Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Steve Kerr, Sang Putra Tragedi yang Cerdik Cendekia
16 Januari 2018 13:47 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
ADVERTISEMENT
"The truly civilized man is marked by empathy. By his recognition that the thought and understanding of men of other cultures may differ sharply from his own, that what seems natural to him may appear grotesque to others." - Malcolm Kerr
ADVERTISEMENT
Rekor itu masih bertahan sampai detik ini. Sudah hampir 15 tahun sejak Stephen Douglas Kerr mengakhiri kariernya sebagai pemain di NBA dan belum ada satu orang pun yang mampu memecahkan rekor miliknya.
Rekor yang dimaksud adalah rekor persentase tembakan tiga angka. 15 tahun Kerr berlaga di NBA dan dalam kurun waktu itu, dia mampu mencatatkan persentase 45,40%. Sampai saat ini, dia masih unggul dari penembak-penembak hebat macam Hubert Davis, Drazen Petrovic, bahkan dua anak didiknya kini, Stephen Curry dan Klay Thompson alias The Splash Brothers.
Bagi Stephen Douglas Kerr atau yang lebih dikenal dengan nama Steve Kerr, semua berawal dari halaman rumahnya di Pacific Palisades. Dibesarkan di keluarga berada, Kerr kecil beruntung karena dia tak harus beranjak jauh dari rumah untuk melatih kemampuan menembaknya itu. Di ranch house milik ayahnya yang berhalaman luas itu, sebuah ring basket menjadi pelatih terbaik Kerr dalam membentuk kemampuannya yang tak tertandingi itu.
ADVERTISEMENT
Namun, California bukanlah rumah sesungguhnya bagi Kerr. Steve Kerr, begitu pula dengan ayah serta kakek dan neneknya, pada dasarnya adalah orang Timur Tengah. Semuanya bermula ketika Stanley dan Elsa, kakek dan nenek Steve, bertemu di Kahramanmaras, Turki, pada 1921. Kala itu, Stanley bekerja untuk American Near East Relief yang membantu para korban Genosida Armenia. Sementara, Elsa adalah seorang pengajar.
Sejak saat itu, Stanley dan Elsa Kerr hampir tidak pernah kembali ke Amerika Serikat, kecuali saat Perang Dunia II pecah. Ketika itulah Malcolm Kerr, satu dari empat anak mereka, menyelesaikan sekolah tinggi sebelum menjadi mahasiswa di Princeton. Dari sana, Malcolm Kerr kemudian menjadi ahli Timur Tengah sampai akhir hayatnya kelak.
Ketika Malcolm Kerr wafat, Steve Kerr masih remaja. Masih 18 tahun tepatnya. Sama seperti Malcolm, Steve juga lahir di Beirut, Lebanon. Akan tetapi, pada tahun 1983 itu, Steve Kerr sudah tak lagi menetap di Beirut, melainkan di Pacific Palisades. Sedangkan, Malcolm sendiri kala itu baru saja dipercaya menjadi presiden di American University of Beirut.
ADVERTISEMENT
American University of Beirut (AUB) adalah sebuah universitas yang telah berdiri sejak 1866. Di sana pulalah Stanley dan Elsa kemudian menjadi pengajar selama puluhan tahun. Stanley adalah Ketua Departemen Biokimia, sementara Elsa adalah Dekan Urusan Perempuan. Setelah selesai mengejar gelar sarjana di Princeton, Malcolm Kerr menjalani studi masternya di universitas ini.
Malcolm Kerr pun memulai kariernya sebagai pengajar di AUB setelah sebelumnya mendapatkan gelar doktoral dari Johns Hopkins University. Di masa-masa inilah Steve Kerr lahir. Tak lama setelah Steve Kerr lahir, Malcolm pun menerima tawaran pekerjaan dari University of California, Los Angeles (UCLA). Tawaran itu diterima Malcolm dan keluarga Kerr pun kembali boyongan ke Amerika.
Steve Kerr pada akhirnya memang tumbuh besar menjadi pemuda California. Namun, dalam masa tumbuh besarnya, dia jarang sekali bertemu dengan sang ayah. Pasalnya, meski punya pekerjaan tetap di UCLA, Malcolm Kerr justru lebih kerap bepergian, terutama ke Beirut. Ketika liburan pun Malcolm Kerr suka sekali mengajak istri dan anak-anaknya berjalan-jalan ke Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
Profisiensi Malcolm Kerr dalam studi Timur Tengah inilah yang akhirnya menjadi alasan di balik penunjukannya sebagai presiden baru AUB. Sayangnya, Malcolm Kerr datang di waktu yang salah.
Ketika Malcolm Kerr kembali ke Beirut pada 1982, kota itu sudah tak lagi seperti yang dia cintai. Di tengah memburuknya situasi Arab dan Israel, Lebanon pun terjebak di tengah-tengah. Dari yang awalnya merupakan kota di mana orang Islam dan Kristen bisa hidup tenteram berdampingan, Beirut kemudian menjadi terjebak dalam perseteruan Israel-Suriah. Di sana, turut hadir pula Yasser Arafat dengan Palestine Liberation Organization (PLO)-nya dan para pengikut Ayatollah Khomeini dari Iran yang kemudian menjadi Hizbullah.
