Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Tentang Ayah dan Anak Perempuannya: Piotr dan Caroline Wozniacki
9 Januari 2019 19:12 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
ADVERTISEMENT
Tenis Caroline Wozniacki adalah perjalanan yang dihidupi bersama kawan. Dan yang menjadi kawan adalah ayahnya sendiri.
ADVERTISEMENT
“Tenis adalah olahraga individual. Kami, para petenis, sering merasa kesepian karenanya. Itulah sebabnya saya meminta ayah menjadi pelatih. Ia selalu menjadi kawan terbaik di sepanjang hidup saya,” seperti itu jawaban Wozniacki dalam wawancara eksklusif Graham Bensinger ketika ditanya mengapa ia memilih ayahnya sendiri, Piotr Wozniacki, sebagai pelatih.
Piotr bukan mantan petenis. Bukan pula orang yang menggeluti tenis secara serius atau mendapat pendidikan khusus sebagai pelatih tenis. Perjalanan tenis Piotr serupa Wozniacki. Berawal dari coba-coba, lalu sampai pada keputusan matang untuk mengubah haluan seumur hidup.
Wozniacki awalnya tidak menyukai tenis, ia jatuh cinta pada sepak bola. Namun, ayahnya tak suka ia bermain sepak bola karena di kotanya tak ada klub sepak bola untuk anak perempuan. Piotr jengah melihat anak perempuannya sering menghabiskan waktu bersama sekumpulan anak laki-laki. Beruntunglah Wozniacki karena ada banyak anak perempuan yang bermain tenis di kota itu.
ADVERTISEMENT
Wozniacki beruntung karena kecintaannya pada olahraga tak kandas di tengah jalan. Entah mana yang benar: Wozniacki menemukan tenis atau tenis menemukan Wozniacki. Yang jelas, Wozniacki sampai juga pada gelar juara Grand Slam pertamanya di Australia Terbuka 2018.
“Latihannya begitu konyol. Masa saya disuruh melakukan servis tanpa melihat bola yang saya pegang? Dia bilang kepada saya: Jangan lihat bolanya. Saya akan melemparkan satu bola bersamaan dengan kamu melempar bola. Kamu harus memukul bola yang saya lempar," kenang Wozniacki masih dalam wawancara ekskulsif Bensinger itu.
Salah besar jika latihan itu melahirkan hal yang berguna bagi permainan tenis Wozniacki karena yang ada justru gagal total. Hidung Wozniacki bahkan berdarah karena latihan itu.
ADVERTISEMENT
“Ya, mana bisa saya memukul bolanya kalau tidak melihat. Yang ada kedua bola tadi justru membentur hidung saya sampai berdarah. Saya langsung pergi dan meninggalkan ayah begitu saja karena kesal. Latihan itu tidak lucu. Malamnya ayah bilang kepada saya bahwa latihan itu cuma bercanda. Tentu saya bertambah kesal,” ucap petenis berkebangsaan Denmark ini.
Sebagian dari kita mungkin punya pengalaman sejenis. Cerita-cerita konyol yang pada akhirnya menjadi gambaran bahwa ayah dan ibu punya kecenderungan berbeda. Semakin besar si anak, semakin besar pula kecemasan seorang ibu. Sehari-hari ia akan dipenuhi dengan ketakutan, jangan-jangan si anak melakukan hal yang tidak-tidak. Jangan heran bila entah berapa jam sekali ibu akan menelepon, memastikan kalian sedang di mana dan sedang bersama siapa.
ADVERTISEMENT
Tapi, sebagian dari ayah kita mungkin tidak seperti itu. Ketimbang bereaksi serius atas apa yang dialami anak-anaknya--tentu bila masih ada dalam koridor baik-baik saja--seorang ayah memilih untuk menyikapinya dengan santai.
Lantas, keluhan-keluhan kita akan dipenuhi dengan lelucon khas ayah yang tak jarang membuat dahi berkerut karena saking tak lucunya. Lelucon yang pada akhirnya membuat kita bergumam ‘hade’ atau ‘apa, sih’.
Tenis Wozniacki tidak stabil, performanya naik-turun. Hari ini menang melawan petenis besar, besok bisa kalah melawan petenis yang peringkatnya lebih rendah. Kiprah Wozniacki di musim kompetisi 2018 berkata demikian. Usai menjadi kampiun di Australia Terbuka 2018, Wozniacki kandas di turnamen-turnamen selanjutnya.
Tak sampai seminggu setelah berjaya di Melbourne Park, Wozniacki terempas di perempat final St. Petersburg Ladies’ Trophy. Ia kalah dari petenis asal Rusia, Daria Kasatkina. Di Qatar Terbuka, giliran Petra Kvitova yang mengalahkannya di semifinal.
ADVERTISEMENT
Indian Wells punya cerita yang lebih menyedihkan untuk Wozniacki. Baru sampai di babak keempat ia kembali tunduk di hadapan perlawanan Kasatkina. Di Miami Terbuka, langkahnya bahkan selesai di babak kedua akibat takluk dari Monica Puig.
