Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Di Balik Cat Warna-warni pada Hewan dan Tumbuhan
30 Juni 2017 19:31 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB

ADVERTISEMENT
Hewan dan tanaman adalah makhluk hidup yang kerap dipelihara oleh manusia --entah dengan tujuan sebagai teman, pula sebagai hobi. Sayangnya, tak semua manusia punya kepandaian emosi yang cukup baik untuk sekadar memahami bahwa hewan dan tanaman adalah makhluk yang berhak hidup dan tidak disiksa.
ADVERTISEMENT
Rafflesia, si padma raksasa nan langka yang tumbuh di Bengkulu menjadi salah satu ‘korban’ ego manusia. Pasalnya, bunga tersebut diwarnai menggunakan cat semprot merah agar terlihat tetap ‘baru’. Kondisi bunga sebelumnya sudah agak menghitam di beberapa bagian kelopaknya. Namun, pihak taman lantas menyemprotkan cat merah agar bunga tersebut tetap terlihat segar dan menarik pengunjung
Ditarik biaya ratusan ribu per rombongan wisatawan, tur bunga bangkai dengan jenis Rafflesia arnoldii menjadi sebuah rujukan wisata menarik. Hal ini mendorong pihak pengelola yang merupakan warga untuk mewarnai bunga bangkai dengan cat yang bisa saja berdampak pada kelangsungan hidup bunga bangkai.
“Donasi itu kalau dari kita ada kunjungan atau tamu, itu biasanya sekali kunjungan kita bisa bayar 50 sampai 150 ribu,” ucap Asnodi, anggota KPPL Bengkulu. “Itu per rombongan, bisa minimal 2 orang sampai 12 orang.”
ADVERTISEMENT

Yayan Wahyu C. Kusuma, peneliti Kebun Raya Bogor-LIPI menjelaskan pengecatan pada bunga Rafflesia dapat berdampak buruk. Ketika dihubungi oleh kumparan, Yayan menjelaskan bahwa jika cat tidak sampai pada bagian dalam bunga, kecil kemungkinan akan mengenai kepala putik atau benang sari. "Namun demikian, segala bentuk gangguan terhadap bunga Rafflesia memang dikhawatirkan memiliki dampak terhadap kondisi bunga dan terganggunya polinator penyerbuk," lanjutnya.
Fenomena tanaman yang diwarnai pula sempat terjadi di Jawa Timur. Sebuah pohon beringin dicat berwarna-warni pada bagian akar gantungnya. Dengan alasan ‘agar mengurangi kesan horor’, akar gantung yang berfungsi sebagai ‘organ pernapasan’ pohon beringin pun turut terdampak dan sedikit banyak memengaruhi kelangsungan proses hidup pohon beringin.
Pengecatan ini pun kontroversial dan mengundang reaksi serta kritik masyarakat, sehingga pemerintah daerah setempat memutuskan untuk menghapus cat pada akar gantung tersebut.
ADVERTISEMENT
Fenomena ‘mengecat’ makhluk hidup tak hanya terjadi pada tanaman. Tak jarang hewan pun menjadi korbannya.
Mungkin, Anda pernah melihat anak ayam yang amat menarik perhatian; bulunya berwarna-warni, ada yang pink, ungu, biru, hingga oranye. Tak seperti anak ayam ‘biasa’, anak ayam yang berwarna-warni ini jelas memikat mata anak-anak kecil yang tak sengaja lewat di sekitar pedagang.ayam tersebut. Harganya pun dijual begitu murah --tak lebih dari lima ribu rupiah.
Di Jakarta Timur, anak-anak ayam itu diwarnai dengan pewarna tekstil yang sungguh mencolok dan berdampak buruk bagi kesehatan anak ayam.
Mata manusia memang dengan mudahnya menangkap warna. Sehingga, tak jarang sesuatu yang warna-warni menjadi barang jualan yang memikat perhatian calon pembeli. Membuat hewan berwarna ‘tak biasa’ tentu menjadi sebuah strategi bisnis untuk memikat calon pembeli.
ADVERTISEMENT
Tak hanya di Indonesia, tren ini ternyata muncul di dunia internasional.
Abe Geary, seorang pengusaha AS, mewarnai anjing peliharaannya dengan berbagai warna. Baginya, mewarnai bulu anjing miliknya menjadi sebuah bentuk eksplorasi ekspresi --yang ia sebut sebagai seni--, lengkap dengan klaim penggunaan cat warna yang aman bagi hewan. Bersamaan dengan klaimnya tersebut, ia mengeluarkan produk pewarna bulu hewan yang non-toksin dengan merek PetPaint.
Kesulitan untuk memilih outfit yang tepat untuk anjingnya, Geary mencari cara untuk bisa tetap membuat anjingnya tampil beda tanpa repot memikirkan outfit. Sehingga, ide membuat pewarna untuk bulu hewan pun terlintas di kepalanya.
“Saya ingin anjing peliharaan saya tetap ‘mengenakan outfit’ tanpa merasa terganggu, sehingga saya kembangkan PetPaint. Reaksi masyarakat pun begitu besar, saya putuskan untuk menjadikannya bisnis,” kata Geary seperti dilansir Shuterland Agency.
ADVERTISEMENT
Sementara, Abe Geary yang begitu ‘termotivasi’ untuk menciptakan pewarna bulu hewan mendorong fenomena ini semakin luas merebak. Tren mewarnai bulu hewan pun diminati, salah satunya di Rusia. Sampai-sampai, salah satu figur publik Rusia Lena Lenina mewarnai kucingnya dengan warna pink agar senada sewarna dengan baju yang ia kenakan.
Namun sayang, lantaran keracunan pewarna bulunya sendiri, kucing milik Lenina akhirnya mati. Kejadian ini mengundang kritik, terlebih dari para aktivis hewan yang menganggap apa yang telah dilakukan Lenina sebagai tindak kejahatan terhadap hewan.
Sama halnya dengan apa yang ada di Indonesia. Tak hanya ayam yang dicat warna-warni, burung pipit pun kerap diperjualbelikan dengan warna yang tak kalah mencolok. Alasan bisnis, baik demi memikat pembeli atau pengunjung, merupakan dalih yang selalu dikeluarkan. Penggunaan perwarna tekstil pada burung pipit atau ayam dianggap membuatnya lebih menarik karena warna yang mencolok dan lebih banyak mendatangkan keuntungan bagi si pedagang --tanpa berempati dengan kondisi burung yang terdampak buruk.
ADVERTISEMENT
Fenomena pengecatan terhadap makhluk hidup nyatanya menambah derita mereka. Kerusakan dan dampak buruk yang terjadi pada makhluk hidup --baik hewan maupun tumbuhan-- bisa jadi memicu kerusakan lingkungan yang lebih buruk. Seperti peristiwa pengecatan pada Rafflesia arnoldii yang bisa saja mempercepat kepunahan bunga ini bila tak ada perhatian lebih untuk menjaga keindahannya secara alami.
Bagaimana menurut anda?