Malcolm Kerr datang ketika kekerasan terhadap orang-orang Amerika sedang mencapai puncaknya. Beberapa waktu sebelumnya, Kedutaan Besar Amerika Serikat dibom dan dari sana, 63 orang meninggal dunia. Kemudian, Presiden AUB sebelumnya, David Dodge, pun sudah diculik. Malcolm Kerr datang ke Beirut sebagai target berjalan.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, pada 18 Januari 1984, Malcolm Kerr pun meninggal dunia. Di luar kantornya di AUB, Kerr ditembak dua orang bersenjata. Walaupun para jihadis mengklaim penembakan itu sebagai perbuatan mereka, banyak yang meragukan klaim itu. Kematian Malcolm Kerr pun mendapat eksposur besar di dunia internasional.
***
Pada titik itu, Steve Kerr sudah kurang lebih enam bulan tidak berjumpa dengan sang ayah. Terakhir kali Steve Kerr berada di Beirut, dirinya harus melarikan diri dengan mobil sewaan melewati pegunungan, sebelum akhirnya mencapai Damaskus, Suriah, kemudian Amman di Yordania. Situasi di Lebanon memang akhirnya terus memburuk sebelum akhirnya perang berakhir pada 1990.
Saat ayahnya meninggal, Steve Kerr adalah seorang mahasiswa tahun pertama di University of Arizona. Saat itu, Malcolm Kerr berusia 52 tahun, tak berbeda jauh dengan usia Steve Kerr saat ini. Akan tetapi, seperti yang dituturkannya kepada New York Times , sudah lebih dari tiga dekade berlalu dan kematian ayahnya itu masih saja membuatnya menitikkan air mata sampai saat ini.
ADVERTISEMENT
Steve Kerr memang akhirnya tidak mengikuti jejak kakek, nenek, maupun ayahnya yang berkecimpung di dunia akademis. Akan tetapi, dengan caranya sendiri, Steve Kerr adalah seorang pendidik. Di Golden State Warriors, dia sukses menularkan segala ilmu yang pernah dia serap untuk dipraktikkan anak-anak asuhnya. Dua gelar NBA dalam tiga musim adalah bukti sahih keberhasilan Kerr dalam mendidik.
Awalnya sulit bagi Kerr. Pasalnya, ketika dia mengambil alih pos kepelatihan Warriors pada 2014, tim ini sudah telanjur memiliki gaya bermain yang khas. Diperkuat pemain-pemain macam Curry, Thompson, serta Draymond Green dan Andre Iguodala, Warriors bermain tak ubahnya tim-tim NBA era terdahulu. Atau, lebih tepatnya, Warriors bermain seperti tim-tim Amerika pada umumnya.
Pelatih Warriors sebelumnya, Mark Jackson, sebenarnya seumuran dengan Kerr. Akan tetapi, Jackson tidak pernah mengalami bagaimana rasanya bermain di bawah Phil Jackson dan Gregg Popovich. Bagi Kerr, dua pelatih inilah yang kemudian menjadi pengaruh terbesarnya.
ADVERTISEMENT
Di bawah Mark Jackson, Warriors tidak tampil buruk. Pada musim 2013/14, mereka mampu mencatatkan rekor 51-31 dan lolos ke play-off meski kemudian disingkirkan Cleveland Cavaliers di babak pertama. Namun, justru di sinilah kesulitan sebenarnya bagi Kerr terletak. Mengubah tim bagus menjadi lebih bagus ternyata lebih sulit dibanding mengubah tim jelek menjadi bagus.
Bersama Jackson, Warriors masih mengandalkan permainan isolasi satu-lawan-satu seperti pada era terdahulu. Padahal, pada musim 2013/14 itu, misalnya, NBA sudah menyaksikan bagaimana San Antonio Spurs di bawah Gregg Popovich memainkan basket yang mengedepankan penguasaan bola. Bukan kebetulan pula jika kemudian, Spurs milik Popovich itulah yang keluar sebagai juara dan oleh Kerr, tim Spurs itu dijadikan sebagai patokan.
ADVERTISEMENT
Namun, inspirasi bagi Kerr itu tak cuma datang dari Spurs. Triangle offense ala Phil Jackson di Chicago Bulls era 1990-an juga menjadi inspirasi tersendiri. Akan tetapi, triangle offense itu kemudian dimodifikasi oleh Kerr. Pasalnya, dengan triangle offense murni seperti milik Phil Jackson yang lebih berpusat di center atau power forward, pemain-pemain seperti Steph Curry dan Klay Thompson bakal tersingkirkan.
Kerr sendiri tahu bagaimana rasanya menjadi Curry dan Thompson. Sebagai pemain, Kerr tidak seatletis rekan-rekannya. Meski punya kemampuan menembak yang mematikan, Kerr pun lebih kerap dimainkan sebagai aktor pendukung, baik itu oleh Jackson maupun Popovich. Khusus untuk Popovich, ketika dia masih memiliki Kerr, pelatih 68 tahun ini belum menerapkan permainan possession seperti sekarang dan masih mengandalkan big men-nya, Tim Duncan dan David Robinson.
