Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Waktunya Berlaga di Lapangan Rumput Wimbledon
2 Juli 2018 16:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Musim panas di Inggris menjadi penanda bahwa Wimbledon sudah dimulai. Ini menjadi waktu bagi para petenis untuk mengayun raket dan berlari dari satu sudut ke sudut lain lapangan di The All England Lawn Tennis and Croquet Club demi mengangkat trofi sarat prestise ala Wimbledon.
ADVERTISEMENT
Orang-orang Inggris, entah apa sebab dan bagaimana awalnya, selalu pandai dan gemar mewujudkan banyak hal ke dalam bentuknya yang paling sophisticated. Lihatlah seperti apa prosesi penyerahan trofi dalam ajang Piala FA.
Untuk bisa mengangkat trofi tadi, setiap tim tak hanya harus melakoni laga babak per babak dan menghadapi tim-tim yang namanya barangkali tidak kita kenal, tetapi juga harus mendaki tangga stadion. Di puncak tangga itulah, mereka akan dikalungi medali dan diserahi trofi juara, tepat di tengah tribune.
Waktu yang singkat itu menjadi sakral. Semua mata akan tertuju pada tim pemenang yang mengangkat trofi tersebut. Mereka ada di ketinggian, tempat terbaik untuk menunjukkan kepada dunia tanpa kata-kata, bahwa merekalah yang menjadi juaranya.
ADVERTISEMENT
Pelbagai gimmick seperti inilah yang kerap menaungi sederet kompetisi yang digelar oleh orang-orang Inggris. Tidak terkecuali Wimbledon.
Turnamen lapangan rumput ini masih gigih mempertahankan tradisi. Mulai dari pengaturan kostum para pemain yang tetap mengharuskan memakai putih-putih, penyediaan lapangan croquet, aturan ketat bagi para pewarta, termasuk fotografer, untuk memakai baju lengan panjang, hingga sajian stroberi dan krim yang menjadi santapan para peserta.
Bila dirunut, 1877 menjadi tahun kelahiran Wimbledon. Serupa kompetisi Grand Slam lainnya, umur turnamen ini lebih tua ketimbang jumlah gelarannya. Perkara Perang Dunia II membuat turnamen ini digelar selama 132 kali sampai tahun ini.
Kemunculan All England Croquet Club pada 23 Juli 1868 menjadi peristiwa yang bakal membidani kelahiran Wimbledon sebagai turnamen tenis tertua. Awalnya, ini bukan klub tenis, tapi croquet, olahraga khas Inggris yang permainannya mirip golf.
ADVERTISEMENT
Popularitas croquet pada akhirnya memudar sejak Mayor Walter Clopton Wingfield memperkenalkan tenis pada 1875. Tadinya, olahraga ini disebut dengan lawn tennis karena dimainkan di pekarangan rumah (tentunya ini mengingatkan kita pada foto penulis asal Rusia, Leo Tolstoy, yang sedang bermain tenis itu).
Pada 1876, olahraga baru ini mulai dimainkan oleh para anggota klub dan nama klub pun secara resmi berubah menjadi All England Croquet and Lawn Tennis Club pada tahun berikutnya. Itulah sebabnya, dalam media Wimbledon 2018, para petenis unggulan tahun ini diminta untuk memainkan croquet terlebih dulu, tentu tetap sebatas gimmick.
Pada tahun 1877 itu pulalah kejuaraan tenis Wimbledon pertama kali dihelat dan kala itu, nomor yang dipertandingkan hanyalah tunggal putra. Spencer Gore sukses menjuarai ajang perdana tersebut setelah mengalahkan William Marshall dengan skor 6-1, 6-2, dan 6-4 di partai final. Pada 1884, nomor tunggal putri dan ganda putra diperkenalkan, sebelum akhirnya, ganda putri serta ganda campuran diperkenalkan pula pada 1913.
ADVERTISEMENT
Bila diperhatikan, Wimbledon juga punya caranya sendiri untuk menyebut nomor-nomor yang dipertandingkan. Bila tiga kompetisi Grand Slam lainnya menggunakan istilah men dan women, maka Wimbledon menggunakan gentlemen untuk menyebut men, dan ladies untuk menggantikan women.
