Wawancara dengan Sutradara 'The Last Dance': Michael Jordan Hanya Manusia Biasa

9 Mei 2020 15:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jason Hehir. Foto: Getty Images/Kevin Winter
zoom-in-whitePerbesar
Jason Hehir. Foto: Getty Images/Kevin Winter
Status Michael Jordan sebagai pebasket terbaik di dunia masih bisa diperdebatkan. Pesaingnya untuk predikat tersebut memang begitu banyak. Mulai dari Wilt Chamberlain, Magic Johnson, Larry Bird, Kobe Bryant, hingga LeBron James.
Namun, tak bisa dimungkiri bahwa Jordan adalah ikon terbesar NBA. Banyak orang pada medio 1990-an menonton NBA hanya untuk melihat Chicago Bulls dan Jordan.
Tak hanya NBA yang meraup keuntungan dari kehadiran Jordan. Nike, misalnya, yang berhasil naik kelas menjadi produsen sepatu basket terbesar di dunia setelah mengontrak Jordan pada 1984.
Nike tahu bahwa potensi pasar Jordan begitu besar. Dari situ, Nike sampai membuatkan jenama 'Jordan' untuk merek sepatu mereka.
Michael Jordan, legenda Chicago Bulls. Foto: JEFF HAYNES / AFP
Singkatnya, Michael Jordan adalah magnet. Oleh karena itu, wajar bahwa dokumenter 'The Last Dance' yang menceritakan kisahnya bersama Bulls meledak.
Tak tanggung-tanggung, ESPN melaporkan bahwa Episode 1 'The Last Dance' mencatatkan rata-rata 6,3 juta penonton dan Episode 2 mencatatkan rata-rata 5,8 juta penonton. Dua episode perdana itu tayang pada hari yang sama, yaitu pada 19 April, dan tagar #TheLastDance menjadi viral di media sosial.
Sampai saat ini, 'The Last Dance' sudah merilis enam episode. Per catatan Forbes, enam episode perdana itu mencatatkan rata-rata 5,8 juta penonton. Dari situ, 'The Last Dance' menjadi dokumenter rilisan ESPN dengan jumlah penonton terbanyak sampai saat ini.
Michael Jordan jelas menjadi magnet utama 'The Last Dance'. Siapa, sih, yang tidak penasaran dengan perjalanan Jordan dari North Carolina University sampai meraih cincin juara NBA keenamnya bersama Bulls?
Serial dokumenter The Last Dance tentang perjalanan Michael Jordan dan Chicago Bulls. Foto: Twitter: ESPN
Meski demikian, mesti diakui bahwa 'The Last Dance' adalah film dokumenter yang dirancang dengan brilian. Oke, cerita Jordan memang menarik, tetapi pengemasannya juga mesti sempurna. 'The Last Dance' jelas mengemas kisah Jordan dengan luar biasa.
Dari situ, kredit mesti diberikan kepada sutradara 'The Last Dance', Jason Hehir. Pria berusia 43 tahun itu mampu mengemas footage-footage Jordan dan mendapatkan cerita dari berbagai narasumber penting, salah satunya eks Presiden Amerika Serikat, Barack Obama.
Well, Hehir memang ahli membuat dokumenter olahraga. Sebelum 'The Last Dance', ia pernah membuat dokumenter legenda WWE, Andre The Giant, dan kisah klub baseball, Chicago Bears, berjudul 'The 85’ Bears'.
kumparanSPORT, bersama dua media lainnya dari Malaysia, mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Hehir. Tentu saja, lewat conference call, mengingat jarak memisahkan kami dengan Hehir.
Jason Hehir. Foto: Getty Images/Kevin Winter
Waktu yang kami miliki, sayangnya, terbatas. Namun, kami bisa menanyakan beberapa pertanyaan kepada Hehir. Mulai dari proses pengembangan 'The Last Dance', kelakar soal Barack Obama, sampai pendapat Hehir soal Michael Jordan.
Nah, untuk lebih lengkapnya, simak perbincangan kami dengan Jason Hehir di sini.
***
Kami mendengar komentar bahwa Michael Jordan memberikan izin produksi ‘The Last Dance’ hanya setelah LeBron James menjuarai NBA 2016. Pendapat Anda tentang komentar itu?
Saya tak ada di tempat ketika Jordan memberikan izin atau menyatakan partisipasinya. Namun, pendapat bahwa Jordan hanya memberikan izin karena James menunjukkan bahwa ia adalah orang yang penuh rasa insecure.
Michael Jordan adalah orang yang paling tidak insecure yang pernah saya temui. Oleh karena itu, saya pikir itu adalah teori konspirasi dan hipotesis yang menyenangkan --yang sayangnya tidak benar.
Oke, meneruskan pertanyaan itu, di Dan Patrick Show, Anda bilang bahwa John Stockton dan Reggie Miller adalah beberapa pemain yang menolak untuk terlibat di ‘The Last Dance’. Anda mau menyebutkan yang lainnya?
Stockton dan Miller di ‘The Last Dance’. Hmm, saya pikir… Saya cuma bilang di Dan Patrick Show bahwa butuh waktu lama untuk menghubungi mereka, bukannya mereka menolak.
Michael Jordan selalu didukung oleh Scottie Pippen saat berjaya bersama Chicago Bulls. Foto: VINCE BUCCI/AFP
Hmm, saya ingin memahami proses dari pembuatan ‘The Last Dance’. Saya benar-benar tak bisa membayangkan mengerjakan ini. Saya penasaran, apakah Anda lebih dulu melihat footage berdurasi 500 jam itu atau Anda sudah punya script?
Kami memiliki asisten produser yang melihat footage itu sebelum tim ‘The Last Dance’ terbentuk. Ia mulai melihat itu pada musim panas 2017 dan saya belum bertemu Jordan sampai September 2017.
Namun, pada Juli 2016, saya ingat saya menulis outline sepanjang 40 halaman yang berisikan ide saya tentang seri ini.
Saya ingat saya dikontak dan ditanyakan soal minat menyutradarai seri ini. Tentu saja saya berminat. Setelah itu, saya mengubur diri saya bersama Michael Jordan dan Chicago Bulls, lalu muncullah outline itu.
Jadi, ya, outline-nya selesai sebelum saya melihat footage-footage itu dan footage tersebut ada untuk memperkaya cerita yang ingin saya utarakan.
Oke, tentang footage-nya, itu bukanlah footage yang Anda ambil sendiri dan itu sudah cukup tua. Sebagai seorang sutradara, itu pasti menyulitkan karena Anda mungkin ingin sudut pandang yang berbeda.
Bagaimana Anda bekerja dengan itu? Pernahkah terpikir ‘Ah, seandainya saya bisa mendapatkan sudut berbeda’?
Pertanyaan bagus. Jawabannya ada dua. Yang pertama, kami beruntung karena semua footage itu diambil dengan baik. Mereka bekerja keras untuk mendapatkan itu. Tentu saja, itu semua diambil 20 tahun sebelum saya melihat semuanya.
Phil Jackson dan Michael Jordan menjuarai NBA bersama Chicago Bulls. Foto: JEFF HAYNES / AFP
Yang kedua, saya bekerja dengan footage yang terbatas. Namun, kenyataan bahwa tak banyak pilihan yang saya dapatkan justru menyenangkan karena saya hanya perlu bekerja dengan apa yang saya miliki. Saya harus bisa membuat itu menjadi yang terbaik.
Kami benar-benar beruntung karena juru kamera dan sutradara yang merekam footage itu sangat bertalenta dan cukup untuk memenuhi apa yang kami butuhkan.
Well, Anda bilang bahwa footage yang ada luar biasa kualitasnya. Namun, bagaimana cara Anda menjahit itu sampai menjadi ‘The Last Dance’?
Jujur saja, itu sulit. Sebenarnya, kami mengembangkan script 10 episode ‘The Last Dance’ sembari menyaksikan footage berdurasi 500 jam itu. Kami tak memiliki waktu untuk menonton itu semua, memilah mana yang penting, dan mengemas itu menjadi 10 jam.
Kami harus mengerjakan semuanya di waktu yang sama dan itu sangat sulit. Oleh karena itu, kami mendedikasikan waktu kami untuk mengembangkan cerita ‘The Last Dance’ dan mendedikasikan waktu kami untuk memilih footage mana yang cocok.
Oke, soal Michael Jordan, apakah Anda punya persepsi tentangnya sebelum proses pembuatan ‘The Last Dance’? Apakah persepsi Anda tentangnya berubah setelah ‘The Last Dance’ selesai?
Michael Jordan dan Kobe Bryant di laga Chicago Bulls vs LA Lakers. Foto: VINCE BUCCI / AFP
Saya pikir membuat bio-dokumenter adalah perkara mencari seseorang yang seperti mitos. Berdasarkan cerita Anda tentang Jordan, apa tantangan terbesar membuat dokumenter tentang seseorang yang selalu dipandang bak mitos?
Yang pertama saya lakukan adalah meminta maaf kepadanya, hahahaha. Tidak, tidak. Yang saya cari adalah apa yang bisa saya ceritakan, tak peduli ia adalah seseorang yang seperti mitos atau tetangga saya.
Selalu ada yang bisa dipelajari dari manusia. Namun, seseorang yang dianggap mitos memang memiliki banyak hal yang bisa dipelajari darinya. Yang saya lakukan adalah membuat mitos itu menjadi manusia.
Michael Jordan pernah bilang bahwa kerja sama membuat Anda menjadi juara. Itu benar-benar Anda gambarkan dengan kehadiran Scottie Pippen dan Dennis Rodman di ‘The Last Dance’. Seberapa besar peran mereka?
