Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Wawancara Eksklusif Muamar Qadafi: Pelatih RI yang Bawa Kevin Cordon Melegenda
6 Agustus 2021 13:45 WIB
·
waktu baca 8 menit
ADVERTISEMENT
Sosok Muamar Qadafi seketika menjadi viral selama perhelatan Olimpiade 2020. Namanya banyak diperbincangkan seiring diketahui sebagai pelatih dari pebulu tangkis Guatemala, Kevin Cordon, yang menghentak dunia di ajang terbesar sedunia itu.
ADVERTISEMENT
Cordon menjelma sebagai pahlawan baru publik Guatemala usai mencetak sejarah di Olimpiade 2020. Dia berhasil mencapai babak semifinal tunggal putra sekaligus menjadikannya pebulu tangkis Amerika Tengah pertama yang berhasil melakukannya di Olimpiade.
Pada akhirnya, Cordon gagal meraih medali usai dikalahkan Anthony Ginting pada partai perebutan perunggu. Akan tetapi, tetap saja, ini menjadi sejarah tersendiri baginya, untuk negaranya, dan publik serta Federasi Bulu Tangkis Pan America.
Cordon bahkan sudah dianggap sebagai pahlawan sekaligus legenda berkat pencapaian sensasionalnya itu. Ketika pebulu tangkis 34 tahun itu pulang ke negaranya, ia disambut masyarakat bahkan hingga dibuat arak-arakan.
Kendati demikian, penampilan mengejutkan Cordon di Olimpiade 2020 bisa terwujud karena berkat tangan dingin Qadafi. Pria kelahiran Surakarta itu sendiri sudah lama malang-melintang berkarier sebagai pelatih di Benua Amerika. Cordon adalah salah satu polesan cemerlangnya.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana akhirnya Qadafi bisa sampai bertualang hingga Guatemala? Untuk mengetahui kisahnya, kumparan berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan pelatih kelahiran 30 Oktober 1981 ini pada Jumat (6/8). Silakan disimak.
Bisa diceritakan awal karier Anda sebagai pemain hingga pensiun?
Saya pernah bermain di klub Djarum dari tahun 1994 hingga pertengahan 2000. Setelah pensiun, saya langsung menjadi pelatih. Waktu itu kan Djarum punya cabang di Surabaya, saya sempat melatih di sana kurang lebih sekitar 1,5 tahun.
Kemudian, Djarum membuat sistem baru untuk sentralisasi dengan pelatihan bulu tangkis hanya di dua tempat, ganda di Jakarta dan tunggal di kudus. Pada waktu itu, beberapa pelatihnya sudah tua dan berkeluarga. Saya ditawari ke Kudus dan karena masih muda, saya oke saja. Waktu itu, saya menjadi asisten Ellen Angelina. Ya, intinya, saya melatih di Djarum dari 2000 sampai 2005.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana ceritanya Anda bisa berpetualang di Benua Amerika?
Pada sekitar 2005, saya memiliki teman yang menjadi sparring di Peru, namanya Roy Purnomo dan Agustinus Sartono. Kebetulan, waktu itu, pelatihnya dari China mau mengundurkan diri.
Si pelatihnya ini nanya ke dua teman saya, 'Ada orang Indonesia yang mau melatih ke Peru atau tidak?', agar pos kepelatihannya enggak kosong habis dia tinggal dan bisa berjalan terus. Mereka lalu menawari dan meyakinkan saya.
Apakah tawaran itu langsung Anda terima atau sempat ragu?
Sebenarnya, waktu itu, ada keraguan juga. Soalnya, fasilitas dari Djarum untuk pekerjaan sudah bagus. Namun saat itu, sistemnya di Indonesia, atlet-atlet bulu tangkis yang bisa main di luar negeri itu hanya atlet tim nasional saja yang bisa bertanding di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Saya pribadi sebagai pelatih punya impian ingin menjadi bagian suatu event besar bulu tangkis; macam Thomas Cup, Sudirman Cup, Kejuaraan Dunia, bahkan Olimpiade. Namun, kalau sistemnya begitu, saya enggak bisa. Jika ke luar, impian saya mungkin bisa tercapai, meski level International Series.
