Sensasi Tidak Cukup untuk Membuat Coco Gauff Menjadi G.O.A.T

8 Juli 2019 15:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Coco Gauff merayakan kemenangan di babak ketiga tunggal putri Wimbledon 2019. Foto: REUTERS/Toby Melville
zoom-in-whitePerbesar
Coco Gauff merayakan kemenangan di babak ketiga tunggal putri Wimbledon 2019. Foto: REUTERS/Toby Melville
ADVERTISEMENT
Wimbledon pandai benar melahirkan kisah-kisah favorit, bahkan ketika sudah digelar selama 133 kali. Cori ‘Coco’ Gauff adalah satu dari beberapa kisah favorit yang lahir di lapangan rumput Wimbledon tahun ini. Pertandingan babak ketiganya melawan Polona Hercog di Centre Court ibarat box office yang belum habis dibicarakan orang-orang.
ADVERTISEMENT
John McEnroe yang juga menuliskan kisahnya di Wimbledon bahkan berkata bahwa Coco adalah pembicaraan di Amerika Serikat sana. Ya, mau bagaimana lagi? Tak ada yang bisa menampik bahwa Coco memang sensasional. Umur 15 tahun sudah bisa berlaga di turnamen penuh gengsi seperti Wimbledon, di kelas senior pula.
Coco tak sekadar berlaga, tapi memperlihatkan kualitas bahkan di saat sulit. Jika dua laga sebelumnya Coco mampu menang straight set, kali ini ia harus bertanding sampai ke set ketiga. Bahkan dua set yang berakhir dengan kemenangan itu, juga mesti dilalui Coco dengan menyelamatkan dua match point.
Bukti lainnya adalah catatan statistik. Bila ditotal, ada 36 winner dan 18 unforced error yang dibuat Coco pada dua pertandingan pertamanya di Wimbledon. Keadaan berubah genting di babak ketiga. Salah dua penandanya, ia membuat 43 unforced error dan hanya membukukan 24 winner
ADVERTISEMENT
Berbekal catatan statistik yang tak menguntungkan itu pun, Coco masih bisa menemukan cara untuk comeback dan menjadi petenis termuda yang menjejak ke babak 16 besar Wimbledon setelah Jennifer Capriati pada 1991. Di babak keempat nanti, Coco mesti berhadapan dengan juara Prancis Terbuka 2018, Simona Halep.
Jennifer Capriati di Prancis Terbuka 1990. Foto: JEAN-LOUP GAUTREAU / AFP
Pencapaian Coco memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Namun, yang harus digarisbawahi, setiap orang yang berjibaku di atasnya tak boleh berhenti pada sensasi agar tak cepat habis di jagat tenis.
Toh, cerlang petenis muda bukan perkara baru dalam tenis, termasuk di Grand Slam. Misalnya, apa yang dibukukan oleh Martina Hingis pada 1997. Ketika itu ia menjadi juara tunggal putri kelas senior Australia Terbuka meski usianya masih 16 tahun.
ADVERTISEMENT
Itu tak menjadi satu-satunya gelar Grand Slam di masa muda Hingis. Wimbledon dan Amerika Serikat Terbuka musim yang sama juga ditutupnya dengan trofi juara. Pun pada Australia Terbuka 1998. Itu berarti, ada lima gelar Grand Slam tunggal putri yang dijuarainya sebelum berusia 19 tahun.
Berhitung mundur hingga 1985, Boris Becker menjuarai Wimbledon ketika berusia 17 tahun. Pencapaian mirip diraih oleh petenis Rusia, Maria Sharapova, pada Wimbledon 2004.
Atau, tengok-tengok lagi perjalanan Bjorn Borg dan Rafael Nadal. Pun dengan Serena Williams yang meraih gelar Grand Slam pertamanya pada AS Terbuka 1999, sekitar 15 hari sebelum ulang tahunnya yang ke-17.
Bahkan mahkota juara itu disegel Serena dengan mengalahkan Hingis yang datang sebagai petenis peringkat satu dunia. Rasanya itu menjadi musim yang begitu menyebalkan bagi Hingis karena di Wimbledon pun, ia kalah dari petenis 16 tahun, Jelena Dokic.
ADVERTISEMENT
Bjorn Borg di Prancis Terbuka 1976. Foto: STF / AFP
Yang menjadi pertanyaan, tentu bisakah Coco menjadi lebih dari sekadar sensasi satu-dua turnamen? Sepertinya itu menjadi pertanyaan esensial karena dalam wawancaranya, Corey Gauff, ayah dan pelatih Coco pernah bicara seperti ini: “Suatu waktu, Coco berkata begini: Saya ingin menjadi G.O.A.T.”
Greatest of All Time. Bukankah predikat itu lebih dari sekadar menjadi wonderkid, tapi mempertahankan kualitas dan dominasi selama mungkin?