Jelang berlaga di Prancis terbuka, Wozniacki kalah di tiga turnamen beruntun: perempat final Piala Istanbul (dari Pauline Parmentier), babak ketiga Madrid Terbuka (dari Kiki Bertens), dan perempat final Italia Terbuka (dari Anett Kontaveit).
Di Prancis Terbuka, Kasatkina kembali menghajarnya dengan kekalahan di babak keempat. Kabar baiknya, kekalahan bertubi-tubi itu rehat juga di Eastbourne International. Gelar juara berhasil direngkuh oleh Wozniacki usai mengalahkan Aryna Sabalenka.
Yang disayangkan, penampilan Wozniacki kembali merosot. Di Wimbledon, ia hanya sanggup bertahan hingga babak kedua karena kalah dari Ekaterina Makarova. Tiga turnamen pemanasan jelang AS Terbuka pun berakhir dengan nasib serupa, perjalanannya bahkan tak lebih panjang daripada babak kedua. Bertambah buruk karena seri terakhir Grand Slam 2018 juga tuntas dengan hasil minor: kalah dari Lesia Tsurenko di babak kedua.
ADVERTISEMENT
Setelah menelan dua kekalahan lagi di Pan Pacific Terbuka dan Wuhan Terbuka, Wozniacki akhirnya menyegel trofi juara di China Terbuka berkat keberhasilannya mengalahkan Anastasija Sevastova.
Perjalanan Wozniacki di musim 2018 ditutup dengan kekalahan di WTA Finals. Di kompetisi puncak WTA itu, Wozniacki gugur di babak round robin akibat dua kekalahan dari tiga laga. Yang menyedihkan, rentetan kekalahan di sepanjang musim 2018 tadi didapat dari petenis yang peringkatnya lebih rendah. Bahkan Parmentier yang mengalahkannya di Piala Istanbul itu berstatus sebagai petenis peringkat ke-122 dunia.
Kekalahan demi kekalahan yang menjadi penanda inkonsistensi seharusnya menjadi alarm bagi Wozniacki. Sebagai petenis profesional seharusnya ia merasa ada yang tidak tepat dari penampilannya di sepanjang musim. Jangan-jangan kepelatihan yang tidak tepat menjadi pangkal segala catatan minor tadi.
ADVERTISEMENT
Toh, Wozniacki sendiri mengakui bahwa ayah plus pelatihnya itu pada dasarnya tidak menggeluti tenis secara profesional. Namun, Wozniacki punya pemikiran lain. Yang dibutuhkannya bukan cuma saran taktikal atau teknis, tapi juga koneksi yang klik dengan orang yang membentuknya sebagai petenis kelas dunia.
"Tenis miliknya memang bukan yang paling luar biasa, tapi ia mau belajar banyak. Ia mengamati pertandingan saya, mendengarkan orang-orang yang lebih ahli, dan bersedia untuk memperbaiki kesalahan kami bersama-sama. Ia orang pertama yang menyaksikan saya memukul-mukulkan bola ke tembok dan juga menjadi orang pertama yang berkata kepada saya: Hei, saya bisa membantumu."
"Saya pernah bekerja dengan beberapa pelatih, tapi pada akhirnya saya menginginkan dia untuk menjadi pelatih. Ia selalu melihat saya. Ini yang membuat hubungan kami jadi begitu spesial," jelas Wozniacki.
ADVERTISEMENT
Tenis adalah pertarungan antara manusia dewasa. Tak peduli semuda apa pun umur seorang petenis atau sebaru apa pun perjalanannya di jagat tenis, begitu laga dimulai, maka ia harus siap untuk bertanding sebagai orang dewasa.
Posisi pelatih di pertandingan tenis tidak sama dengan pertandingan sepak bola. Di sepak bola, pelatih akan mengambil posisi sedekat mungkin dengan garis tepi dan bebas memberikan instruksi. Ia masih bisa bicara kepada anak-anak asuhnya, memeluk mereka saat mencetak gol, dan menepuk mereka saat gagal mengonversi umpan emas menjadi gol.
Di tengah-tengah gempuran serangan lawan, ada pelatih yang berteriak dari pinggir lapangan, yang mengingatkan mereka untuk tetap fokus dan tenang. Saat mereka bersantai-santai dengan permainan karena sudah unggul, ada pelatih yang berteriak dari pinggir lapangan, mengingatkan mereka untuk tetap menekan lawan sampai laga usai.
ADVERTISEMENT
Tenis tidak seperti itu. Pelatih akan duduk di tribune penonton, di boks khusus bersama kerabat terdekat petenis. Pelatih bahkan dilarang untuk memberi instruksi kepada anak didiknya saat laga berlangsung. Di atas lapangan tenis kau akan dipaksa untuk menjadi dewasa, menjadi orang yang bergantung pada diri sendiri.