Dalam kurun waktu 1877 hingga 1968, turnamen Wimbledon, seperti halnya tiga ajang Grand Slam lain, hanya boleh diikuti oleh para petenis amatir. Malah, sampai tahun 1922, juara bertahan hanya bermain di partai puncak saja. Sejak 1968 hingga kini, tenis kemudian mengenal apa yang disebut Open Era atau Era Terbuka. Mulai saat itulah para petenis amatir dan profesional boleh berlaga di ajang Grand Slam
Nama besar turnamen menjadikan banyak petenis unggulan yang ‘kenyang gelar’ memprioritaskan keikutsertaan mereka di Wimbledon. Setelah menjuarai Australia Terbuka, Roger Federer memutuskan untuk tak berlaga di Roland Garros.
ADVERTISEMENT
Alih-alih ikut serta dalam perburuan gelar di Prancis, ia memilih untuk memfokuskan diri pada Wimbledon. Keputusan serupa juga diambil oleh Serena Williams . Mundur di menit-menit terakhir laga 16 besar melawan Maria Sharapova karena cedera, Serena ambil bagian dalam kompetisi di tanah Inggris ini.
Wimbledon tahun ini, yang akan dimulai pada 2 Juli, seharusnya menjadi arena yang baik bagi Johanna Konta untuk melancarkan aksi balas dendam atas dua raihan buruk di dua Grand Slam sebelumnya. Di Prancis Terbuka, Konta bahkan harus menyerah di babak pertama.
Sayangnya, Inggris justru kehilangan andalannya di rumah sendiri. Andy Murray mengundurkan diri sehari sebelum pertandingan babak pertamanya melawan petenis Prancis, Benoit Praire. hal kedua yang disayangkan, Indonesia gagal mengirimkan wakilnya kali ini.
ADVERTISEMENT
Petenis putra asal Indonesia, Christofer Rungkat, kalah dalam babak kualifikasi nomor ganda putra. Berpasangan dengan petenis asal Austria, Tristan-Samuel Weissborn, Christofer gagal membukukan kemenangan di babak pertama melawan duet Inggris, Edward Cprrie dan Lloyd Glasspool.
Menilik daftar undian, tak ada petenis unggulan, baik nomor putra maupun putri, yang langsung berhadapan dengan petenis unggulan di babak pertama.
Seperti apa ‘kemudahan’ yang rasanya bakal didapat oleh ketiga nama tadi, terlihat dalam hasil undian babak pertama. Roger Federer akan berhadapan dengan petenis asal Serbia, Dusan Lajovic. Walau tak tercatat sebagai unggulan, Lajovic tampil mengesankan di Prancis Terbuka 2018. Di babak 64 besar, ia tampil menggila dan menggiring Alexander Zverev dalam pertarungan lima set.
ADVERTISEMENT
Uniknya, walau tak berperingkat sebagai petenis peringkat pertama dunia, Federer tetap memasuki turnamen sebagai unggulan pertama. Sementara, Rafael Nadal-lah yang menjadi unggulan kedua. Marin Cilic yang menjadi lawan Federer di final Australia Terbuka 2018, memasuki turnamen sebagai unggulan ketiga.
Sementara, yang menjadi lawan Nadal di babak pertama adalah petenis asal Israel, Dudi Sela. Walau namanya tak masyhur seperti Nadal, Wimbledon punya catatan manis dalam perjalanan karier Sela.
Secara mengejutkan, ia berhasil menembus babak keempat Wimbledon 2009. Karena raihannya itu, ia mencatatkan diri sebagai petenis peringkat 29 dunia pada Juli 2009. Itu menjadi peringkat tertingginya di sepanjang karier.
Pertandingan melawan Nadal kali ini menjadi pertemuan ketiga mereka. Keduanya bertemu pertama kali di satu lapangan yang sama pada laga babak 32 besar Australia Terbuka yang berakhir dengan kemenangan Nadal dalam tiga set langsung 6-1, 6-0, 7-5.
ADVERTISEMENT
Pertemuan keduanya dengan Nadal bernasib serupa dengan laga pertamanya. Di Miami Terbuka 2017, Nadal menghentikannya di babak 64 besar dengan dua set langsung 6-3, 6-4.
Serupa mereka yang menduduki posisi dua besar, Marin Cilic yang memasuki turnamen sebagai unggulan ketiga juga dihadapkan dengan ‘kemudahan’ di laga pertama. Petenis Jepang, Yoshihito Nishioka, menjadi lawan pertamanya.