Well, Michael Jordan adalah karakter utama di sini. Ia memberikan delapan dari 24 jamnya kepada kami. Namun, Pippen dan Rodman juga merupakan karakter pendukung yang amat-sangat penting. Mereka berdua masing-masing memberikan tiga jam untuk kami.
Di mana ada Michael Jordan, di sana ada Scottie Pippen. Foto: VINCENT LAFORET/AFP
Apakah Anda berpikir bahwa ‘The Last Dance’ menolong Jordan dalam diskusi soal siapa Greatest of All Time (G.O.A.T) di NBA?
Orang-orang mungkin akan bilang Kobe Bryant atau LeBron James. Setelah ‘The Last Dance’ berakhir, apa itu semua akan berubah?
Saya tak ingin terdengar tak sopan, tetapi saya tak peduli. Kami menceritakan dinasti Chicago Bulls dan Michael Jordan adalah karakter utama di dinasti tersebut.
Kami menceritakan bagaimana Bulls tak bisa mengisi stadion mereka pada 1984 lalu menjadi fenomena di Bumi pada 1998. Itu ceritanya. Orang-orang mau berargumen tentang G.O.A.T, silakan, tetapi saya tahu jawabannya.
Hampir semua yang terlibat di ‘The Last Dance’ adalah genius di bidang masing-masing. Saya berpikir, setelah menyaksikan Anda bicara dengan mereka semua, apakah Anda kini lebih memahami seseorang yang genius.
Apa yang saya lakukan malah mengurangi makna genius dan menambah arti kerja keras. Ada satu hal yang sama dari para “genius”; Mereka selalu menjadi yang pertama tiba dan terakhir pergi di tempat kerja masing-masing.
Tak peduli itu di dapur, lapangan basket, di manapun. Seseorang yang terbaik di bidangnya, mereka mungkin memang bertalenta, tetapi yang jelas mereka adalah pekerja keras.
Ok, Anda bilang ‘The Last Dance’ membuat Michael Jordan lebih ‘normal’. Sebelum ‘The Last Dance', orang-orang melihat Jerry Krause sebagai sosok yang membongkar dinasti Chicago Bulls.
Apakah Anda pikir ‘The Last Dance’ membuat Krause terlihat sebagai sosok yang lebih baik?
Saya pikir kami memperlihatkan aksi Jerry Krause dengan tepat. Kami memperlihatkan kepribadian Jerry Krause dengan tepat. Kami memperlihatkan konflik antara ruang ganti dan front office dengan tepat.
GM Chicago Bulls di era Michael Jordan, Jerry Krause (kiri). Foto: Jeff HAYNES / AFP
Saya rasa kami bertanggung jawab untuk menceritakan bagian Jerry Krause seakurat mungkin karena ia kini sudah tak bersama kami. Saya ingin memberikannya suara di ‘The Last Dance’.
Ketika seri ini berakhir, Anda akan melihat bagaimana orang-orang akan memuja Jerry Krause—sesuatu yang dirasa tak mungkin di awal seri. Saya sangat menghargai Jerry Krause dan orang-orang di Bulls juga sangat menghargainya. Anda bisa lihat itu di akhir seri nanti.
Kami melihat deskripsi yang Anda gunakan untuk Barack Obama (Obama dideskripsikan sebagai mantan penduduk Chicago, red.) dan kami merasa itu genius.
Itu fantastis karena itu tak hanya menunjukkan rasa bangga Obama sebagai mantan penduduk Chicago, tetapi juga memperlihatkan dampak Michael Jordan kepada dirinya sebagai pemuda kulit hitam yang tinggal di sana.
Kini, ada beberapa kritik soal deskripsi tersebut. Apakah anda terkejut dengan itu? Apakah kami semua telah kehilangan humor dalam diri masing-masing?
Saya tentu saja terkejut dengan perhatian dari deskripsi tersebut. Namun, saya merasa itu tak mengundang masalah. Itu mengundang perhatian karena saya pikir banyak orang sadar bahwa kami hanya bercanda.
Barack Obama adalah Presiden Amerika Serikat ke-44 dan pahlawan saya. Saya bukannya tak hormat kepadanya dengan menyebut ia adalah mantan penduduk Chicago. Namun, fakta bahwa ia adalah presiden tak relevan dalam cerita ini. Itu terjadi 20-30 tahun setelah cerita ini.
Yang relevan adalah, ia adalah penduduk Chicago saat itu. Ia bisa memberikan kepada kami sudut pandang dari penduduk Chicago. Kenyataan bahwa Obama saat itu begitu miskin sampai-sampai tak bisa membeli tiket Bulls terdengar cukup romantis buat saya. Namun, saya senang orang-orang sadar dengan lelucon yang kami buat.
***
Sampai wawancara ini naik, ‘The Last Dance’ sudah keluar enam episode. ‘The Last Dance’ bisa Anda saksikan di Netflix.
-----
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona. Yuk, bantu donasi atasi dampak corona!