Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Beda Gaya Tiap Generasi: Baby Boomers, Milenial, Linkster
22 November 2017 14:39 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Marlina harus rela melepas pergi suaminya, Sukarlan, merantau ke luar kota. Jarak sepanjang 769,3 kilometer terbentang memisahkan. Marlina di Jakarta, Sukarlan di Surabaya. Tuntutan pekerjaan jadi alasan perpisahan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebelum berpisah, Sukarlan berjanji untuk mengirimi surat kepada Marlina setiap akhir bulan. Kala itu tahun 1961. Belum ada alat komunikasi canggih yang mampu menghubungkan langsung keduanya. Maka Sukarlan menitipkan surat kepada kawannya yang setiap bulan pergi ke Jakarta untuk berdagang.
Bagi Marlina atau Sukarlan, menunggu surat datang itu melelahkan. Setiap hari mereka dihantui rasa rindu. Membayangkan wajah pasangan hingga berakhir dengan resah hati.
Oke, cerita di atas fiktif belaka. Itu hanya sekadar contoh ketika pada suatu masa, jarak menjadi penghalang serius bagi komunikasi antarmanusia. Situasi yang mungkin tak terbayangkan oleh para milenial dan generasi setelahnya.
Kini, tak perlu lagi pasangan yang terpisah jarak ratusan kilometer menanti sepucuk surat untuk dapat melepas rasa kangen. Cukup angkat ponsel, habis perkara.
Kehadiran teknologi informasi jelas telah menggeser cara manusia dalam bertukar informasi, sekaligus menggeser cara kita menyelami rindu menjadi konsep yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Kini generasi milenial dapat dengan mudah segera mengutarakan rasa rindu via aplikasi pesan instan, baik lewat kata, ragam emotikon, stiker, hingga video call melalui ponsel pintar masing-masing.
Dalam studi yang dilakukan Haris Poll dan diinisiasi oleh platform GIF Tenor, diketahui terdapat 1.400 dari 2.000 orang generasi milenial berusia 18 sampai 34 tahun di Amerika Serikat yang memilih mengunakan ekspresi visual seperti GIF, stiker, dan emotikon ketika berkomunikasi lewat ponsel.
Hasil jajak pendapat yang dirilis 27 Juni itu juga mengungkap pendapat mayoritas yang lebih merasa terhubung dengan orang lain ketika menggunakan ekspresi visual, ketimbang sekadar komunikasi tesktual.
Lebih jauh lagi, 68 persen percaya bahwa penggunaan ekspresi visual di dalam pesan instan jauh lebih nyaman dibanding berbicara melalui telepon.
ADVERTISEMENT
“Orang pada dasarnya mendambakan kemampuan untuk mengekspresikan keseluruhan emosi manusia,” ujar CEO Tenor David McIntosh, seperti dikutip dari TIME .
Survei yang dilakukan oleh Haris Poll tersebut cukup menarik. Generasi milenial seolah memiliki cara pandang terhadap kenyataan secara berbeda, setidaknya bila dibandingkan dengan kisah imajiner Sukarlan dan Marlina pada bagian atas tulisan ini.
Dan apa sesungguhnya milenial? Milenial merupakan konsep atas sebuah generasi. Karl Manheim, sosiolog berkebangsaan Hungaria, merupakan orang pertama yang mengklasifikasikan perkara generasi ini.
Dalam esainya, The Problem of Generations, Manheim mendefiniskan generasi sebagai sekelompok individu pada usia sepantaran--mereka yang mengalami peristiwa historis dalam jangka waktu sama.
Lebih lanjut, Manheim melihat setiap generasi memiliki semangat zaman (zeigeist) yang berbeda. Masing-masing punya preferensi berbeda yang didasarkan pada kejadian di rentang waktu tertentu. Dan peristiwa besar dalam sejarah menjadi penanda bagi lahirnya generasi baru.
ADVERTISEMENT
Esai yang dipublikasikan Manheim pada 1923 itu kemudian begitu berpengaruh pada kajian-kajian ilmu sosial setelahnya. Adanya peristiwa besar, yang saat itu adalah Perang Dunia II, menjadi tonggak penting dalam usaha melakukan pengklasifikasian generasi.
Bermula dari Amerika Serikat ketika dua orang sejarawan, William Strauss dan Neil Howe, menelusuri teori generasi dalam sejarah AS. Dari hasil penelusuran tersebut, Strauss dan Howe memaparkan rangkaian biografi generasi AS di masa depan yang akan kembali ke tahun 1584.
Pembabakan generasi tersebut terangkum dalam buku Generations: The History of America's Future, 1584 to 2069 yang terbit pada 1991. Beberapa di antaranya dikenal dengan sebutan Generasi GI dan Baby Boomer. Ada pula prediksi tentang generasi baru di masa depan yang disebut oleh Strauss dan Howe sebagai milineal.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya Strauss dan Howe yang mengurai perkara generasi. Ada beberapa nama lain setelahnya seperti Lynne C. Lancaster dan David Stillman, Bruce Tulgan dan Carolyn A. Martin, dan lain-lain.
Jika Strauss dan Howe mengategorikan Baby Boomer sebagai generasi yang lahir pada rentang waktu 1943 hingga 1960, Martin dan Tulgan berpendapat Baby Boomer lahir pada 1946 hingga 1960. Sementara Lancaster and Stillman menyatakan Baby Boomer lahir pada 1946 hingga 1964.
Perbedaan cara pandang dalam periodisasi waktu ini mengakibatkan ketiadaan ketetapan baku soal generasi dalam rentang waktu peradaban umat manusia. Tetapi, hal tersebut tak memunculkan perdebatan serius.
Yang lebih menarik diulas adalah perbedaan karakter di tiap generasi. Pembahasan kerap mengerucut menjadi perbedaan soal gaya hidup, cara pandang terhadap dunia, hingga etos kerja yang berbeda antara masing-masing generasi.
ADVERTISEMENT
Generasi Baby Boomer lahir tatkala negara sedang berupaya memulihkan diri pascaperang. Era ini ditandai oleh sikap optimisme bahwa segala macam kekacauan telah hilang dan dunia akan aman sentosa.
Kala itu, setiap orang berpikir untuk memiliki banyak anak. Ide tentang masa depan yang nyaman disertai kemakmuran, dianggap menjadi alasan paling rasional atasnya.
Ada 4 juta bayi yang dilahirkan tiap tahun antara tahun 1954 sampai 1964. Hingga kemudian ada 74 juta bayi di AS, atau hampir 40 persen dari total populasi warga AS saat itu. Dalam kata-kata, sejarawan AS Landon Jone menggambarkan, tepat 9 bulan setelah Perang Dunia II berakhir, terdengar teriakan bayi di seluruh negeri.
Generasi Baby Boomer ini kerap dipandang sangat menghargai hubungan interpersonal, mengingat mereka tidak tumbuh bersama teknologi setiap harinya. Menulis surat dan berkomunikasi via telepon (bukan ponsel) menjadi ciri khas pola komunikasi generasi ini.
ADVERTISEMENT
Hal itulah yang hilang pada generasi milenial atau generasi Y yang amat dekat dengan teknologi. Sehari-hari, mereka ditemani media sosial dan mampu mengonsumsi serta menyerap banyak informasi di internet.
Generasi milenal bukanlah satu-satunya generasi yang futuristik. Saat ini telah lahir generasi baru bernama Generasi Z atau generasi post-milenial. Generasi post-milenial ialah istilah yang pernah diungkapkan oleh Nickelodeon pada 2013.
Generasi Z merupakan generasi yang lahir saat teknologi telah sedemikian berkembang. Meagan Johnson, ahli generasional, mendefinisikan generasi Z sebagai mereka yang lahir setelah tahun 2002. Mereka juga kerap disebut linkster.
“Kami memilih istilah generasi linkster karena mereka merupakan generasi pertama yang dihubungkan dengan teknologi sejak hari pertama,” ujar Johnson kepada The Independent.
Generasi linkster atau generasi Z banyak menghabiskan waktu untuk menonton YouTube, membuka Instagram, dan menyukai konten-konten hiburan yang ada di internet. Interaksi mereka dengan internet memiliki porsi lebih besar dibandingkan dengan generasi milenial.
ADVERTISEMENT
Menurut Johnson, populasi linkster diperkirakan memiliki porsi 18 persen dari total populasi dunia. Mereka tumbuh dengan media sosial, ponsel pintar, dan internet.
Satu-satunya yang kekhawatiran Johnson pada generasi linkster adalah persoalan komunikasi. Sebab ketergantungan pada teknologi dapat membuat keahlian komunikasi mereka memburuk, sehingga berpotensi meningkatkan kesalahpahaman.
Yang unik pula, jika generasi milenial suka memposting sesuatu di media sosial, maka linkster lebih memilih untuk menjadi silent reader.
Studi Pew Research Center, dikutip dari laporan yang dirilis Alvara Research Center berjudul “Indonesia 2020: The Urban Middle-Class Millennials” memaparkan bahwa 57 persen generasi Z lebih memilih untuk tidak memposting sesuatu di media sosial bila sekiranya itu akan mengganggu mereka di masa depan
ADVERTISEMENT
Survei mandiri Alvara Research Center pada 2015 mengungkap penggunaan pesan instan di usia 15-18 tahun, lebih tinggi dibanding pada usia-usia lain. Hal ini menunjukkan linkster lebih memilih berkomunikasi pada aplikasi yang lebih tertutup seperti Snapchat atau aplikasi pesan instan seperti WhatsApp dan Line.
Kehadiran linkster menarik para pelaku usaha untuk membaca perilaku mereka terkait pola konsumsi suatu produk. Marcie Merriman, Direktur Eksekutif Growth Strategy and Retail Innovation di Ernst & Young, mencoba menelaah 1.000 orang dewasa dan 400 remaja.
Dalam paparan yang disampaikan kepada Business Insider , Merriman mengatakan para remaja lebih hemat daripada generasi milenial dengan cara berbeda.
“Mereka mampu melihat nilai barang melampaui harga yang tertera, dan berpikir tentang apa yang akan diperoleh, apakah barang ini memiliki layanan pengiriman gratis? Adakah layanan lain yang menyertainya?” ujar Merriman.
ADVERTISEMENT
Era kebangkitan start-up yang kerap memberikan berbagai promo untuk konsumen, dinilai sebagai fakor di balik perilaku tersebut. Ada banyak opsi yang dipertimbangkan oleh para linkster ketika hendak membeli sesuatu.
Merriman juga memaparkan, generasi Z tidak memiliki loyalitas pada suatu produk. Lain halnya dengan milenial yang masih memiliki sedikit kesetiaan pada beberapa merek atau tempat di mana mereka berbelanja.
Hal lain yang digarisbawahi oleh Merriman adalah generasi Z benci ketika mendapati diri mereka tidak dihargai. Mereka juga tak menyukai kondisi ketika terdapat hal-hal yang tak berjalan semestinya pada transaksi online.
“Mereka telah diperlakukan dengan lebih hormat atau setara dibandingkan dengan apa yang pernah dialami generasi lain, karena begitu banyak aktivitas mereka yang terjadi secara online (dan anonim). Dunia online tidak tahu mereka anak kecil atau bukan,” kata Merriman.
ADVERTISEMENT
Beda generasi, beda cara, beda gaya.