Pertandingan ini menjadi ujian yang cukup berat bagi penggawa Jepang berusia 22 tahun itu. Selain baru sembuh dari cedera, ini juga menjadi pertandingan pertama Nishioko melawan Cilic.
Begitu pula dengan nomor tunggal putri. Simona Halep yang berstatus sebagai petenis peringkat satu dunia itu akan berhadapan dengan petenis asal Jepang, Kurumi Nara. Sementara, Caroline Wozniacki akan berhadapan dengan petenis Amerika Serikat, Varvara Lepchenko. Menutup tiga besar unggulan, ada Garbine Muguruza yang akan bertanding melawan petenis tuan rumah, Naomi Broady.
ADVERTISEMENT
Bila ada satu hal menarik yang muncul di Wimbledon tahun ini, maka itu adalah gelombang petenis muda Inggris di nomor tunggal putri. Misalnya, Katie Swan. Bila dianalogikan, keberhasilannya menjejak di Wimbledon 2018 ibarat moon leap.
Artinya, ini menjadi lompatan krusial yang membawanya dari turnamen sekelas ITF Pro-Circuit ke privelese Wimbledon. Dari turnamen yang bahkan tak bisa menjamin para pesertanya mendapatkan bola baru setiap harinya ke kompetisi Grand Slam. Petenis berusia 19 tahun ini akan melakoni laga pertama melawan petenis Rumania yang kini berstatus sebagai petenis peringkat 33 dunia, Irina Camelia‑Begu.
Mantan peringkat tiga dunia kelas junior ini tidak sendirian. Rival sekaligus sahabatnya, Katie Boulter, juga dipastikan akan mengikuti gelaran Wimbledon keduanya. Yang menjadi lawan petenis berusia 21 tahun ini adalah petenis non-unggulan asal Paraguay, Veronica Cepede Royg.
ADVERTISEMENT
Hanya karena usia muda dan minim pengalaman, bukan berarti Boulter pantas diremehkan. Sebelum menjejak ke Wimbledon, Boulter sudah berlaga di Eastbourne International sebagai turnamen pemanasan. Walau tak berhasil menjejak di final, ia berhasil mengalahkan juara Amerika Serikat Terbuka 2011, Samantha Stosur, dalam dua set langsung 7-6 (tie break 8-6), 6-1.
Keberhasilan ini memberikan lonjakan peringkat yang cukup besar: dari 208 dunia menjadi 144 dunia. Selain kedua nama tadi, ada juga Katy Dunne (23 tahun) yang akan melawan petenis unggulan ke-12 Jelena Ostapenko di babak pertama, dan Harriet Dart (21 tahun) yang bakal bertemu dengan unggulan ketujuh, Karolina Pliskova.
“Perjalanan ke sini (Wimbledon -red) tidak mudah. Di sepanjang kompetisi yang kami ikuti, beberapa tempat memang bisa dibilang baik, tapi tak jarang pula kami mendapatkan hotel yang buruk. Bahkan, tidak ada jaminan bahwa kami akan menerima bola baru setiap hari untuk bertanding. Kami tidak mendapatkan penanganan fisioterapis. Kami harus mengencangkan ikat pinggang karena hadiah uangnya memang minim,” seperti itu Swan menceritakan perjalanannya menuju Wimbledon kepada The Guardian.
ADVERTISEMENT
“Tujuan jangka panjang saya adalah untuk memenangi Grand Slam. Namun, saya sadar, sebelum sampai ke sana saya harus tetap berkembang. Saya sendirilah yang harus memastikan diri untuk tetap berperilaku baik dan mengambil langkah-langkah benar untuk berkembang,” tegas Swan.
Ya, seperti itulah Wimbledon. Sebagai turnamen tenis yang dinilai paling prestisius, ia menjadi rebutan bagi mereka yang menggantungkan hidup pada tenis. Apalagi, nama besar Wimbledon tidak hanya dibangun lewat hal-hal sophisticated dan gimmick semata, tapi juga perjuangan para pelakunya.
Tenis adalah olahraga individu. Tak peduli ia kalah pamor dengan olahraga lain atau tidak, tenis membentuk para pelakonnya untuk menjadi manusia yang utuh. Yang beradab, yang berani turun lapangan dan melakukan pertarungan satu lawan satu.
ADVERTISEMENT