COVER LIPSUS SEWA BAJU

Bajuku Bukan Milikku: Tren Sewa Busana Branded di Jakarta

19 April 2019 13:51 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Lipsus kumparan: Tren Sewa Baju Branded di Jakarta. Foto: Herun Ricky/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lipsus kumparan: Tren Sewa Baju Branded di Jakarta. Foto: Herun Ricky/kumparan
Agnes Adriana sudah sembilan bulan menjadi pelanggan rental baju. Sejak Juli 2018, ia menyewa berbagai jenis baju untuk ragam keperluan. Bukan cuma gaun glamor untuk pesta, tapi juga busana trendi sehari-hari buat dipakai berkantor.
Total sudah 60-an baju dari belasan brand dan desainer beken, gonta-ganti ia gunakan. Agnes benar-benar senang punya koleksi baju berbeda setiap hari—tanpa harus menguras kantong untuk beli sendiri, tanpa harus pusing menata dan menambah sesak isi lemari.
Sebelum jadi konsumen fashion rental, Agnes mengeluarkan bujet Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta per bulan untuk belanja baju. “Itu juga mesti memilih mau baju kerja, pesta, atau liburan,” ujarnya kepada kumparan di Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (16/4).
Agnes Adriana mengenakan outfit dari Style Theory. Foto: Instagram/@mamaberryjournal
Dulu, bagi Agnes, tak beli baju baru tiap bulan adalah tak mungkin. Ia bekerja di perusahaan properti yang menuntut pegawainya untuk berpakaian rapi setiap hari. Dan buat sebagian pekerja kantoran, rapi kerap beriringan dengan modis.
Belum lagi gaun untuk pergi ke pesta, terutama resepsi pernikahan yang kerap dihadiri sahabat dan kerabat dalam satu lingkaran. Apa jadinya kalau busana yang ia pakai untuk acara kondangan terus-menerus sama?
“Kalau untuk Instagram feed, aku nggak apa-apa pake baju yang sama dua-tiga kali. Tapi kalau untuk datang ke pesta? Sekali saja,” kata Agnes.
Tak heran isi lemari Agnes semula berjubel. Meski dipenuhi baju beraneka model, semua itu terasa kurang. Tapi, membeli satu baju hanya untuk satu agenda terasa berlebihan. Maka ketika tahu soal fashion rental, Agnes tak ragu mencoba.
“Rental baju bener-bener jadi kayak punya baju banyak banget,” kata Agnes antusias.
Raena Lim dan Christopher Halim di warehouse Style Theory Foto: Dokumen Style Theory
Apa yang dirasa Agnes soal baju-bajunya yang tak pernah cukup itu juga dialami Raena Lim, perempuan Singapura yang bekerja di industri finansial. Ia bak shopaholic yang terus membeli baju hingga berjejalan di lemarinya.
Kebiasaan Raena yang tak henti membeli pakaian membuat pasangannya, Christopher Salim—lelaki asal Surabaya yang besar di Singapura, heran bukan main. Paket baju dari online shop bahkan bisa datang beberapa kali dalam seminggu.
“Kenapa beli baju terus? Why?” tanyanya seperti diceritakan Wisnu Aryo Setio, rekan kerja mereka kini di Style Theory. Padahal Raena sudah punya baju tiga lemari penuh.
Wisnu mengisahkan, Raena kemudian menjawab, “I have nothing to wear. I need to wear something new, something different, to work.” Menurut Raena, itu sudah jadi tuntutan pekerjaan baginya. “I just want to have the right clothes for every occasion,” imbuhnya.
Percakapan tersebut membuat Raena dan Chris bertukar pikiran dengan teman-teman perempuan mereka di Singapura yang ternyata memiliki “pemasalahan” serupa. Keduanya menyimpulkan, perkara outfit ini merupakan problem umum kaum urban.
Pemikiran itu membuat Chris dan Raena mendirikan platform berlangganan sewa baju bernama Style Theory di Singapura pada Januari 2016. Konsumen bisa menyewa baju dalam jumlah tak terbatas dengan membayar Rp 590 per bulan. Mulai pakaian kerja, gaun pesta, hingga busana kasual, semua tersedia.
Megusung slogan “Rent. Wear. Repeat”, Style Theory kemudian mengembangkan sayap ke Indonesia pada November 2017, dan mendapat sambutan positif di Jakarta dan Surabaya.
“Kami punya ribuan subscribers, 7.500 baju, dan 250 desainer. Customer paling besar di Jakarta, Surabaya, lalu Bandung,” kata Wisnu Aryo Setio, Indonesia Marketing Lead at Style Theory, kepada kumparan di kantornya, Kuningan, Selasa (9/4).
Indonesia Marketing Lead Style Theory, Wisnu Aryo Setio, Foto: Jodi Hermawan
Style Theory menggandeng desainer internasional seperti Alice McCall, BCBG Max Azria, BCBGeneration, Karen Millen, Coast, Ted Baker, hingga desainer lokal macam Nikicio, Populo, Kraton by Auguste Soesastro, Todjo, Major Minor, dan Laison by Aurelia Santoso.
Selaku desainer, Nina Karina Nikicio gembira dengan keberadaan fashion rental yang membuat rancangannya bisa dijangkau lebih banyak orang. Menurut Nina, setiap orang berhak mendapatkan fashion freedom—mengekspresikan diri lewat pakaian, dan mencoba berbagai mode baru.
“Bajuku bisa dikenakan banyak perempuan, so far so good. Banyak orang akan bisa mengenakan baju model baru hanya dengan menyewa. Women’s solution banget,” ujar Nina dalam salah satu video di akun YouTube Style Theory.
Di Indonesia, penyedia jasa rental-segala-jenis-baju baru disediakan oleh Style Theory. Ia merupakan pelopor bisnis subscription rental fashion di Asia Tenggara.
“Sistem berlangganan kami per bulan seperti koran, Netflix, Spotify, gym. Sekali pinjam, langsung tiga baju, dan bisa dipakai berapa lama pun selama masih berlangganan. Kalau tiga baju yang dipinjam itu sudah dikembalikan, boleh pinjam tiga lagi. Jadi kalau balikin bajunya cepat karena untuk dipakai sebentar, bisa pinjam 12 sampai 15 baju dalam sebulan, alias empat sampai lima kali siklus peminjaman,” jelas Wisnu.
Konsumen pun tidak perlu mencuci baju yang disewa, tinggal dikembalikan sesudah dipakai. “Baju kami antar, balikinnya kami juga yang jemput, kami yang laundry. Customer tahu jadi,” ujar Wisnu.
Butik Belsbee. Foto: Jodi Hermawan
Busana branded yang lebih terjangkau banyak kalangan juga jadi perhatian jasa sewa kebaya dan gaun mewah. Mereka menyegarkan diri dari yang semula amat konvensional—sekadar menyewakan kostum tari dan baju pernikahan.
Saat ini muncul rental busana untuk beraneka rupa pesta, yang berkerja sama dengan brand dan perancang ternama tanah air. Sebut saja Belsbee, The Dress Code, dan Three W Dress. Menyasar kaum urban ibu kota, ketiganya berlokasi di Jakarta.
Butik-butik tersebut, serupa Style Theory, punya dua kata kunci sama dalam menjalankan bisnisnya: urban + branded.
“Orang Indonesia pada umumnya senang glamor. Fame and glam. Penyewaan baju ini prinsipnya memenuhi kebutuhan penampilan dengan murah. Ini middle class problem. Sekarang mereka cenderung lebih wise mengeluarkan uang. Kalau middle-up kan beli,” ujar Syahmedi Dean, pengamat dan jurnalis fesyen yang telah menelurkan sejumlah novel soal industri fesyen.
Koleksi di butik Belsbee. Foto: Jodi Hermawan
Belsbee memiliki seribu lebih koleksi busana karya 75 perancang Indonesia. Ada kebaya dari desainer muda Asky Febrianti yang rancangannya sering dipakai Raisa; ada pula VOTUM, second line milik Sebastian Gunawan; serta gaun karya Patrick Owen, Harry Lam, dan lain-lain.
Menurut Syahmedi Dean, desainer umumnya memiliki beberapa clothing line. “(Yang disewakan) biasanya bukan yang first line. Ada second line atau third line yang lebih murah untuk dijangkau lebih banyak orang. Tapi line utama akan menempel dengan public figure—orang-orang level A.”
Maka, menyediakan akses bagi para perempuan untuk mengenakan baju rancangan desainer menjadi tujuan Arini Astari ketika mendirikan Belsbee pada 2014.
“Mereka (desainer) agak sulit masuk ke kalangan middle class karena (harga baju rancangannya) terlalu mahal. Mereka konsumennya kelas itu-itu saja—high-end,” kata Arini di butiknya, kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (15/4).
Arini hendak menumbuhkan local brand awareness di kalangan anak-anak muda. Ia tak ingin generasi milenial Indonesia hanya tahu pakaian karya desainer asing.
“Biasanya, middle class di sini tahunya luxury items dari international brand kayak Prada (Milan), Kate Spade (New York),” tutur Arini. “Jadi, Belsbee juga mau membantu desainer-desainer lokal compete sama brands dari luar.”
Tren Baru Sewa Baju Foto: Basith Subastian/kumparan
Meski tergolong baru di Indonesia, sewa baju berlangganan sebetulnya bukan hal baru. Ia bertumbuh sejak 2009, dimulai di Amerika Serikat dengan Rent The Runway yang bermarkas di New York, diikuti Trunk Club di Chicago, dan Stitch Fix serta Le Tote di San Francisco.
Rental fashion lalu menyebar ke luar AS seperti Frank And Oak di Montreal, Kanada; Girl Meets Dress di London, Inggris; dan YCloset di Beijing, China. Bisnis serupa pun menjamur di Australia. Negeri Kanguru itu punya GlamCorner dan Your Closet yang berbasis di Sydney, Rent a Dress dan Tumnus di Melbourne, Lána di Brisbane, dan masih banyak lagi.
Syahmedi Dean menilai bisnis rental fashion cukup berprospek ke depannya. Banyak orang mulai mengubah cara mereka mengonsumsi fesyen menjadi lebih instan, dan tak mau membuang-buang uang untuk membeli baju sekali pakai.
“Sekarang semua connected. Nyawa baju fashion itu satu kali pakai. Tidak wise membelanjakan banyak uang untuk itu,” kata Dean saat berbincang dengan kumparan di kawasan Senayan, Jakarta Selatan.
“Kebutuhan akan fashion rental itu cerah karena populasi yang tinggi, permintaan tinggi, sosial activity tinggi, event banyak,” imbuh Dean.
Seolah mengamini, Wisnu dari Style Theory menyatakan usaha yang ia gawangi bertumbuh pesat. “Luar biasa sih hitungannya. Industri lain kan growth per bulannya kebanyakan single digit, ini bisa double digit. Dalam setahun, tumbuh 10 kali lipat.”
Kini, memasuki tahun kedua ekspansinya di Jakarta, Style Theory mesti pindah kantor dari kawasan Kuningan ke fX Sudirman demi mendapat gudang yang lebih besar sebagai tempat menyimpan koleksi busana mereka.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten