Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Yang paling menakutkan dari HIV bukannya penyakit itu sendiri. Ia lebih dari sekadar penurunan kondisi fisik, kerusakan organ-organ vital, atau pembicaraan-pembicaran fisik yang semakin dibahas semakin menyeramkan. Yang paling mengerikan adalah stigma yang ditujukan kepada mereka yang hidup dengan HIV AIDS.
ADVERTISEMENT
Stigma yang membikin mereka sendiri berpikir bahwa hidup mereka sudah tamat. Bahwa tak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk melanjutkan hidup. Apa yang mereka dapat saat ini adalah ganjaran karena abai terhadap pola hidup yang benar dan sehat.
“Stigma dan diskriminasi itu semacam pembunuh. Mereka lebih berbahaya daripada HIV itu sendiri. Yang dibunuh stigma itu harapan untuk hidup. Kalau harapan sudah mati, manusia bisa apa lagi?” demikian Ginan Koesmayadi, salah satu pendiri Rumah Cemara, menggambarkan semengerikan apa stigma itu.
Rumah Cemara adalah safe house bagi mereka yang termajinalkan. Tempat ini didirikan untuk menjadi rumah bagi orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) ataupun mereka yang sedang bergelut untuk lepas dari kecanduan narkoba.
ADVERTISEMENT
Mereka menggunakan olahraga dalam komitmen mereka untuk mendampingi ODHA. Olahraga yang digunakan adalah sepak bola dan tinju.
Rumah Cemara selalu menjadi perwakilan Indonesia dalam ajang Homeless World Cup sejak tahun 2011. Indonesia tak pernah pulang tanpa prestasi. Tak Cuma gelar 10 besar. Penghargaan Pemain Terbaik beberapa kali menjadi milik mereka. Ginan Koesmayadi, Swananda Pradika, Eman Sulaeman -mereka adalah nama-nama yang didapuk menjadi pemain terbaik di beberapa tahun keikutsertaan Indonesia dalam ajang ini.
Bagi mereka, Homeless World Cup bukan sekadar kompetisi untuk mencari siapa yang jadi nomor satu. Ia lebih dari trofi dan medali emas. Homeless World Cup adalah penanda bahwa ODHA layak untuk berprestasi. Mereka yang tadinya tertolak juga bisa memberikan pengaruh yang membangun.
ADVERTISEMENT
Selain sepak bola, Rumah Cemara juga mendirikan sasana tinju bagi mereka yang termarjinalkan, termasuk ODHA.
Lantas yang menjadi pertanyaan, mengapa sepak bola dan tinju?
Bagi Ginan dan teman-temannya sepak bola adalah pengingat bahwa ODHA pun selalu punya tempat di masyarakat. Entah sejak kapan, sepak bola punya dua fungsi khusus: sebagai olah raga dan sebagai cara untuk bersenang-senang.
Lihatlah betapa girangnya kita saat menonton bola. Lihatlah betapa abainya kita dengan orang-orang yang tak kita kenal saat menonton atau bermain sepak bola. Sepak bola terlampau sering mempermudah kita untuk menjalin hubungan dengan orang lain.
HIV menyerang mereka yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi. Bagi yang terinfeksi, kecenderungannya adalah menutup diri dengan sekitar. Merasa tidak ada gunanya membaur dengan lingkungan sekitar. Sementara bagi mereka yang tak terinfeksi, HIV menyerang mereka dengan ketakutan-ketakutan yang tak perlu. Biasanya mereka takut terinfeksi. Sehingga sedapat mungkin menolak untuk berinteraksi dengan ODHA.
ADVERTISEMENT
Dari hal-hal macam inilah stigma beranak-cucu. Dan saat stigma mengakar, iklan layanan masyarakat menjadi omong kosong belaka. Penyuluhan-penyuluhan menjadi formalitas.
Maka, Rumah Cemara punya caranya sendiri.
“Kami akhirnya berinovasi dengan menggelar pertandingan sepak bola antara warga dengan orang-orang di Rumah Cemara. Bukan cuma itu. Kami pun memutarkan film yang menjelaskan bahwa Rumah Cemara ini komunitas ODHA. Mereka baru saja bertanding, bermain dengan kami. Tapi kalian tak akan terinfeksi hanya karena keringat.”
Jika sepak bola berbicara tentang interaksi sosial, maka tinju berbicara tentang membangun diri sendiri.
Tinju adalah olahraga petarung. Tak ada tinju beregu. Setiap petinju akan bertarung sendiri-sendiri. Yang ingin dibangun lewat tinju adalah semangat bertarung.
ADVERTISEMENT
“Pada akhirnya, saat kamu naik ke ring hanya ada kamu dan lawanmu. Tidak ada teman, apalagi pelatih. Mereka semua mendukung, tapi di atas ring cuma ada kamu.”
Bagi Ginan dan Rumah Cemara, tinju membantu ODHA untuk meningkatkan kondisi fisik dan kepercayaan dirinya. Ada seorang petinju wanita yang positif HIV. Beberapa bulan mengikuti latihan tinju -bahkan menjadi pelatih tinju dan sepak bola- sistem imun tubuhnya meningkat, semuanya dibuktikan dengan pemeriksaan dokter.
Mengenai program tinju yang mereka kerjakan, Rumah Cemara cukup sering menggelar laga tanding antarsasana. Pada umumnya mengambil konsep pertandingan persahabatan. Baru-baru ini pun mereka menggelar pertandingan amal untuk legenda tinju Indonesia, Wim Demena, 29 September 2017 lalu.
Menyoal tinju, mereka pun menerapkan prosedur blood rule pada saat latihan ataupun pertandingan.
ADVERTISEMENT
Blood rule adalah aturan yang mengharuskan atlet untuk meninggalkan arena saat mengalami luka dan pendarahan. Tujuannya untuk mencegah infeksi patogen seperti HIV melalui kontak darah. Makanya, petinju wajib mengenakan pelindung kepala khusus dan harus bersedia untuk turun ring bila mengalami pendarahan. Karena penerapan aturan ini pulalah, petinju ODHA bisa sampai level amatir. Tidak melulu berlatih di sasana sendiri.
Komitmen Rumah Cemara untuk mengenyahkan stigma dan membantu membangun hidup ODHA bukannya tak punya tantangan. Tak jarang, justru ODHA sendirilah yang menyerah dan hilang entah ke mana. Tentang hal ini, dalam wawancaranya, Ginan punya pandangan sendiri;
“Komunitas, pendamping, teman-teman, keluarga selalu mendukung. Tapi mereka (ODHA) yang punya tanggung jawab untuk memenangkan hidup mereka sendiri. Dukungan sebanyak dan sekuat apa bakal percuma kalau mereka tidak bertarung.”
ADVERTISEMENT
***
VS Naipaul, seorang penulis India, pernah menulis novel berjudul A House for Mr. Biswas. Novel itu bercerita tentang seorang India bernama Biswas yang jadi imigran di Trinidad. Di sana ia tinggal bersama keluarga besarnya dalam lingkungan yang cukup kumuh.
Orang-orang di sekeliling Biswas selalu berkonflik. Mereka menekan Biswas dari hari ke hari. Biswas muak bukan kepalang. Makanya, ia selalu bermimpi untuk memiliki rumah sendiri. Tak perlu besar apalagi mewah. Yang penting ia punya kemerdekaan di rumah itu.
Dan sekarang, mereka yang tadinya termajinalkan sudah tinggal di rumah. Di dalamnya lahir sepakan dan tinju yang melawan stigma.