"Si Elang" dan "Si Banteng" Melawan Tradisi

6 Desember 2017 16:33 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Besiktas vs RB Leipzig (Foto: AFP/Ozan Kose)
zoom-in-whitePerbesar
Besiktas vs RB Leipzig (Foto: AFP/Ozan Kose)
ADVERTISEMENT
Tiga tahun sudah berlalu sejak gol hantu Luis Garcia mengantarkan Liverpool ke Istanbul ketika Ian Rush berkata bahwa Chelsea tidak bisa membeli tradisi yang dimiliki Liverpool. Ketika itu, pada musim 2007/08, Chelsea dan Liverpool kembali bersua di semifinal Liga Champions dan sejarah mencatat, Chelsea-lah yang melenggang ke final sebelum akhirnya ditundukkan Manchester United.
ADVERTISEMENT
Apa yang dikatakan Rush, si legenda Liverpool, itu benar. Chelsea, tentu saja, tidak bisa membeli tradisi. Akan tetapi, dengan kucuran uang Roman Abramovich, mereka justru sedang menciptakan tradisi itu. Chelsea, sejak awal 2000-an lalu, sudah mulai membangun narasi sejarah yang menempatkan mereka di atas dan akhirnya, itu semua berbuah hasil ketika pada 2012, trofi impian Abramovich tersebut berhasil dibawa pulang.
Liga Champions memang merupakan tempat yang eksklusif. Dengan kata lain, kalau sebuah klub tidak memiliki uang atau riwayat sebagai "bangsawan" di Eropa, maka mereka akan sulit diterima. Mereka akan terusir, entah bagaimana caranya, dan tak jarang, mereka yang sudah terusir itu sulit untuk kembali lagi. Leeds United, misalnya, setelah dengan kurang ajarnya mencoba merusak tatanan elite ini, kemudian justru selalu berdansa dengan kehancuran.
ADVERTISEMENT
Namun, pada musim kompetisi kali ini, ada sebuah anomali. Memang benar bahwa kompetisi ini baru separuh jalan di mana baru fase grup saja yang sudah (hampir) terselesaikan, tetapi apa yang terjadi di Grup G ini tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Grup G, pada musim ini, adalah grupnya para kuda hitam. Di sana, bercokollah Porto, Monaco, Besiktas, dan RasenBallsport Leipzig. Namun, walau berstatus kuda hitam, Porto dan Monaco adalah dua di antara sedikit klub yang punya sejarah mengesankan di sini. Porto adalah juara dua kali (1987 & 2004), sementara Monaco adalah finalis pada 2004 serta semifinalis musim lalu. Artinya, meski tidak mengakar selayaknya pada diri Real Madrid atau Bayern Muenchen, Porto dan Monaco tetap salah satu dari "mereka".
ADVERTISEMENT
Namun, tradisi itu tidak berlaku di Grup G. Setelah lima matchday, Monaco dipastikan tersingkir, Porto punya poin yang sama dengan RB Leipzig, sedangkan Besiktas sudah memastikan lolos. ke 16 besar. Di sini, tradisi milik Monaco sudah dipastikan tidak berguna, sementara Porto harus bersaing sampai detik terakhir dengan RB Leipzig yang merupakan "klub kemarin sore".
Bagi Besiktas, ini jelas bukan keikutsertaan mereka untuk pertama kalinya. Biar bagaimana pun, mereka adalah salah satu klub elite di Turki sana bersama Galatasaray dan Fenerbahce. Namun, keberhasilan mereka lolos ke fase gugur ini adalah untuk pertama kalinya sejak sistem grup diperkenalkan.
Sementara itu, RB Leipzig adalah klub yang dibentuk pada 2009 dan baru dua musim berkiprah di Bundesliga Jerman, sehingga, bagi mereka ini semua adalah yang pertama. Jika berhasil lolos, ini bakal menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar luar biasa.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi pada para klub tradisional di Grup G ini adalah sebuah pertanda bahwa sesungguhnya, tradisi itu sebenarnya bisa didobrak. Chelsea, tentu saja, sudah mencontohkan hal itu. Pun demikian dengan Manchester City yang juga sempat menjadi semifinalis musim 2015/16 serta Paris Saint-Germain yang belakangan ini tak pernah absen dari fase gugur.
Selebrasi Talisca dan Cenk Tosun. (Foto: AFP/Ozan Kose)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi Talisca dan Cenk Tosun. (Foto: AFP/Ozan Kose)
Semua itu, tentunya, menjadi mungkin karena uang. Ini adalah hal paling krusial dan paling tidak bisa dipungkiri. Untuk Chelsea, City, dan PSG, itu sudah jelas. Tingkah polah mereka selama ini sudah menunjukkan bahwa mereka memang klub kaya raya dan tidaklah mengherankan jika kemudian mereka bisa berprestasi.
