike
Di antara kondisi-kondisi yang memudahkan Kipchoge itu, penggunaan sepatu AlphaFLY itu boleh dibilang paling menarik. Sebab, keesokan harinya, pelari putri Kenya, Brigid Kosgei, sukses memecahkan rekor dunia di Chicago Marathon dengan mengenakan sepatu model serupa.
Tak sampai di situ saja sebenarnya efek sepatu ini. Dengan versi sebelumnya pun sepatu ini mampu membantu terciptanya lima rekor dunia maraton. Lantas, ada apa sebenarnya dengan sepatu ini dan mengapa penggunaannya tidak dilarang oleh IAAF?
***
Nike sendiri merupakan produsen sepatu paling dominan di nomor maraton. Sejak diluncurkannya Nike Zoom Vaporfly Elite, podium-podium maraton hampir selalu diisi para pelari yang mengenakan sepatu mereka. Jadi, tidaklah heran ketika batas dua jam dalam maraton ditembus oleh pelari bersepatu Nike.
ADVERTISEMENT
Sepatu AlphaFLY Kipchoge itu terlihat mirip sepatu basket. Tak seperti sepatu lari pada umumnya yang cenderung kompak, sepatu purwarupa ini begitu bongsor. Bagian solnya sangat tebal dan di sana terdapat pegas yang efeknya bisa dirasakan berkat bantuan pelat dari serat karbon.
Kepada BBC, dosen teknik olahraga Universitas Metropolitan Manchester, Dr Thomas Allen, menjelaskan cara kerja sepatu ini. Menurut Allen, peran sepatu ini ada kaitannya dengan apa yang disebut marginal gains atau keunggulan marginal.
Pada prinsipnya, marginal gains ini adalah doktrin yang menyebutkan bahwa sebuah peningkatan signifikan bisa didapatkan dengan menambahkan satu peningkatan kecil dengan peningkatan kecil lainnya. Klaim Nike bahwa sepatu AlphaFLY itu bisa meningkatkan efisiensi lari sampai 4 persen adalah contohnya.
ADVERTISEMENT
Desain Nike AlphaFLY yang terdaftar di Badan Hak Paten Amerika Serikat. Foto: Badan Hak Paten AS
"Anda tidak bisa secara radikal mengubah sebuah sepatu tetapi mengurangi massanya bisa membuat seorang atlet mendapat keuntungan 1 persen," jelas Allen.
"Ketika kita menambahkan bantalan di sol bagian tengah, keuntungan bertambah 1 persen lagi. Kemudian, keuntungan tambahan 1 persen bisa dicapai dengan menempatkan pelat di sana."
"Ini bukan teknologi baru. Sebuah universitas di Kanada dianggap sebagai pihak pertama yang punya ide menambahkan pelat di bagian tengah sol sepatu lari. Di sepatu Nike ini mereka bahkan menempatkan pelat itu di bagian depan," tambahnya.
Konsep dari sepatu ini sebetulnya sederhana. Dengan bantalan lebih elastis, ditambah pegas dan pelat tadi, seorang pelari membutuhkan energi lebih kecil untuk melakukan tolakan. Di saat bersamaan, gaya yang dihasilkan pun lebih besar. Inilah mengapa, sepatu model demikian amat membantu.
ADVERTISEMENT
Hal ini dijelaskan Profesor Ross Tucker lewat akun Twitter-nya. Tucker menulis, "Bayangkan perbedaan pantulan bola karet dan bola squash. Sebelumnya kamu berlari dengan kecepatan X dengan energi sekian. Kalau kamu menggunakan energi lebih kecil, kamu bisa menambah kecepatan sebelum mencapai batas energi itu."
"Berbagai perusahaan sudah berusaha selama berdekade-dekade untuk melakukan ini tetapi selalu gagal. Busa baru ini, ditambah inovasi lainnya, mampu mendobrak batasan yang ada. Sekarang, perusahaan lain pasti akan berlomba-lomba untuk melakukan hal serupa," ucapnya.
Desain Nike AlphaFLY yang terdaftar di Badan Hak Paten Amerika Serikat. Foto: Badan Hak Paten AS
Sudah jelas bahwa penggunaan sepatu ini mampu memberi keuntungan kepada para pelari. Inilah mengapa, sejumlah kompetitor mengajukan komplain kepada IAAF. Menurut mereka, penggunaan sepatu Vaporfly dan pengembangannya ini memberi para pengguna keuntungan yang tak dipunyai pelari lain.
ADVERTISEMENT
Menurut aturan IAAF, sepatu memang tidak boleh dibuat untuk memberikan keuntungan tak adil bagi seorang atlet. Semua sepatu, kata mereka, harus mematuhi prinsip universalitas dalam perlombaan itu sendiri.
Kendati begitu, IAAF belum bisa bersikap secara tegas. Dalam pernyataan yang dibuat Selasa (15/10), mereka hanya berujar bahwa saat ini upaya mencari keseimbangan antara aturan dan perkembangan teknologi tengah dilakukan.
"Sudah jelas bahwa beberapa jenis teknologi bisa memberi keuntungan pada atlet yang bertentangan dengan nilai olahraga. Tantangan bagi IAAF adalah menemukan keseimbangan antara penegakan aturan dan pengembangan teknologi supaya prinsip universalitas dan keadilan tetap terjaga," kata mereka.
Dari situ, bisa ditarik kesimpulan bahwa sejauh ini apa yang dilakukan Nike itu masih masuk dalam kategori legal. Artinya pula, prestasi yang bisa dicatatkan oleh Kipchoge, Kosgei, dan para pengguna Nike lainnya tetap valid. Lagipula, tentu saja mereka tidak menang hanya karena mengenakan sepatu Nike, bukan?
ADVERTISEMENT