Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Sekelumit Kisah Klub Angkatan Bersenjata di Sepak Bola
9 November 2017 13:00 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
The Guardian. Itulah nama yang dipilih untuk menjadi julukan Bhayangkara FC, klub juara Go-Jek Traveloka Liga 1 edisi perdana. "Para Pelindung", demikianlah mereka mendaku.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan "Para Pelindung" itu menjadi juara kompetisi sepak bola profesional di Indonesia adalah untuk yang pertama kalinya terjadi. Meski Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sudah sejak lama memiliki tim sepak bolanya sendiri, baru kali ini mereka merangsek ke ranah profesional dan bahkan, menjadi juara.
Tetapi, Bhayangkara FC ini bukanlah Persatuan Sepak Bola (PS) Polri yang sudah lama eksis itu, atau setidaknya, mereka bukan satu-satunya entitas yang bersemayam di tubuh Bhayangkara FC. Sebelumnya, PS Polri melakukan merger dengan Surabaya United yang dulunya bernama Persikubar Kutai Barat hingga akhirnya, Bhayangkara FC pun lahir.
Dengan nama baru yang lebih segar dan menjual itu, Bhayangkara FC sudah mulai turun berlaga sejak 2016 lalu, tepatnya ketika mereka mengadakan sebuah turnamen bertajuk Piala Bhayangkara. Kebetulan, saat itu persepakbolaan Indonesia masih terjebak dalam limbo akibat sanksi dari Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA).
ADVERTISEMENT
Setelah itu, mereka pun senantiasa hadir dalam tiap turnamen dan liga yang diadakan demi mengisi kekosongan kompetisi resmi dari Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Bersama mereka, turut hadir pula PS TNI. Jika Bhayangkara hadir dari leburan antara PS Polri dan Surabaya United, PS TNI dibentuk dari hasil kolaborasi PSMS Medan dan Tentara Nasional Indonesia.
PS TNI itu pun usianya masih begitu muda. Ia bukan PS Angkatan Darat, PS Angkatan Udara, atau PS Angkatan Laut yang selama ini malang melintang di kompetisi amatir dan semi-profesional Indonesia. Tiga klub milik angkatan bersenjata itu biasanya hanya berlaga di kompetisi internal tim-tim perserikatan. Sementara, PS TNI ini adalah kekuatan yang benar-benar baru.
ADVERTISEMENT
Walaupun PS Polri, PS AD, PS AU, ataupun PS AS ini sudah ada sejak lama, keterlibatan tim milik angkatan bersenjata Republik Indonesia di kancah profesional boleh dikatakan tertinggal dari banyak negara. Di Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Korea Selatan, angkatan bersenjata sudah terlibat dalam kompetisi sepak bola profesional sejak lama.
Di Singapura, ada nama Warriors FC dan Home United yang mewakili tentara dan polisi. Warriors FC sendiri dulunya bernama Singapore Armed Forces FC dan sudah dibentuk sejak 1975. Mereka pun saat ini berstatus sebagai klub sepak bola tersukses di Singapura dengan raihan sembilan gelar juara, baik ketika masih bernama SAF FC maupun ketika sudah berganti nama menjadi Warriors FC pada 2013.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Home United usianya lebih tua lagi. Mereka sudah eksis sejak pertengahan tahun 1940-an ketika Police Sports Association Singapura membentuk tim sepak bola yang diberi nama Police Football Club. Hanya saja, sampai akhirnya S-League dibentuk pada 1996, mereka hanya berlaga di kompetisi amatir dan semi-profesional.
Lalu, pada 1997, klub ini melebur dengan klub-klub milik Kementerian Dalam Negeri dan Dinas Imigrasi untuk membentuk Home United. Salah satu pemain paling tenar dari klub ini adalah Lionel Lewis, mantan kiper Tim Nasional Singapura era 2000-an.
Sementara itu, di Malaysia ada ATM FA (Angkatan Tentara Malaysia FA). Klub satu ini usianya sudah cukup tua karena telah dibentuk sejak tahun 1920. Dalam sejarahnya, prestasi mereka sebetulnya biasa-biasa saja, meski sempat menjadi juara Liga Premier dan Malaysia Cup pada 2012 lalu.
ADVERTISEMENT
Di Thailand, angkatan darat dan laut mereka punya dua klub sepak bola berbeda. Angkatan darat, seperti sudah bisa diduga, memiliki Army FC, sedangkan angkatan laut punya Navy FC. Di "Negeri Gajah Putih", prestasi kedua klub ini tidak terlalu bagus. Dalam kabinet mereka, tak ada satu pun trofi untuk gelar juara di kompetisi level tertinggi.
Beralih ke Filipina, negara kepulauan di sebelah utara Pulau Sulawesi itu punya Philippine Army GTI yang sudah eksis sejak 1960. Awalnya, klub ini dibentuk sebagai kendaraan bagi militer Filipina untuk memasyarakatkan olahraga. Hanya saja, prestasi mereka di sana tidak terlalu bagus dan saat ini, mereka pun hanya berlaga di divisi dua Liga Filipina.
Sementara itu, di antara klub-klub militer Asia ini klub Korea Selatan (Korsel), Sangju Sangmu, jadi yang paling menarik. Awalnya, klub ini merupakan hasil leburan antara Army FC, Navy FC, dan Air Force FC. Ketiga klub itu sudah dibentuk sejak dekade 1950-an tetapi kemudian melebur membentuk Korea Armed Forces Athletic Club pada 1983. Setahun berikutnya, nama Sangju Sangmu akhirnya dipilih.
ADVERTISEMENT
Klub ini menjadi menarik karena mereka adalah wadah bersepak bola bagi para pesepak bola profesional Korsel yang tengah menjalani wajib militer. Di negara ini, wajib militer memang masih ada mengingat secara teknis, mereka masih berada dalam kondisi perang dengan saudara mereka, Korea Utara. Di sini, Sangju Sangmu menjadi semacam klub persinggahan sebelum para pesepak bola itu kembali ke klub mereka masing-masing.
Adapun, keberadaan klub-klub milik angkatan bersenjata itu tidak cuma terbatas di Asia. Bahkan, di Eropa sana, ada lebih banyak lagi klub-klub yang dibentuk oleh angkatan bersenjata, khususnya di negara-negara eks-komunis.
Keberadaan klub-klub angkatan bersenjata di negara-negara tersebut bisa sangat mudah diidentifikasi. Jika mereka bentukan polisi (termasuk polisi rahasia seperti Stasi di Jerman Timur), maka nama mereka pasti Dynamo. Kemudian, untuk tentara, ada yang bernama CSKA dan khusus di Rumania, nama klub itu adalah Steaua.
ADVERTISEMENT
Dari semua klub itu, Dynamo Moskva adalah pelopornya. Ide ini berawal dari kepala Felix Dzerzhinsky yang merupakan pendiri Cheka (cikal bakal dinas rahasia Uni Soviet, KGB). Pada 1923, Dynamo Moskva dibentuk di mana nama Dynamo sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti "kekuatan".
Klub-klub bernama Dynamo ini punya satu ciri khas, yakni huruf "D" yang nyaris seragam di setiap emblem mereka. Kemudian, khusus untuk klub-klub Dynamo di Uni Soviet, seragam mereka pun sama: putih-biru.
Dynamo Moskva pada akhirnya menjadi besar di bawah komando Lavrenti Beria. Sosok ini adalah salah satu monster paling keji dalam sejarah Uni Soviet di mana dia adalah koordinator Pemusnahan Massal rezim Joseph Stalin.
Ide awalnya sebetulnya tidak buruk. Baik Dzerzhinsky maupun Beria sebetulnya "hanya" ingin membentuk sebuah klub yang bakal menjadi standar tertinggi keolahragaan. Namun, pada praktiknya, mereka kemudian menggunakan cara-cara kotor untuk memastikan kemenangan di sana-sini.
ADVERTISEMENT
Salah satu kisah paling masyhur dari sini adalah bagaimana Dynamo Moskva menghancurkan Torpedo Moskva pada dekade 1950-an. Kala itu, mereka memiliki seorang pemain yang disebut-sebut merupakan rival sebanding Edson Arantes do Nascimento alias Pele. Pemain yang dimaksud adalah Eduard Streltsov.
Torpedo Moskva sendiri merupakan klub yang dibentuk oleh para pekerja pabrik mobil ZiL. Sementara, Streltsov adalah prototipe pesepak bola modern yang nyaris sempurna. Selain punya kekuatan fisik di luar nalar, dia juga memiliki kemampuan teknik yang sulit ditandingi para pesepak bola Uni Soviet lain.
Torpedo sebetulnya tidak punya prestasi menterang di era itu. Hanya saja, keberadaan Streltsov, bersama Valentin Ivanov, membuat dominasi Dynamo terancam. Mereka pun berusaha menggoda Streltsov untuk bergabung dengan Dynamo yang kala itu diperkuat oleh Lev Yashin.
ADVERTISEMENT
Streltsov menolak. Akhirnya, para petinggi Dynamo pun berkonspirasi untuk menjebloskan pria kelahiran 1937 itu ke penjara. Streltsov akhirnya dipenjara selama tujuh tahun atas tuduhan pemerkosaan yang tak pernah betul-betul terbukti.
Dynamo sendiri kemudian menyebar ke kota-kota besar Uni Soviet, mulai dari Kiev (Ukraina), Minsk (Belarusia), Tblisi (Georgia), Baku (Azerbaijan), sampai Tashkent (Uzbekistan). Dari lima "cabang" itu, yang kemudian mampu benar-benar berprestasi adalah Dynamo dari Kiev dan Tblisi.
Keberadaan klub Dynamo ini kemudian menyebar pula ke Jerman Timur usai Perang Dunia II. Jika di Uni Soviet ada Felix Dzerzhinsky, di Jerman Timur ada Erich Mielke.
Awalnya, Dynamo di Jerman Timur hanya ada satu, yakni Dynamo Dresden. Klub itu kemudian sukses besar dengan keberhasilan mereka menjadi juara liga. Akan tetapi, kesuksesan itu menimbulkan kecemburuan dari Erich Mielke yang menginginkan kesuksesan serupa tercipta di Berlin Timur.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, Mielke pun membuat kloningan Dynamo di Berlin dengan nama Berliner SC Dynamo. Dalam prosesnya, kepala Stasi itu memboyong para pemain terbaik Dynamo Dresden dan membuat mereka sempat harus terdegradasi sampai divisi empat.
Namun, Dynamo Dresden kemudian mampu bangkit. Mereka pulalah satu-satunya klub yang benar-benar mampu menyaingi kedigdayaan Dynamo Berlin, terutama pada masa-masa akhir Jerman Timur. Kala itu, mereka diperkuat para pemain yang akhirnya bakal jadi tulang punggung Timnas Jerman Bersatu, seperti Matthias Sammer dan Ulf Kirsten.
Di Rumania, ulah klub Dynamo tak kalah sinting. Dynamo Bucuresti adalah klub yang lahir dari merger brutal antara dua klub sepak bola yang tak bisa lebih bertolak belakang lagi, Unirea Tricolor dan Ciocanul. Unirea Tricolor adalah adalah klub yang didukung oleh kelompok fasis bernama Iron Guard, sementara Ciocanul adalah klub milik orang-orang Yahudi. Walau begitu, prestasi mereka nyatanya cukup bagus untuk ukuran Rumania.
ADVERTISEMENT
Namun, meski lekat dengan kontroversi, klub-klub Dynamo ini bukannya tidak memiliki jasa. Keberhasilan Dynamo Kiev merusak dominasi Moskow tak lain dan tak bukan diprakarsai lewat berbagai inovasi dan pembaruan.
Dari Dynamo Kiev lahirlah pressing, formasi 4-4-2, dan penggunaan sains dalam sepak bola. Dua hal pertama lahir dari kepala Viktor Maslov, sementara hal terakhir lahir berkat jasa Valeriy Lobanovskyi (berkolaborasi dengan Anatoliy Zelentsov) yang juga merupakan mantan anak didik Maslov. Sampai akhirnya, Dynamo Kiev pun, ketika Uni Soviet bubar, menjadi satu-satunya klub yang paling siap untuk menjadi klub profesional berkat model bisnis mereka yang impresif.
Itu soal klub bentukan polisi. Soal klub milik tentara, lain lagi ceritanya.
Secara mengejutkan, klub-klub milik tentara ini justru hampir tidak pernah berulah. Kalaupun ada kasus yang membawa nama mereka, itu baru terjadi pada dekade 2010-an ketika Steaua Bucuresti akhirnya harus kehilangan hak atas nama mereka hingga akhirnya kini hanya bernama FCSB.
ADVERTISEMENT
Masalah yang menimpa Steaua Bucuresti itu lahir karena adanya proses tukar guling yang tak mulus antara militer Rumania dengan Gigi Becali. Awalnya, militer Rumania "menjual" kepemilikan Steaua kepada Becali karena mereka tak ma(mp)u lagi membiayai klub tersebut.
Oleh Becali, klub itu dia jadikan hak milik dan celakanya, militer Rumania tidak terima. Mereka pun merasa bahwa jenama Steaua adalah milik mereka dan Becali, meski sudah berjasa menyelamatkan klub itu dari kebangkrutan, dianggap tak punya hak.
Akhirnya, Steaua pun sempat bermain tanpa nama pada 2014 lalu. Ketika itu, dalam laga melawan CSMS Iasi, mereka menggunakan nama "Tuan Rumah" di stadionnya. Meski begitu, masalah itu akhirnya kelar pada Maret 2017 silam. Itulah mengapa, di Liga Europa, satu-satunya klub Blok Timur yang pernah menjadi juara European Cup itu kini menyandang nama FCSB.
ADVERTISEMENT
Nah, demikianlah sekelumit kisah klub sepak bola milik angkatan bersenjata di negara-negara lain. Beberapa dari mereka memang kebablasan meski tak sedikit pula yang anteng-anteng saja dan bahkan, mampu meninggalkan warisan berharga. Kini, bagi PS TNI dan Bhayangkara FC, pilihan ada di tangan mereka. Bagaimana mereka nantinya mau diingat oleh para pencinta sepak bola Tanah Air?