Namun, untuk Besiktas dan RB Leipzig ceritanya sedikit lain. Memang benar bahwa keberhasilan mereka ini tidak bisa dilepaskan dari dukungan finansial, tetapi kedua klub ini memiliki pendekatan yang berbeda dibanding ketiga klub di atas. Alih-alih jor-joran, mereka berinvestasi. Jika Leipzig berinvestasi dengan merekrut pemain-pemain muda berbakat, Besiktas berupaya mewujudkan mimpinya dengan mendatangkan pemain-pemain veteran sarat pengalaman, setidaknya untuk saat ini.
ADVERTISEMENT
Meski punya dua cara berbeda dalam berinvestasi, satu hal yang menjadi kesamaan antara Besiktas dan Leipzig ini adalah bagaimana bagusnya manajemen mereka. Besiktas, pada 2012 lalu, memiliki utang sampai 250 juta euro. Itu belum termasuk 142 tuntutan hukum yang harus mereka hadapi. Namun, di bawah kendali Fikret Orman, klub berjuluk "Elang Hitam" ini berbenah.
Besiktas memulainya justru dengan membangun stadion anyar. Kemudian, hal itu dilanjutkan dengan proses rekrutmen pemain serta pelatih yang pas, hingga akhirnya, kini mereka pun sedang berada dalam jalur yang pas untuk menjadi klub modern dengan menjadi klub Turki pertama yang melakukan tur Asia. Boleh dibilang, kesuksesan Besiktas ini pun sebenarnya terhitung instan meski proses yang mereka lalui tidak mudah.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, RB Leipzig tidak perlu ditanya lagi. Dengan sokongan dana dari Red Bull, mereka mengobrak-abrik tatanan elite sepak bola Jerman. Namun, di balik aroma instan yang kuat itu, ada sebuah rencana jangka panjang yang tertanam dalam DNA mereka. Sejauh ini, Die Roten Bullen (Si Banteng Merah) baru sekali merekrut pemain berusia di atas 26 tahun dalam diri Kevin Kampl dan ini membuktikan bahwa seperti Chelsea, City, atau PSG, mereka sebenarnya tengah membangun sebuah tradisi.
RB Leipzig pecundagi AS Monaco. (Foto: Reuters/Eric Gaillard)
zoom-in-whitePerbesar
RB Leipzig pecundagi AS Monaco. (Foto: Reuters/Eric Gaillard)
Adapun, tradisi dalam sepak bola ini sendiri sebenarnya punya makna yang begitu sumir. Dalam sejarah, ada kecenderungan bahwa tim-tim yang punya banyak gelar di masa lampau bisa lebih sukses di era modern ini. Hal ini, tak lain dan tak bukan, disebabkan oleh adanya kooptasi terhadap tradisi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Oleh mereka, tradisi atau hal-hal besar yang terjadi dalam sejarah mereka itu kemudian dijual. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para korban Tragedi Udara Muenchen, inilah yang dilakukan Manchester United. Klub tetangga City itu menjadikan tragedi itu sebagai sebuah folklor yang kemudian memikat banyak orang dan alhasil, keterpikatan itu berubah wujud menjadi pundi-pundi uang di brankas.
Meski begitu, tidak semuanya bisa melakukan hal ini. Porto dan Monaco itu tadi contohnya. Monaco bahkan sempat mengalami kesulitan keuangan hanya beberapa tahun setelah menjadi finalis Liga Champions 2004. Beruntung, mereka kemudian diselamatkan oleh kucuran dana Dmitry Ryobovlev. Artinya, tradisi ini sendiri pada akhirnya tidak akan banyak membantu jika klub-klub itu tadi tidak mampu mengkapitalisasinya. Kalau belum yakin dengan contoh Monaco ini, coba tengok kiprah Ajax.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, pada akhirnya nanti Besiktas dan RB Leipzig (kalau lolos) di fase gugur akan berhadapan dengan klub-klub besar yang punya (kemampuan untuk mengkapitalisasi) tradisi lebih baik. Maka dari itu, meski layak diacungi dua jempol, kiprah mereka di fase gugur nantinya bakal sedikit-banyak bergantung pada efek kejut serta keberuntungan dan untuk bisa mencapai level yang setara dengan klub-klub itu, "Si Elang" dan "Si Banteng" masih perlu waktu.
=====
*) RB Leipzig dan Besiktas akan berhadapan pada matchday keenam Liga Champions di Red Bull Arena, Leipzig, pukul 02.45 WIB.