Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
41 Persen Remaja Indonesia Pernah Alami Cyberbullying
4 Oktober 2017 9:01 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Media sosial biasanya digunakan untuk mengunggah foto atau menunjukkan aspirasi seseorang. Tak hanya itu saja, media sosial juga dipakai sebagai cara untuk berekspresi dan berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
Pengguna media sosial semakin hari semakin bertambah. Bahkan, penggunanya kini didominasi oleh anak-anak muda yang sangat 'melek' teknologi.
Tetapi, terlepas dari perkembangan teknologi saat ini, tak jarang media sosial justru dijadikan media untuk membully orang lain.
Data yang diperoleh UNICEF pada 2016, sebanyak 41 hingga 50 persen remaja di Indonesia dalam rentang usia 13 sampai 15 tahun pernah mengalami tindakan cyberbullying (2016). Beberapa tindakan di antaranya adalah doxing (mempublikasikan data personal orang lain), cyber stalking (penguntitan di dunia maya yang berujung pada penguntitan di dunia nyata), revenge pom (penyebaran foto atau video dengan tujuan balas dendam yang dibarengi dengan tindakan intimidasi dan pemerasan) dan beberapa tindakan cyberbullying lainnya.
"Perilaku cyberbullying itu sulit terlacak, karena pelaku tidak terlihat dan hanya muncul dalam media sosial saja untuk membully korbannya. Kebanyakan kasus cyberbullying terjadi dalam bentuk verbal, misalnya rumor, olok-olok, ejekan bahkan penjebolan (cracking) akun atau ancaman fisik," ungkap Iqbal saat ditemui kumparan (kumparan.com) di acara #BalasYangBaik yang berlokasi di atAmerica Pacific Place, Jakarta Selatan, Selasa (3/10).
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Iqbal menambahkan bahwa seseorang yang mengalami cyberbullying umumnya juga pernah mengalami bullying yang sama namun dengan metode yang sama, yaitu traditional bullying. Traditional bullying adalah tindak kekerasan baik berupa mengejek atau mengancam yang dilakukan langsung di depan korban.
"Sebanyak 32 persen korban cyberbullying merupakan korban traditional bullying. Dan bagai tidak ada ruang aman untuk para korban cyberbullying karena mereka bisa dibully dimana saja (melalui media sosial) serta kapan saja," kata Iqbal yang juga merupakan lulusan jurusan Psikologi Universitas Indonesia.
Mengingat dampak cyberbullying yang bisa berakibat fatal, mulai dari penurunan performa akademis sampai tindakan bunuh diri, Iqbal menjelaskan agar masyarakat bisa lebih bijak lagi dalam menggunakan media sosial.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, menurut Dinda Wahid selaku Community Engagement Officer Campaign.com mengimbau masyarakat untuk mulai lebih peduli dengan apa yang mereka ingin tunjukkan di media sosial. Gerakan tagar #BalasYangBaik juga digawangi Dinda sebagai sikap peduli masyarakat, terutama anak muda dalam memberantas cyberbullying.
"Gerakan ini membantu secara lebih luas mengenai cyberbullying di kalangan remaja, bagaimana menghindari, mencegah hingga menghadapinya," terang Dinda.
Mengakhiri perbincangan, Dinda menyebutkan bahwa dengan menggalakkan gerakan tersebut juga bisa menjadi cara untuk membentuk pribadi seseorang agar tidak menjadi seorang pelaku cyberbullying.