Wawancara Khusus Susy Susanti: Emas Olimpiade Tak Cukup 'Bayar' Surat Bukti WNI

14 Oktober 2021 9:30 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pebulu tangkis Indonesia Susi Susanti di final kejuaraan Piala Uber putri di stadion Ratu Elizabeth di Hong Kong, 23 Mei 1996. Foto: FREDERIC BROWN/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pebulu tangkis Indonesia Susi Susanti di final kejuaraan Piala Uber putri di stadion Ratu Elizabeth di Hong Kong, 23 Mei 1996. Foto: FREDERIC BROWN/AFP
ADVERTISEMENT
Air mata masyarakat Indonesia seketika tumpah manakala Susy Susanti mempersembahkan medali emas Olimpiade Barcelona pada 1992 silam. Wajar saja, sekeping emas yang dipersembahkan Susy--yang kemudian diikuti Alan Budikusuma--menjadi yang pertama semenjak Indonesia mengikuti Olimpiade sejak 1948.
ADVERTISEMENT
Nama Susy ketika itu pun semakin melambung. Torehan medali emas Olimpiade 1992 melengkapi prestasi yang sebelumnya ia ukir di antaranya juara di Kejuaraan Dunia 1989, emas di SEA Games 1989, dan All England 1991.
Setelah Olimpiade 1992, bahkan terlalu banyak untuk menjabarkan satu per satu raihan prestasi Susy di lapangan. Nyaris seluruh kejuaraan pernah ia menangi, termasuk menjadi bagian dari tim juara di Piala Uber 1994 dan 1996.
Kendati demikian, jerih payah yang telah Susy berikan untuk negara nyatanya bertepuk sebelah tangan. Kala itu, wanita 50 tahun ini diketahui belum memiliki Surat Bukti Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Susy Susanti di semifinal Piala Uber lawan Camilla Martin (Denmark). Foto: PETER PARKS/AFP
SBKRI adalah kartu identitas yang menyatakan pemiliknya adalah WNI yang diperuntukkan kepada WNI keturunan, terutama Tionghoa. Hal itu diatur melalui UU No 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, pada 1999, melalui Instruksi Presiden No 4/1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No 56/1996 dinyatakan SBKRI tidak berlaku bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI.
Dalam praktiknya, SBKRI kala itu diperlukan WNI keturunan Tionghoa untuk mengurus sejumlah administrasi seperti akte lahir anak dan pernikahan.
Susy mengaku begitu kecewa dengan perlakuan negara terhadapnya saat itu. Bagaimana mungkin, sederet prestasinya yang telah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional malah dibalas air tuba.
Lantas, bagaimana perjalanan Susy mendapatkan SBKRI? Butuh berapa lama ia menunggu hingga akhirnya surat itu turun? Berikut wawancara kumparan dengan sang legenda.
Pebulu tangkis Indonesia Susi Susanti saat pertandingan bulu tangkis putaran pertama Piala Uber di sini 16 Mei 1996. Foto: TOMMY CHENG/AFP

Di balik torehan emas di Olimpiade Barcelona, kabar beredar menyebutkan Anda ternyata belum punya SBKRI ketika itu?

Ya betul, waktu itu seperti di film [Susi Susanti: Love All] ya, bahwa untuk kami kaum minoritas itu 'kan harus selalu ada SBKRI. Padahal, 'kan ayah dan kakek saya lahir di Indonesia. Tetapi, karena kami keturunan Tionghoa harus punya surat SBKRI.
ADVERTISEMENT
Punya saya memang belum keluar waktu itu. Saya juga sebetulnya enggak terlalu tahu. Baru pada tahun 1996 di [Olimpiade] Atlanta itu baru saya tahu, karena saya perlu untuk pernikahan saya, ya, di tahun 1997.
Dan, ternyata kalau di Indonesia itu 'kan banyak yang istilahnya birokrasi. Harusnya yang mudah, malah dipersulit, ujung-ujungnya sebetulnya dari oknum-oknum yang ingin mencari keuntunganlah.

Bagaimana Anda menyikapi soal SBKRI yang sulit sekali keluar?

Pastinya saya kesal, sedih juga pasti. Karena 'kan setiap saya berjuang, tidak ada di belakang saya nama Indonesia SBKRI.
Istilahnya sebagai anak bangsa, kita sebagai warga negara pada saat kita bertanding, saya tidak pernah merasa ada perbedaan. Karena pada saat kita di luar, ya, kita ketemu orang Indonesia saja seperti saudara.
Susy Susanti saat ditemui di Istora GBK, Jakarta. Foto: Aditia Rizki Nugraha/kumparan

Bagaimana akhirnya SBKRI Anda keluar?

Pada tahun 1996, itu ramai di media. Baru setelah itu, dalam hitungan paling seminggu-dua minggu langsung keluar.
ADVERTISEMENT
Padahal, dari pertama kali saya mengajukan, saya hampir tujuh tahun menunggu. Biasalah, dibilang administrasi kurang, UUD [Ujung-ujungnya duit] lagi 'kan akhirnya, ha ha ha...
Waktu itu langsung dikirim [ke rumah]. Biasa kayak begitu dari departemen kehakiman atau HAM yang mengeluarkan saya enggak ngertilah. Waktu itu orang tua saya yang ngurus.

Jadi, memang ada ulah oknum-oknum ketika itu ya...

Ya, sebetulnya kan oknum-oknum yang memang hanya mencari keuntungan. Dan, memang politik-politik mereka yang hanya cari keuntungan.

Apa pesan yang ingin Anda sampaikan setelah sempat menghadapi polemik seputar SBKRI?

Indonesia itu 'kan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu. Bahwa kita siapa pun yang lahir di Indonesia dari berbagai suku apa pun, kita tetap saudara, yaitu kita satu, warga negara Indonesia. Itu yang harus kita pegang.
ADVERTISEMENT
***
Ikuti survei kumparan Bola & Sport dan menangi e-voucher senilai total Rp3 juta. Isi surveinya sekarang di kum.pr/surveibolasport.