Kasus Bullying Meningkat, Pelaku Didominasi oleh Remaja

3 November 2017 7:04 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Bully (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bully (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Fenomena bullying di Indonesia mungkin sudah memasuki level yang mengkhawatirkan. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak tahun 2011 hingga 2016 ditemukan sekitar 253 kasus bullying, terdiri dari 122 anak yang menjadi korban dan 131 anak menjadi pelaku.
ADVERTISEMENT
Data ini juga tidak jauh berbeda dengan diperoleh oleh Kementrian Sosial. Hingga Juni 2017, Kementerian Sosial telah menerima laporan sebanyak 967 kasus; 117 kasus di antaranya adalah kasus bullying. Jumlah ini di luar kasus bullying yang tidak dilaporkan
Mengejutkan. Ya, kasus ini memang tengah menjadi sorotan. Kondisi ini bahkan semakin mengkhawatirkan saat mengetahui jika pelaku bullying, baik bullying tradisional atau cyber bullying didominasi oleh remaja.
Berdasarkan data UNICEF pada tahun 2016, sebanyak 41 hingga 50 persen remaja di Indonesia dalam rentang usia 13 sampai 15 tahun pernah mengalami tindakan cyber bullying.
Kampanye Yupi: 'Let's Speak Up!' (Foto: Luthfa Nurridha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kampanye Yupi: 'Let's Speak Up!' (Foto: Luthfa Nurridha/kumparan)
Remaja, yang seharusnya menjadi generasi muda harapan bangsa justru melakukan atau bahkan menghadapi tindakan yang tidak menyenangkan itu. Menanggapi persoalan tersebut, psikolog, Yasinta Indrianti, M. Psi, menjelaskan jika masa remaja merupakan masa untuk mencari jati diri.
ADVERTISEMENT
"Masa pencarian jati diri ini akan menimbulkan sebuah rasa kompetitif pada diri mereka, sehingga mereka ingin eksis di depan teman-temannya," terang psikolog Yasinta saat ditemui kumparan (kumparan.com) di acara kampanye Yupi: Let's Speak Up! yang berlokasi di fx Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (2/11).
Kebanyakan remaja yang tergolong ke dalam generasi millennial ini membutuhkan sebuah pengakuan. Mereka ingin diakui dan juga diterima di sebuah komunitas atau kelompok.
Sayangnya, sikap ini tidak diiringi dengan kemampuan para remaja yang belum mampu mengontrol emosi mereka sendiri.
"Mereka memang ingin eksis, tapi kemampuan mereka yang belum mampu mengatur emosi justru menjadi bumerang, bagi siapa saja yang tersesat dalam mencari sebuah solusi dalam permasalahan yang sedang dihadapi," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kampanye Yupi: 'Let's Speak Up!' (Foto: Luthfa Nurridha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kampanye Yupi: 'Let's Speak Up!' (Foto: Luthfa Nurridha/kumparan)
Lebih lanjut, Yasinta juga menjelaskan jika remaja cenderung berkelompok. "Ciri khas anak remaja adalah nge-gang. Hal ini memang sudah kodratnya, dan kita sebagai orang tua tidak bisa untuk tidak mengakuinya," tambah Yasinta.
Masa-masa ini juga menjadi masa perubahan emosi dan sosial seorang remaja, sehingga mereka akan mengalami pergeseran perilaku. Hal ini akan membuat mereka ingin menjadi yang terdepan dan tak ingin disaingi.
Sifat alamiah ini mungkin akan sulit untuk dirubah, karena menurut Yasinta, setiap remaja pasti akan mengalami fase pergeseran tersebut. Dan untuk membangun serta memupuk sikap positif seorang remaja, orang tua mempunyai peran yang sangat besar dalam menerapkan pola asuh yang tepat.
Dengan pola asuh yang baik, Yasinta berharap jika perilaku bullying yang dihadapi oleh remaja akan segera berakhir.
ADVERTISEMENT