Serena memang mengalami penurunan performa. Namun, bukankah ada begitu banyak petenis--entah itu putra maupun putri--yang sampai sekarang belum berhenti mengejar gelar juara Grand Slam-nya? Entah ada berapa banyak petenis pula yang mematok Federer, Nadal, atau Novak Djokovic sebagai pahlawan super mereka.
Dalam tulisannya di The Guardian yang berjudul "Can Coco Gauff Break Past the Tennis Old Guard?", Tim Lewis mengangkat omongan Judy Murray yang notabene adalah ibu sekaligus mantan pelatih Andy Murray soal seperti seperti apa sebenarnya tenis itu.
ADVERTISEMENT
Menurut Judy, tenis adalah olahraga serebral. Artinya, meski terlihat begitu mengandalkan fisik, tenis tidak bisa dilepaskan dari aktivitas serebrum alias otak besar. Tenis adalah olahraga yang menuntut setiap pelakonnya untuk dapat terus menerus berpikir serta menyelesaikan masalah mereka sendiri secara cepat dan tepat--terlebih ketika bertanding di nomor tunggal.
Contoh sederhananya, petenis memang memiliki pelatih. Namun, ketika berlaga, pelatih tidak diizinkan untuk memberi instruksi dan petunjuk apa pun. Di setiap laga, pelatih tidak berbeda dengan penonton dan suporter.
Cori Gauff di babak pertama tunggal putri Wimbledon 2019. Foto: REUTERS/Carl Recine
Contoh lainnya, seberapa banyak penghasilan seorang petenis seseorang ditentukan oleh seberapa jauh langkahnya di turnamen demi turnamen. Pada kompetisi Grand Slam, petenis tunggal di babak pertama saja sudah mendapat uang hadiah. Penghasilan tambahan dari sponsor atau image right juga ditentukan oleh seberapa berpengaruh keberadaan seorang petenis.
ADVERTISEMENT
Lewat pendapatnya itu Judy ingin menegaskan bahwa siapa pun yang memimpikan besar di ranah tenis mesti tahan menjadi petarung meski berlaga secara soliter. Bahwa siapa pun yang ingin berbuat lebih dari menjadi sensasi harus tahan dituntut terus menerus menjadi profesional.
Wimbledon 2019 membuktikannya. Delapan tahun lalu, Bernard Tomic seperti Coco. Ia adalah sensasi di Wimbledon 2011. Kini, ia tak lebih dari pesakitan yang terancam kehilangan uang hadiah babak pertama akibat dinilai sengaja bermain buruk ketika melawan Jo-Wilfried Tsonga.
Ini bukan sensasi miring pertamanya. Tahun lalu, ia ditinggal oleh perusahaan raket yang menjadi sponsornya, Head, akibat ucapan di konferensi pers usai laga.
Capriati yang sempat menjadi sensasi itu pun membuktikan sendiri bahwa sensasional tidak cukup di ranah tenis. Meski ia menggemparkan publik pada 1991, gelar juara Grand Slam pertamanya di nomor tunggal putri baru bisa diraih sekitar 10 tahun kemudian, ketika ia menjadi kampiun di Australia Terbuka dan Prancis Terbuka 2001, yang berlanjut ke Australia Terbuka 2002.
ADVERTISEMENT
Aksi Roger Federer di babak ketiga Wimbledon 2019. Foto: REUTERS/Tony O'Brien
Berangkat dari situ, tak heran jika Mark Kovacs, ahli sport science asal AS, menyebut keberhasilan Djokovic, Federer, dan Nadal mempertahankan kualitas dalam jangka panjang juga dipengaruhi oleh status mereka sebagai generasi terakhir yang tidak memegang ponsel di masa kanak.
Lewat analogi itu, Kovacs menjelaskan bahwa ketiga petenis top tersebut dapat mempertahankan kualitas meski sudah tak muda lagi karena sejak dini terbiasa untuk mengatasi permasalahan secara mandiri--meski bukannya tanpa bimbingan dan sokongan sama sekali dari pelatih dan tim.
Analogi tadi juga disepakati oleh Judy yang mengumpakan ketergantungan kepada orang lain dengan perilaku sedikit-sedikit mencari sumber yang terverifikasi via mesin pencari internet.
Itu berarti, daya tahan untuk memecahkan masalah di atas lapangan--bahkan secara soliter--dalam waktu panjang menjadi serum penting yang menunjang konsistensi seorang petenis.
ADVERTISEMENT
Jika Coco benar-benar ingin menjadi G.O.A.T, hal pertama yang mesti dipahaminya adalah seperti apa G.O.A.T itu--terlebih, tantangan di tunggal putri semakin berat karena ranah ini acap melahirkan juara baru. Di sisi lain, kecenderungan itu juga mengisyaratkan bahwa kesempatan Coco untuk menjadi petenis besar juga terbuka lebar.
***
Laga babak 16 besar tunggal putri Wimbledon 2019 antara Simona Halep dan Cori Gauff akan digelar pada Senin (8/7/2019) di Court No.1 All England Lawn Tennis and Croquet Club. Menurut jadwal, pertandingan akan digelar pada pukul 20:15 WIB.