ADVERTISEMENT
Kala itu, Kerr memang menjadi pemain yang mendahului masanya. Di saat NBA masih didominasi pemain-pemain atletis yang bisa melakukan atraksi-atraksi menawan, permainan cerdas penuh presisi ala Kerr masih terpinggirkan. Walau begitu, sebagai penembak tiga angka, Kerr sama sekali tak pernah mengecewakan. Kala memperkuat Spurs pada musim 2002/03, Kerr adalah aktor yang menjadi penentu kemenangan Spurs atas Dallas Mavericks dalam final Wilayah Barat.
Bagi Kerr, logikanya sederhana. Jika semua itu dipadukan menjadi satu, maka dirinya akan memiliki tim terkuat di liga.
Awalnya, yang dibenahi Kerr adalah cara bermain Warriors. Musababnya jelas. Dengan jumlah rata-rata umpan yang cuma mencapai 247 per pertandingan, Warriors justru menjadi rentan terhadap turnover karena aksi-aksi individual jelas lebih mudah digagalkan dibanding permainan kolektif.
ADVERTISEMENT
Ketika Kerr pertama kali menerapkan ini di Warriors, anak-anak asuhnya begitu kesulitan. Alih-alih berkurang, jumlah turnover Warriors justru meningkat drastis. Dalam lima pertandingan pertama, Warrriors memang berhasil menyapu bersih. Akan tetapi, dalam satu pertandingan, ada lebih dari 21 turnover yang dilakukan.
Akhirnya, Kerr pun melongok catatan statistik dan menemukan penyebabnya. Warriors memang sudah menjalankan perintahnya dengan melakukan pass and move. Akan tetapi, umpan yang mereka lakukan justru terlalu banyak dan pergerakan pasca-mengumpan yang dilakukan masih minim. Pendek kata, tim itu menjadi seperti Manchester United-nya Louis van Gaal: mengumpan tanpa tujuan jelas.
Dari sana, yang dilakukan Kerr kemudian adalah melakukan pendekatan terhadap para pemainnya sebagai manusia. Maksudnya, Kerr tahu bahwa secara teknis, pemain-pemainnya itu sudah tidak bermasalah. Akan tetapi, ada semacam ketakutan di sana. Ketakutan bahwa mereka akan berbuat salah dan semacamnya. Maka dari itu, Kerr pun mendorong para pemainnya untuk lebih berani membuat keputusan.
ADVERTISEMENT
"Kalau kamu ada di posisi terbuka, tembaklah bolanya. Kalau tidak, baru berikan umpan lagi. Yang jelas, jangan cuma diam setelah mengumpan. Teruslah bergerak mencari ruang," kata Kerr seperti disitat dari ESPN Magazine .
Semua itu hampir berhasil sampai akhirnya, Warriors harus bertemu dengan San Antonio Spurs. Pada laga itu, Spurs berhasil menang atas dengan memanfaatkan segala kesalahan yang dibuat para pemain Warriors. Pertandingan itulah yang kemudian menjadi titik balik bagi Warriors. Kata Kerr, itulah hal terbaik yang pernah terjadi kepada timnya.
Sejak saat itu, para pemain Warriors pun semakin matang. Mereka menjadi tahu mana yang boleh dilakukan, mana yang tidak. Hasilnya, ya, itu tadi. Dua gelar NBA dalam dua tahun berhasil direngkuh. Kerr pun kini sudah berada di jajaran pelatih papan atas bersama Brad Stevens, Gregg Popovich, serta Tyronn Lue.
ADVERTISEMENT
***
Steve Kerr, singkat kata, adalah seorang pembelajar sekaligus pengajar. Ilmu yang didapatkannya pun datang dari berbagai sumber. Dari ayahnya, dia belajar bagaimana menghargai kultur orang lain dan tidak melihatnya sebagai sesuatu yang berbahaya. Itulah yang pada dasarnya dia lakukan baik sebagai figur basket maupun individu.
Sebagai figur basket, Kerr belajar banyak dari Phil Jackson dan Gregg Popovich. Selain itu, dia juga belajar dari situasi tak ideal yang dihadapinya sebagai pemain. Dari sana, semua dikombinasikan menjadi sebuah ide baru yang ternyata, justru mampu mewujud menjadi rentetan prestasi. Tak cuma itu, di sini, Kerr pun secara tidak langsung sudah membangun masa depan NBA itu sendiri.
Bicara soal masa depan NBA, Kareem Abdul-Jabbar pernah menulis di The Guardian bahwa liga bola basket ini adalah masa depan olahraga di Amerika Serikat karena inklusivitasnya. Di sini, bersama Popovich, Kerr menjadi sosok yang vokal dalam mempromosikan inklusivitas itu sendiri. Maka dari itu, dengan keberadaan sosok seperti Steve Kerr, masa depan basket sudah berada di tangan yang aman.
ADVERTISEMENT