Sigit Budiarto Kenang Juara Piala Thomas 98: Dilepas Soeharto, Disambut Habibie

15 Oktober 2021 12:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ganda putra Indonesia Sigit Budiarto bersama pasangannya Chandra Wijaya saat pertandingan Kejuaraan Dunia IBF di arena Arrowhead Pond CA, pada 21 Agustus 2005. Foto: GERARD BUrkhart / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ganda putra Indonesia Sigit Budiarto bersama pasangannya Chandra Wijaya saat pertandingan Kejuaraan Dunia IBF di arena Arrowhead Pond CA, pada 21 Agustus 2005. Foto: GERARD BUrkhart / AFP
ADVERTISEMENT
Gelar juara Piala Thomas 1998 masih melekat di benak Sigit Budiarto hingga kini. Bukan hanya perkara berhasil mempertahankan titel juara, edisi 1998 juga diwarnai dengan gejolak politik di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Di Piala Thomas 1998, Sigit yang berpasangan dengan Candra Wijaya memberikan kontribusi maksimal dengan membuat tim Indonesia meraih menyapu bersih seluruh partai dengan kemenangan.
Indonesia tergabung di Grup B bersama Malaysia, Korea Selatan dan Belanda. Di semifinal, mereka berhadapan dengan China dan kembali bersua Malaysia di partai puncak. Indonesia menang 3-2 atas 'Negeri Jiran' di final.
Sigit bercerita tentang momen menarik di Piala Thomas 1998. Kala itu, situasi politik di Indonesia sedang panas dan terjadi kerusuhan di berbagai daerah.
Hal itu tentu menjadi beban tim Indonesia yang berlaga di Hong Kong. Kendati begitu, tim Indonesia tetap mampu meraih hasil positif, dengan juara di Piala Thomas dan runner-up Piala Uber.
Peristiwa unik terjadi saat tim Indonesia pulang. Saat itu, Presiden yang melepas kepergian tim ke Hong Kong, Soeharto, sudah lengser dan digantikan sosok baru yakni B.J. Habibie.
ADVERTISEMENT
Alhasil, tim bulu tangkis Indonesia berangkat dan disambut dengan presiden berbeda.
''Setiap Thomas Cup sebenarnya ada cerita-ceritanya, tapi tahun 1998 itu sangat menarik. Di mana kami berangkat pamitannya dengan Soeharto, pulangnya sudah ganti presiden,'' kata Sigit dalam wawancara khusus bersama kumparan.
Ganda putra Indonesia Sigit Budiarto saat pertandingan All England di Birmingham, Inggris, pada 11 Maret 2001. Foto: ADRIAN DENNIS / AFP
''Karena memang saat itu sedang terjadi kerusuhan di Indonesia. Jadi, memang perjuangan yang cukup berat juga buat tim Indonesia pada saat di sana,'' lanjutnya.
Kala itu, partai final Piala Thomas berlangsung pada 24 Mei 1998. Sementara, Soeharto mundur dari kursi jabatannya pada tiga hari sebelumnya atau tepatnya 21 Mei 1998.
''Dengan kondisi Indonesia dilanda kerusuhan, kami tim Piala Thomas dan Uber harus bertanding di sana dengan tekanan yang bermacam-macam, bukan hanya dari sisi permainan, tetapi dari sisi psikologisnya juga banyak tekanan,'' ucap Sigit.
ADVERTISEMENT
Sigit juga menerangkan situasi Jakarta kala itu. Masyarakat, katanya, sempat dibuat takut oleh parade perayaan juara tim Indonesia. Mereka mengira kerusuhan kembali pecah.
''Tahun 98 itu satu sejarah luar biasa buat kita juga 'kan. Pas kami pulang, waktu itu mau diarak ke Istana, itu dengar sirine juga orang-orang pada takut, dikiranya masih ada kerusuhan. Setelah tahu kalau itu tim Thomas yang lewat, mereka cukup senang gitu,'' kenang Sigit.
Soeharto turun. Foto: Wikimedia Commons
Tim Indonesia sendiri berlaga di final Piala Thomas pada 23 Mei 1998. Dua hari sebelumnya, 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari kursi kepresidenan setelah terjadi kerusuhan di berbagai daerah.
***
Ikuti survei kumparan Bola & Sport dan menangi e-voucher senilai total Rp 3 juta. Isi surveinya sekarang di kum.pr/surveibolasport.
ADVERTISEMENT