Bagaimana kiprah Anda selama melatih di Peru?
Saya melatih di Peru dari 2005 sampai 2008. Waktu pertama ke sana, bisa dibilang, saya belum dikenal. Satu tahun saya bekerja di sana bersama teman-teman saya yang menjadi sparring dan dibantu pelatih lokal di sana, alhamdulillah, pada 2006, saya bisa membantu untuk mempersiapkan atlet-atlet Peru untuk kejuaraan junior di Benua Amerika.
Alhamdulillah pada waktu itu sukses yang luar biasa, Peru menjadi juara untuk team event-nya setelah mengalahkan Kanada dan USA di semifinal dan final. Tunggal putra U-19 dan U-17 menjadi juara, terus banyak lagi. Dari situ, saya mulai dikenal. Lalu, pihak federasi Pan America meminta tolong saya untuk membantu coaching academy atlet-atlet Pan America selama 10 hari setelah turnamen itu.
ADVERTISEMENT
(Peru menjuarai tunggal putra U-19 dan U-17, tunggal putri U-15 dan U-11, ganda putra U-15 dan U-13, ganda putri U-17 dan U-15, serta ganda campuran U-15 dan U-13-RED)
Kemudian, pada 2007, Peru juga mendapat medali di Pan-American Games level senior. Ada empat perunggu, masing-masing dari ganda putri, ganda campuran, tunggal putri, dan tunggal putra.
Pada 2007 juga, impian saya tercapai. Peru masuk ke Sudirman Cup dan saya mendampingi ke sana. Itu rasanya saya senang sekali, haha... Jadi, oh, begini ya rasanya.
(Kala itu, Peru finis ketiga di babak grup. Melaju ke fase gugur, Peru ditundukkan Afrika Selatan-RED)
Dengar-dengar, Anda juga sempat melatih di Ekuador juga, ya?
Jadi, saya kan selesai melatih di Peru itu pada Juli 2008. Lalu, saya pulang ke Indonesia, setelah sekitar 1-2 bulan, Ekuador menawarkan saya untuk melatih 3 bulan. Mereka waktu itu ingin mengikuti event bulu tangkis yang saya lupa namanya, pokoknya bukan kalender BWF, dan bersaing dengan 3 negara lain.
ADVERTISEMENT
Ekuador masih baru di bulu tangkis. Ya, sudah, saya bantu mereka selama tiga bulan. Kalau enggak salah, itu pada September-Oktober-November, terus Desember pulang.
Bagaimana kisahnya hingga Anda akhirnya melatih di Guatemala?
Saya totalnya melatih Guatemala sudah 7 tahun dalam dua periode. Pertama, dari Maret 2009 sampai akhir 2010. Sudah ada Kevin Cordon, masih muda dia. Namun, saya justru sudah kenal dia sejak masih di Peru.
Bisa diceritakan lebih dalam terkait pertemuan Anda dengan Kevin Cordon?
ADVERTISEMENT
Jadi, pada awal-awal 2006, Guatemala mengirim dua atletnya ke Peru. Salah satunya Kevin Cordon, satu lagi saya lupa. Sebab, mereka mendengar di Peru ada satu pelatih dan dua sparring dari Indonesia.
Kemudian, kami berkenalan dan memberinya banyak masukan. Saya dan dua rekan saya dari Indonesia melihat potensi Kevin. Dia masih muda dan punya potensi bagus. Suatu hari, jika dipegang dengan baik dan benar, dia bisa menjadi pemain top di Benua Amerika. Setelah 2-3 bulan, pada 2009, ia diundang BWF menjalani program akademi untuk negara-negara berkembang yang dipusatkan di Jerman.
ADVERTISEMENT
Programnya 2 tahun, Kevin sempat ragu dan syok bercampur senang waktu itu karena dia tipe orang yang suka dekat dengan keluarga. Pertimbangannya adalah mungkin dia akan lebih memilih untuk berlatih bersama kami saja di Peru.
Namun akhirnya, dia membuat keputusan yang menurut saya bagus dengan mengambil program BWF itu. Setelahnya, permainannya berkembang pesat karena di sana cuma latihan, bertanding, dan istirahat.
Makanya, dia cukup baik di Olimpiade 2008. Bisa memberi perlawanan pada Bao Chunlai (kalah dengan skor cukup ketat 17-21 dan 16-21). Setelah itu, program BWF-nya tidak dilanjutkan. Kemudian, dia pulang ke Guatemala. Bingung, tetapi lalu dia ingat kami dari Indonesia.
Pada Maret 2009, dia menghubungi saya, menanyakan saya di mana dan saya bilang bahwa saya sudah pulang ke Indonesia. Dia menawarkan saya ke Guatemala, saya oke, dan diurus prosesnya, akhirnya bisa ke sana.
ADVERTISEMENT
Saya waktu itu membawa teman sparring bernama Wisnu Putro, yang sekarang melatih di Italia. Kevin kian berkembang dan menjuarai sejumlah kejuaraan bulu tangkis.
(Prestasi Kevin Cordon selama 2009-2010: Juara tunggal putra dan ganda putra Kejuaraan Pan America serta juara tunggal putra dan ganda putra Central American and Caribbean Games. Selain itu, ia juga menjuarai 7 turnamen BWF International Challenge/Series sektor tunggal putra serta 6 turnamen BWF International Challenge/Series sektor ganda putra. Partner setianya di ganda putra waktu itu bernama Rodolfo Ramirez-RED)
Lantas, kenapa Anda tidak melanjutkan lebih lama melatih di Guatemala pada waktu itu?
Pada akhir 2010, saya dikasih libur dan pulang ke Indonesia. Saya memakai kesempatan itu untuk menikah. Setelahnya, saya merasa tidak mungkin meninggalkan istri saya sehabis menikahinya. Jadilah, saya bilang bahwa saya tak bisa meneruskan di Guatemala. Mereka pun memahami, terutama karena sistem imigrasi mereka pun agak ribet.
ADVERTISEMENT
Nah, pada Maret 2011, Peru menghubungi saya lagi untuk membantu mereka di Pan American Games dan Olimpiade London 2012. Ke Peru lebih mudah karena tidak perlu visa, Indonesia ada kerja sama keimigrasian. Kami mendapat resident temporal.
Total sampai 2 tahun, saya ajak juga teman saya namanya Fendi Iwanto. Alhamdulillah, hasilnya bagus, kami dapat perunggu dari tunggal putri dan ganda campuran.
Tunggal putrinya (Claudia Rivero) lolos ke Olimpiade 2012. Itu memang target yang ingin kami capai. Saya juga sempat ikut ke Sudirman Cup 2011 di China. Setelah itu, saya tidak lanjut lagi, pulang ke Indonesia, tidak ikut mendampingi kontingen peru ke Olimpiade 2012.
Ketika berada di Indonesia pada 2012, Anda melatih di mana?
Oh, enggak, saya di rumah saja, hehe... Latihan-latihan sendiri, gabung-gabung main sama teman-teman di Yogyakarta kalau malam hari. Saya enggak kerja, menganggur selama 6 bulan, hidup dari tabungan.
ADVERTISEMENT
Jadi, saya tunggu panggilan lagi saja dan mencari-cari informasi. Saya masih ada obsesi ke event besar. Ada dalam benak saya untuk berpartisipasi. Lalu pada pertengahan 2013, ada tawaran dari Meksiko.
Pada 2014, Meksiko kan ingin menjadi tuan rumah Central American Games, mirip-mirip SEA Games kalau di Asia Tenggara. Mereka menawari saya sebagai pelatih, saya juga sudah kenal beberapa atletnya. Di sana, saya mengubah banyak hal yang mereka tak pernah jalani. Alhamdulillah, pada 2014, hasilnya cukup baik. Kami mengantongi 3 emas, 2 perak, 4 perunggu.
Pada 2015, Pan American Games lagi di Toronto, Kanada. Pemain-pemain Meksiko masuk ke 8 besar dan harus menghadapi lawan berat dari Kanada dan Kuba. Hasilnya, hanya ganda putra yang ke semifinal dan meraih perunggu.
ADVERTISEMENT
Waktu itu, ada satu atletnya yang bernama Lino Munoz, tunggal putra, ingin meminta bantuan mempersiapkan ke Olimpiade 2016. Namun, saya terpaksa tolak karena bukannya saya tidak mau, saya senang sekali karena Olimpiade memang bagian dari impian saya, tetapi istri saya lagi hamil dan harus menemaninya saat melahirkan di Indonesia.
Bagaimana ceritanya bisa bertemu Kevin Cordon lagi?
Kevin Cordon sempat ada di titik ingin pensiun setelah Olimpiade 2016. Kala itu, dia tidak maksimal karena cedera dan berat badan tidak ideal. Namun, dia memutuskan tetap lanjut satu siklus lagi, dengan salah satu targetnya adalah Olimpiade 2020.
Saat ditanya oleh Komite Olimpiade Guatemala dan Federasi Bulu Tangkis Guatemala, dia bilang butuh ini dan itu dan salah satunya pelatih. Lalu, dia ingat saya. Dia menghubungi saya, saya waktu itu lagi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dia bilang, "Kamu bisa enggak bantu saya lagi sebelum saya pensiun?". Dia menyebutkan bahwa targetnya adalah Central American Games, Pan American Games, dan lolos ke Olimpiade 2020.
Waktu itu, saya juga mendapat tawaran yang lebih besar. Namun, saya sudah kenal anak ini dan kenal di sana seperti apa, saya tahu ini impiannya, jadi InsyaAllah saya bisa membantunya. Apalagi, dia punya komitmen dan tanggung jawab yang tinggi serta disiplin yang bagus dan mau mendengarkan pelatih.
Alhamdulillah, Kevin mendapat emas di Central America Games 2018 dan perunggu Pan-American Games 2019 karena kalah dari Brian Yang asal Kanada. Masalah di tangan kiri menjadi penyebabnya harus mundur di semifinal kala itu.
(Kevin Cordon juga sempat menjajal Pan Am Championships 2018 dan 2021. Hasilnya, dia mendapat medali perunggu saat turun di tunggal putra-RED)
Sebenarnya, apa skill Kevin Cordon yang paling menonjol?
Saat kembali melatihnya, Kevin sudah tidak lagi muda. Jadi, saya mengeksploitasi sisi lebihnya, yaitu smash kerasnya. Namun di sisi lain, para pemain Benua Amerika sudah mengenal Kevin sebagai pemain dengan smash keras. Jadi, mereka akan mencoba untuk mencegahnya mengeluarkan smash.
ADVERTISEMENT
Dari situ, saya memberinya variasi. Saya bilang ke Kevin, 'Kamu harus bisa bermain dengan gaya-gaya dan teknik bermain yang lain. Yang dibutuhkan di sistem 21 poin adalah konsistensi'. Itu yang saya ubah di kepalanya dan permainannya, sehingga bisa mengembangkan beragam teknik.
Bergeser ke Olimpiade 2020, sebenarnya adakah target untuk Kevin Cordon?
Kami itu ke sana tidak seperti atlet-atlet Asia dan Eropa yang targetnya medali. Kami di sana cuma ingin menikmati bermain di event sebesar Olimpiade.
Bahkan, kami sudah disediakan tiket pulang pada 28 Juli (hari terakhir babak penyisihan grup), hahaha... Namun nyatanya, karena Kevin terus melaju, tiketnya kembali diperpanjang.
(Kevin Cordon menjadi juara grup C karena mengalahkan Lino Munoz asal Meksiko dan Ng Ka Long asal Hong Kong. Ia mencapai semifinal usai mengalahkan Mark Caljouw asal Belanda di 16 besar dan Heo Kwang-hee asal Korea Selatan di perempat final.-RED)
ADVERTISEMENT
Bagaimana perasaan Anda dan Kevin Cordon dengan pencapaian semifinal Olimpiade?
Sebenarnya, kami pun tidak menyangka bisa ke delapan besar, apalagi semifinal. Kami merasa tidak mungkin dan tidak percaya. Bagi Kevin sendiri, ini melebihi target.
Saya merasa aneh. Kalau di 8 besar atau bahkan 16 besar Olimpiade, bendera-benderanya tuh biasanya tinggal punyanya negara Asia dan Eropa. Ini kok ada 1 bendera warna celeste (biru muda) dari negara mana ini, hahaha... Kami syukuri hasil sejarah luar biasa ini.