Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Tim-tim NBA begitu sibuk di masa free agency. Beberapa tim top macam Los Angeles (LA) Lakers, LA Clippers, Boston Celtics, hingga Houston Rockets berlomba-lomba berburu pemain bintang untuk memperkuat amunisi di musim 2019/20.
ADVERTISEMENT
Ketika pemain kaliber bintang seperti Anthony Davis, Kemba Walker, Kawhi Leonard, Russell Westbrook, atau Paul George tengah berbunga-bunga karena mendapat pelabuhan anyar, tidak demikian dengan Jeremy Lin .
Roda kehidupan memang berputar begitu cepat bagi Lin. Meski statusnya adalah pemain keturunan Asia-Amerika pertama yang bisa meraih trofi NBA--yang didapatkan bersama Toronto Raptors--kondisi itu tak serta membuatnya jadi incaran di free agency.
Sepi peminat, begitu istilah lain yang dari apa yang dilontarkan Lin ketika menghadiri sebuah acara GOOD TV di Taiwan. Situasi yang kemudian membuat sosok berusia 30 tahun itu merasa frustasi.
“Setiap tahu terasa semakin sulit. Ada sebuah pepatah mengatakan: ‘Setelah Anda mencapai titik terendah, satu-satunya cara adalah bangkit. Tapi, titik ini terasa semakin rendah. Masa free agency ini terlalu sulit buat saya karena saya merasa NBA sudah menyerah kepada saya,” kata Lin sembari menitikkan air mata.
ADVERTISEMENT
Lin sebetulnya memasuki rimba NBA dengan jalan yang begitu terjal. Ia merupakan undrafted player pada tahun 2010 ketika Golden State Warriors mengikatnya dengan kontrak dua tahun. Tahun pertamanya tak berjalan lancar karena Lin kudu bersaing dengan Stephen Curry dan Monta Ellis sebagai point guard utama Warriors saat itu.
Hanya setahun Lin di Oracle Arena dan Desember 2011 ia hijrah ke New York Knicks. Di sini, Lin sempat bersinar pada kurun waktu Februari-Maret 2012. Ia rata-rata memasukkan 14,6 poin dari 35 laga. Masa keemasan itu dikenang dengan istilah ‘Linsanity’.
Tapi, cedera menjadi penghalang karier Lin yang tengah menanjak. Ia menjadi pemain musafir karena dalam kurun 2012-2015 tiga kali berpindah tim, mulai dari Rockets, Lakers, dan Charlotte Hornets.
ADVERTISEMENT
Harapan sempat muncul saat Brooklyn Nets merekrutnya pada 2016. Sayang, cedera hamstring bikin Lin cuma mentas 36 kali di musim perdananya. Kian malang nasibnya karena di laga pertama musim 2017/18, Lin terkena cedera lutut yang membuatnya absen hingga akhir musim.
Nets menyerah dan melepasnya ke Atalanta Hawks pada Juli 2018. Bermain 51 kali dengan rata-rata mencetak 10,7 poin, Hawks justru melego Lin ke Raptors pada Februari 2019. Meski berhasil meraih kejayaan di Raptors, perannya terbilang sangat minim. Lin cuma mentas delapan kali di babak playoff dengan rata-rata 3,4 menit per gim.
“Setelah ‘Linsanity’, banyak hal berat terjadi. Di Rockets, Lakers, dan banyak hal lain yang publik tidak ketahui. Kemudian saya mendapat kesempatan di Nets dan mimpi utama saya muncul lagi: Saya punya kesempatan untuk menjadi pemain (NBA),” kenangnya.
ADVERTISEMENT
“Kemudian saya didera cedera setahun, dua tahun, yang terjadi di masa keemasan. Dan musim panas lalu saya di-trade ke tim dengan rekor terburuk di Wilayah Timur (Hawks). Di sana sangat sulit karena sedang membangun ulang tim. Jika bukan pemain muda, Anda tak akan merasa cocok dan saya sendiri sudah tua,” jelasnya.
“Setelah musim lalu, saya harus siap dengan tur Asia dan saya ingin ini yang terakhir karena selama enam pekan harus pura-pura tersenyum. Saya berbicara soal trofi yang sepenuhnya tak saya dapatkan. Bercerita tentang masa depan, padahal saya pun tahu. Jujur saja, ini semua memalukan. Terasa berat,” ucap Lin.
Terlepas dari belum jelasnya masa depan Jeremy Lin di NBA, kariernya sebagai pemain basket masih memungkinkan untuk dilanjutkan. Memang bukan tim NBA, Lin dikabarkan diincar oleh jawara Liga Basket Eropa musim lalu, CSKA Moscow.
ADVERTISEMENT
Lin memang belum mengambil keputusan apakah meninggalkan atau bertahan di NBA. Yang jelas, peliknya situasi di masa free agency 2019 ini bikin lulusan Universitas Harvard tersebut berada di titik terendah dalam kariernya sebagai pebasket profesional.
“Sekarang, saya lebih banyak berpikir untuk berhenti. Saya selalu mengatakan pada diri sendiri jika memiliki seorang putra, saya tidak ingin dia bermain di NBA. Karena Anda tidak harus selalu hidup dengan ketenaran.”
“Anda tidak harus selalu menjalani hidup yang Anda idamkan ketika semua kegagalan Anda dipamerkan kepada dunia," pungkas Lin.