Kecenderungannya, seorang ayah akan menganggap anak perempuannya sebagai anak-anak berapa pun usianya. Kita mengenal istilah daddy's little girl dan ada begitu banyak anak perempuan mengklaim diri sebagai daddy's little girl. Yang menjadi persoalan, karier seorang petenis akan cepat tamat jika tak mau menjadi petarung yang dewasa. Dan bagaimana bisa seseorang menjadi dewasa bila terus-terusan diperlakukan sebagai anak-anak?
Maka, beruntunglah Wozniacki karena Piotr bukan ayah yang demikian. Sebagai pelatih, ia memperlakukan anaknya sebagai orang dewasa, sebagai petenis yang berpacu merebut gelar juara, nama besar, dan kehormatan. Walau di sisi lain, perlakuan spesial ayah kepada anak perempuannya dan perintah-perintah yang terkesan mengekang itu pun akan tetap ada.
ADVERTISEMENT
Untuk hal terakhir, Piotr pernah kedapatan memaksa Wozniacki di depan pelayan restoran untuk mengganti pasta pesanannya dengan ayam. Namun, di antara hal-hal yang terkesan tak ideal itu, Piotr tetap memberikan kedua telinganya untuk Wozniacki. Mendengar apa yang menjadi pendapatnya, sepakat dengan apa yang menjadi tujuannya.
Wozniacki dan Piotr memang akan selalu berdekat-dekatan saat persiapan pertandingan atau turnamen. Namun begitu pertarungan sesungguhnya dimulai, keduanya akan dipisahkan oleh jarak yang lebar. Tak peduli selama apa pun laga berjalan, tak ada urusan sehebat apa lawan Wozniacki--keduanya hanya akan bertemu kembali di waktu rehat dan kemenangan atau kekalahan.
"Saya pikir, ia selalu memperlakukan saya sebagai orang dewasa dan ini yang membuat saya menghargai hubungan kami. Sejak saya masih bocah, ia selalu menanyakan pendapat saya. Saya pikir, penting baginya untuk mengetahui apa yang saya rasakan dan mau. Penting buatnya untuk memahami tujuan saya sehingga ia dapat membantu untuk mewujudkannya."
ADVERTISEMENT
Sengitnya musim 2019 ditandai dengan Australia Terbuka yang menjadi seri pembuka kompetisi Grand Slam. Wozniacki tak laga memasuki turnamen sebagai peringkat satu karena kini ia menjadi yang nomor tiga. Di peringkat pertama ada Simona Halep yang memasuki turnamen dengan bekal gelar juara Prancis Terbuka 2018. Di peringkat kedua ada Angelique Kerber yang memangku trofi juara Wimbledon 2018. Bukan kompetitor yang mudah, tapi juga bukan kompetitor yang tampil konsisten di sepanjang musim 2018.
Serupa Wozniacki, keduanya pun mengalami pasang-surut performa. Namun, penampilan tak maksimal di musim lalu bukannya tak mungkin menjadi pecut yang mendorong ambisi keduanya untuk tampil mati-matian merebut gelar di musim 2019.
Bila sudah seperti ini, keduanya bisa menjadi ancaman mengerikan buat Wozniacki. Terlebih, musim Wozniacki sudah dipastikan tidak akan berjalan semudah musim-musim sebelumnya. Wozniacki didiagnosis mengidap rheumatoid arthritis jelang AS Terbuka 2018.
ADVERTISEMENT
Penyakit ini merupakan peradangan kronis pada sendi yang menyebabkan rasa sakit, bengkak dan kaku pada persendian. Peradangan ini juga bisa menghancurkan jaringan persendian dan bentuk tulang. Pada dasarnya, rheumatoid arthritis terjadi saat sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan tubuh Anda sendiri.
Penyakit ini membuat Wozniacki harus membatasi diri dalam pertandingan. Ia tidak akan bisa sesering dulu mengikuti turnamen. Artinya, ia hanya akan bertanding di turnamen-turnamen besar. Kalau situasi seperti ini, merengkuh poin sebanyak mungkin demi mempertahankan diri di papan atas adalah perkara wajib. Dalam kamus tenis Wozniacki seharusnya tak akan ada lagi kekalahan di babak-babak awal.
Membuka musim dengan kondisi tak ideal adalah perkara memuakkan. Namun, dalam kondisi tak sedap macam ini Piotr akan tetap duduk di boks pelatih di setiap pertandingannya, melontarkan lelucon-lelucon garing khas ayah di sesi latihan, dan memaksa Wozniacki untuk makan ayam walaupun ia begitu ingin menikmati pasta kesukaannya. Bagi kita, fragmen ini akan menjadi pemandangan nyeleneh. Tapi bagi Wozniacki, fragmen nyeleneh ini adalah penanda bahwa sebenarnya seorang ayah tidak pernah berjauh-jauhan dari perjalanan anak perempuannya.
ADVERTISEMENT
Live Update
Pada 5 November 2024, jutaan warga Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk memilih presiden selanjutnya. Tahun ini, capres dari partai Demokrat, Kamala Harris bersaing dengan capres partai Republik Donald Trump untuk memenangkan Gedung Putih.
Updated 5 November 2024, 21:56 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini