Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Serial dokumenter berjudul 'The Last Dance' kian menyadarkan publik bahwa Michael Jordan , pada akhirnya, tetap manusia biasa.
Sederet prestasi di ranah NBA hingga julukan sebagai Greatest of All Time (GOAT) tak terlepas dari peran orang-orang di sekitarnya. Sederhananya, ada sosok-sosok yang bikin Jordan kian benderang.
Salah satu cahaya yang membersamai perjalanan Jordan adalah Scottie Pippen . Bahkan bisa dibilang, Pippen dengan senang hati merelakan diri berada di balik bayang-bayang Jordan untuk membuatnya terbang tinggi dan Chicago Bulls kian berprestasi.
***
Pippen masuk ke NBA pada 1987, tiga tahun setelah Jordan diambil Bulls pada NBA Draft 1984. Sebagai rookie, Pippen tak spesial-spesial amat dan lebih sering memulai laga dari bangku cadangan.
Pippen cuma mencatatkan rata-rata 7,9 poin di tahun pertama, sementara Jordan adalah bocah ajaib yang mampu menorehkan 28,2 poin dengan akurasi tembakan 52% sebagai seorang rookie. Jauh, sangat jauh perbedaannya.
Di masa-masa terakhir sebagai rookie, Pippen lantas dimentori langsung oleh Jordan. Dari sini, Jordan membentuk Pippen sebagai cahayanya, sebagai sosok untuk mendukung permainannya.
"Jika aku bisa membuatnya melakukan apa yang kupinta dan bermain seperti apa yang aku pinta, aku mungkin akhirnya memiliki seorang pendukung untuk mengalahkan tim dengan lima orang terbaik di luar sana," kata Jordan.
Pada tahun kedua, permainan Pippen berkembang di area yang Jordan kuasai: Bertahan, mencetak angka, rebound, dan operan. Pippen rata-rata melakukan 2 steal, tak lebih baik dari Jordan (3,2), tapi ini bukti bahwa Pippen sangat menuruti 'titah' sang mentor.
Pippen melesat di musim 1990/91 dengan rata-rata 16,5 poin, 6,7 rebound, 5,4 assist, 2,6 steal, dan 1,2 blok. Jordan akhirnya berhasil. Meski butuh tiga tahun, Jordan menciptakan pemain yang bisa mendukung permainannya serta punya hasrat untuk menang.
Maka, sangat logis untuk menyebut Pippen sebagai bagian penting saat Jordan dan Bulls meraih titel NBA pertamanya di 1990/91. Kejayaan itu berlanjut dengan munculnya dua gelar lain di 1991/92 dan 1992/93.
Saat Pippen menjelma jadi cahaya dan Bulls kecipratan untung, Jordan justru memberi pukulan telak saat memutuskan pensiun pada NBA 1993/94. Jordan mundur dari hiruk-pikuk pertandingan setelah ayahnya ditembak mati.
Adalah masa yang berat bagi Bulls tanpa hadirnya Jordan, tetapi kondisi itu memberi Pippen kesempatan berevolusi dan keluar dari bayang-bayang. Dari cahaya pendukung Jordan, Pippen menjadi tulang punggung pengganti untuk menopang reputasi Bulls.
Bulls memang gagal melanjutkan tren juara, tapi di NBA 1993/94 itu Pippen tampil luar biasa lewat rata-rata 22 poin, 8,7 rebound, 5,6 assist, dan 2,9 steal. Bulls meraih 55 kemenangan, dua laga lebih sedikit dari tahun sebelumnya saat Jordan masih ada.
Menariknya, Pippen menjelma lebih egois saat Jordan pensiun. Ia begitu kesal kepada Phil Jackson saat menunjuk rookie Toni Kukoc sebagai opsi mencetak angka kemenangan di pengujung gim ketiga final Wilayah Timur.
Kukoc berhasil mencetak angka kemenangan, tapi Pippen tak ambil bagian di akhir permainan karena menolak dimainkan. Dari sisi taktis, wajar Pippen kesal karena dia merasa sebagai 'motor' utama tim semenjak Jordan pensiun.
"Scottie Pippen menolak untuk bermain lagi," ujar Phil Jackson singkat kepada pewarta selepas laga gim ketiga itu.
Konflik tak selesai sampai di situ. Rumor hengkangnya Pippen berembus jelang NBA 1994/95 bergulir di mana General Manager (GM) Bulls, Jerry Krause, yang ingin menukar Pippen dan membongkar pasang tim.
