Cerita Pasangan dari Suku Jawa & Sunda yang Sempat Ditentang Menikah

9 Juni 2018 15:25 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Pengantin Sunda (Foto: dok. The Bridedept/Yuk Moto)
zoom-in-whitePerbesar
Pengantin Sunda (Foto: dok. The Bridedept/Yuk Moto)
ADVERTISEMENT
Percaya atau tidak, hingga saat ini masih banyak orang-orang yang mempercayai bahwa suku Jawa dan suku Sunda dilarang untuk menikah. Bagi sebagian orang, pernikahan antar suku tersebut diyakini menjadi pernikahan yang tidak langgeng dan penuh perkara.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, hal tersebut merupakan mitos dari legenda rakyat yang diwariskan secara turun-temurun melalui lisan maupun isyarat. Mitos larangan pernikahan Jawa-Sunda ini berawal dari sejarah perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dari tanah Jawa dan Kerajaan Padjadjaran dari tanah Sunda. Perang tersebut seolah membawa 'sisa permusuhan' antar kedua suku ini. Sehingga munculah mitos jodoh antara orang Jawa dan Sunda.
Namun selain itu, banyak pula yang mengatakan bahwa perempuan Jawa yang menikah dengan pria Sunda dikhawatirkan akan tidak bahagia, lupa dengan orang tua, dan mengalami keterpurukan dalam masalah finansial karena katanya pria Sunda sering menghambur-hamburkan uang. Benarkah demikian?
Pengantin Jawa (Foto: dok. The Bridedept/delucce)
zoom-in-whitePerbesar
Pengantin Jawa (Foto: dok. The Bridedept/delucce)
kumparanSTYLE sempat mewawancarai seorang perempuan bernama Nina yang sempat ditentang orang tuanya untuk menikah karena perbedaan suku. Nina berasal dari Jawa yang tinggal di Medan, sedangkan kekasihnya berasal dari Sunda yang tinggal di Jakarta.
ADVERTISEMENT
"Orang tua dan keluarga saya banyak yang menentang dan tidak setuju. Karena kalau dari Jawa nikah dengan orang Sunda, katanya banyak minusnya. Banyak juga yang bilang kalau orang Sunda punya istri, si istri bisa jadi lupa sama orang tua kandung," cerita Nina pada kumparanSTYLE, Kamis (7/6).
Awalnya, Nina dan kekasih merahasiakan hubungan mereka. Satu tahun berpacaran, kekasih Nina ingin menjalani hubungan yang lebih serius dan minta dikenalkan dengan keluarganya. Saat Nina meminta izin, orang tuanya tidak mengizinkan dan menolak kedatangan sang kekasih karena ia berasal dari suku Sunda.
"Tapi saya terus usaha karena dia sudah menunjukkan niat baik. Jadi selama bertahun-tahun kami hanya berhubungan via chat, sms dan telepon. Sampai handphone saya disita, dia pun dimarahi juga dan diperingatkan untuk enggak ganggu saya lagi. Tapi kami tetap berhubungan walau ngumpet-ngumpet, pinajm handphone siapa saja, sampai ke wartel depan rumah," kenang perempuan 25 tahun itu.
ADVERTISEMENT
Selama berpacaran itu pula, mereka sangat jarang bertemu. Puncaknya, tahun ke-empat berpacaran, Nina diam-diam membeli tiket ke Jakarta untuk bertemu kekasihnya dengan dalih ingin datang ke sebuah acara. Tetapi rupanya, orang tuanya menyusul ke Jakarta. Nina habis dimarahi oleh ibunya, ia dicap sebagai anak durhaka yang tidak menurut kepada orang tua.
"Saya tidak tahu kenapa, tapi seluruh keluarga sepertinya benci dan dendam sama orang Sunda. Tapi Alhamdulillah, pacar saya mengerti. Ia juga tidak langsung menanggapi dan berusaha menunjukkan bahwa tidak semua pria Sunda buruk hingga akhirnya orang tua luluh," lanjutnya lagi.
Kini, Nina dan kekasihnya resmi menjadi suami istri. Menurutnya, selama yakin dengan hubungan yang dijalankan, terlepas dari perbedaan suku dan tentangan orang tua, ikuti kata hati dan terus berusaha.
Hari bahagia Karina dan Aldy (Foto: reynardkarmanphoto, dwieharyo)
zoom-in-whitePerbesar
Hari bahagia Karina dan Aldy (Foto: reynardkarmanphoto, dwieharyo)
Cerita berbeda datang dari perempuan lainnya bernama Asti. Ia merupakan perempuan Jawa yang memiliki suami seorang pria Sunda. Sebelum menikah, orang tua Asti sebetulnya sudah tidak sreg kepada calon suaminya, tetapi orang tuanya adalah tipe orang yang open minded dan mau menerima perbedaan.
ADVERTISEMENT
Namun sayang, pernikahan tersebut harus kandas di tengah jalan. Selama menikah, rupanya ia hanya dimanfaatkan sang suami untuk meningkatkan derajat sosialnya di mata publik. Asti memilih untuk bercerai dengan suaminya daripada harus tertekan terus-menerus.
"Setelah saya bercerai, baru saya sadar kalau orang tua yang tidak begitu sreg mendingan jangan. Ditambah lagi beda kulturnya agak susah, Jawa itu lebih halus dan penuh unggah-ungguh, dan biasanya tipenya nrimo (menerima) saja, kalau Sunda walaupun ada yang halus, tetapi jauh dari kata halus untuk masyarakat. Orang Sunda biasanya tipenya agak bossy meski tidak semuanya," papar Asti saat dihubungi kumparanSTYLE.
Karena perbedaan kultur itulah, Asti lebih sering mengalah. Namun lama kelamaan, pada akhirnya ia merasa tertindas dan memutuskan untuk menyudahi pernikahannya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan Anda? Punya pengalaman tentang pernikahan yang berbeda suku? Bagikan ceritanya di kumparan.com.