Pippen bertahan, tapi tampil biasa-biasa saja di NBA 1994/95. Bulls bahkan hampir tak lolos ke play-off karena cuma punya rekor 34 kemenangan dan 31 kekalahan di musim reguler. Pippen terancam gagal sebagai tulang punggung pengganti.
Berkat buat Pippen dan Bulls itu akhirnya muncul saat Jordan kembali bermain di pengujung musim reguler. Hadirnya Jordan memberi impak instan. Bulls meraih 13 kemenangan di sisa 17 laga dan lolos ke play-off, meski akhirnya gagal jadi juara lagi.
Kembalinya Jordan saat itu menghadirkan dua sisi. Pertama, Pippen yang sudah jadi bintang, rela menjadi cahaya pendukung lagi untuk Jordan.
Di lain sisi, Jordan datang karena sadar Pippen telah berkembang. Pikir Jordan mungkin sederhana. Daripada kembali dengan tim lain dan repot-repot mencari cahaya baru, ia kembali ke Bulls dengan kemampuan Pippen yang sudah melesat.
Tak butuh waktu lama buat Jordan mengembalikan kejayaan Bulls, tentu saja bersama Pippen, serta sederet sosok menawan lain seperti Dennis Rodman hingga Steve Kerr. Mereka memborong tiga gelar juara NBA secara beruntun dari 1995/96-1997/98.
Setelah perjalanan panjang dengan Bulls, baik sebagai cahaya dan pengganti tulang punggung Jordan, Pippen hengkang ke Houston Rockets di musim 1998/99. Saat itu, publik dipaksa sadar bahwa era kejayaan Bulls bersama Jordan telah usai.
Jordan pun memilih jalan pensiun lagi di Januari 1999, meski akhirnya kembali pada September 2001 bersama Washington Wizards dan baru benar-benar pensiun di 2003. Sementara itu, Pippen kembali ke Bulls pada 2003 dan gantung sepatu di sana pada 2004.
Bertahun-tahun kemudian, prestasi Pippen dan Jordan diganjar penghargaan Hall of Fame. Jordan, si pebasket paling fenomenal sejagat itu, dan Pippen sebagai cahayanya bakal terkenang sepanjang masa.
Satu hal yang pasti, Jordan mengakui enam gelar juara NBA di kabinet trofinya muncul berkat bantuan Pippen. Tengok saja, setiap potret di mana Jordan bersorak sambil mengangkat trofi juara, di sana ada Pippen.
"Setiap kali publik berbicara tentang Michael Jordan , mereka harus berbicara tentang Scottie Pippen. Aku tak bisa menang tanpa dia, itu sebabnya aku menganggap dia sebagai rekan setim terbaik sepanjang masa," kata Jordan dalam salah satu kutipan di serial 'The Last Dance.
Pippen, tentu saja, juga ikut senyum sumringah. Mungkin ia sembari berucap demikian. 'Begini, toh, rasanya jadi juara bersama pemain hebat."
"Aku tak bisa memikirkan orang lain yang lebih baik untuk melakukannya. Jordan adalah sosok yang berbagai karier denganku, menemani sebagian besar perjalanan dan apa yang sudah aku capai," ujar Pippen saat pidato penghargaan Hall of Fame 2010.
"Dia adalah teman satu tim yang hebat, guru, dan aku pengagumnya. Saya pikir, siapa pun yang pantas berada di panggung penghargaan ini bersamaku, itu adalah dia, Michael Jordan ," katanya.
***
Untuk melihat kisah-kisah lain mengenai Michael Jordan, Chicago Bulls, dan sosok penting macam Scottie Pippen, kalian bisa menyaksikannya di serial dokumenter 'The Last Dance'.
Serial bermuatan 10 episode ini dirilis secara bertahap—dua episode per pekan oleh ESPN dan Netflix. Pada 20 April pagi WIB, ESPN sudah merilis dua episode pertama di Amerika Serikat. Di Indonesia, dua episode pertama sudah dirilis Netflix pada 20 April pukul 14:00 WIB.
-----
Catatan editorial:
Di masa physical distancing seperti ini, kami akan berusaha mengulas film dan buku tentang sepak bola dan olahraga.
Sebagian bukan film atau buku baru, tetapi mungkin ini saat yang tepat untuk kembali menonton film dan membaca buku lama. Atau jangan-jangan ini menjadi waktu yang tepat untuk--akhirnya--menonton film dan membaca buku yang sudah lama tertumpuk.
Simak panduan lengkap dalam menghadapi pandemi corona dalam Pusat Informasi Corona . Sebuah inisiatif yang dirancang kumparan untuk membantu masyarakat Indonesia.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!