Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Laki-laki Dandan dan Geliat Industri Kosmetik Pria
7 Februari 2018 20:27 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Selamat datang manscara, guyliner, tinted moisturiser, dan kawan-kawannya.
ADVERTISEMENT
Jenuh dengan pangsa pasar perempuan yang telah tereksploitasi, para produsen kosmetik mencari pangsa pasar baru untuk meningkatkan nilai penjualan produk mereka. Dan kaum pria adalah pasar yang menjanjikan.
Dalam dua tahun sejak produk kecantikan khusus pria mulai bermunculan di pasar pada 2013, penjualannya tumbuh hingga 300 persen di akhir 2015. Pasar terbesarnya tersebar di Brasil, Korea Selatan, Amerika Serikat, Jerman, India, dan Inggris. Bahkan di China, pertumbuhan nilai dagang makeup untuk pria mencapai 20 persen setiap tahun.
Dan kini, pangsa pasarnya terus tumbuh. Diperkirakan nilai penjualan kosmetik pria secara global akan mencapai £14,8 miliar (sekitar Rp 280 triliun). Bahkan bos L’Oreal, Vismay Sharma, yakin dalam lima sampai tujuh tahun mendatang, konter makeup khusus pria akan tumbuh di mana-mana.
ADVERTISEMENT
“Karena hal itu (kosmetik pria) tak lagi dianggap tabu bagi selfie generation,” ujarnya kepada Daily Telegraph , (6/8/2017). Sharma yakin pasar makeup untuk pria akan terus tumbuh dan tumbuh meski proporsinya kini masih terbilang kecil.
Selain tak lagi dianggap tabu, soal makeup pria ini menurut Sharma, “Hanya persoalan kesadaran. Dua hal yang tengah terjadi, laki-laki tahu mereka bisa menggunakan makeup dan tahu bagaimana cara menggunakannya.”
Tak heran brand ambassador para produsen kosmetik tak lagi hanya diisi wanita, tetapi juga para pria. Pada 2016, beauty blogger Gary Thompson menjadi pria pertama yang membintangi iklan L’Oreal’s, True Match Foundation. Disusul Manny Gutierrez yang ditunjuk sebagai duta merek kosmetik Maybelline pada awal 2017.
ADVERTISEMENT
“Laki-laki kini mulai lebih memperhatikan penampilan mereka. Kesuksesan ini menurut saya tak lepas dari pemasaran yang male-friendly,” ujar Elodie Bouhuon, pengamat pasar kosmetik pria.
Kecerdasan tim pemasaran jadi kunci, sebab budaya konsumerisme tak memandang laki-laki atau perempuan. Semua adalah konsumen yang harus didekati dan diperhatikan keinginannya. Namun, kosmetik pria tentu jarang dicitrakan dengan cara yang sama seperti kosmetik wanita.
Jika kaum hawa mengenal pensil alis, maka kaum adam dikenalkan pada korektor alis dan kumis untuk membentuknya jadi lebih tegas. Alas bedak (foundation) pun menjadi sculpting face stick yang berguna untuk membuat garis rahang tampak lebih maskulin.
Penekanannya adalah bahwa kosmetik pria bukan ditujukan agar pria tampak feminin, melainkan justru lebih tampan. “Meredefinisi makna kecantikan,” menurut merek Covergirl adalah tujuan mereka menyasar pangsa pasar laki-laki.
ADVERTISEMENT
“Dunia telah menjadi tempat yang berbeda ketika pria lebih banyak memperhatikan penampilannya sendiri. Saya rasa banyak pria, sambil menatap cermin, berkata ‘mengapa perempuan harus mendapat semua perhatian?’” ujar penata rias MAC John Stapleton, dikutip dari Business Insider .
Sementara bagi Terry Barber dari M∙A∙C Cosmetics, “Ini semua tentang mengaburkan batasan antara maskulin dan feminin.”
Menggoyahkan Maskulinitas
Kosmetik pria sebenarnya bukan fenomena baru. Anggota kerajaan di Eropa pada abad ke-14 menaburkan bedak pada wajahnya untuk membedakan diri mereka dengan masyarakat biasa.
Sementara tahun 1970-an, banyak penyanyi rock ‘n’ roll menggunakan eyeliner untuk menegaskan bagian mata mereka. Tak hanya ketika beraksi di atas panggung, tapi juga dalam keseharian.
ADVERTISEMENT
Kemudian, sejak tahun 2000-an masyarakat mengenal term metroseksual--yang dipopulerkan Mark Simpson . Metroseksual merujuk pada pria-pria yang tertarik dan rela menghabiskan baik uang atau waktu demi mendapatkan penampilan fisik yang diharapkan, misal, berotot.
“Dunia di mana kita hidup saat ini menjadi ruang hyper-consumerist. Salah satu alasan mengapa metroseksual muncul adalah karena konsumerisme, yang tidak bisa diam melihat setengah dari populasi hanya duduk di rumah tanpa membeli apapun,” tulis Mark dalam artikelnya yang berjudul Metrosexual? That Rings a Bell .
Di era saat apa yang dibeli--menurut Pierre Bourdieu--menentukan identitas seseorang, maka pola konsumsi turut membentuk identitas gender di masyarakat. Tren makeup pria kemudian menggoyahkan standar maskulinitas pria yang terbangun selama ini.
ADVERTISEMENT
“Kita mencoba untuk meredefinisi maskulinitas,” ujar David Yi, pendiri dan editor Very Good Light , situs berisi tren kosmetik laki-laki. Dalam wawancaranya bersama CBC , David yang rutin menggunakan makeup sehari-hari, bercerita bahwa Generasi Z sangat cair dalam persoalan gender.
Dan semua itu hanya dimungkinkan di era media sosial, ketika sindrom selfie menjalari siapa saja, dan siapa pun bisa menjadi tokoh berpengaruh--seperti vlogger, youtuber, atau beauty blogger.
“Aku percaya selalu ada cara agar laki-laki menyukai makeup. Tapi kami tidak bisa mengekspresikannya sendiri. Dengan Instagram dan media sosial lain, akhirnya kami menikmati dan melihat itu semua,” ujar Candy Ken, rapper yang juga menggunakan kosmetik laki-laki.
Berdasarkan laporan J. Walter Thompson dari The Innovation Group, dilansir LA Times , 56 persen Generasi Z lebih banyak menggunakan kata ganti yang netral seperti “kami”, “mereka”, atau “kita” daripada dia (he/she).
ADVERTISEMENT
Generasi Z juga menolak pemisahan jenis pakaian untuk pria atau wanita. Sebanyak 56 persen dari mereka memilih membeli pakaian unisex. Selain itu, 70 persen Generasi Z mendukung kamar mandi gender-netral.
“Jika kamu menyasar (pangsa pasar) anak muda, kamu harus paham. Mereka (Generasi Z) penuh percaya diri, generasi yang sangat individual, yang membangun identitas sendiri melalui fesyen dan makeup, di luar dari pengotakan gender (maskulin-feminin),” ujar Lucie Greene, Direktur J. Walter Thompson Innovation Group.
Maka jika dulu, ketika para pria ingin melakukan sesuatu di luar kotak heteronormatif, orang-orang akan berkata, “nggak kayak laki”, “nggak normal”, “aneh”, atau “nggak jelas”, hal itu lebih sedikit terjadi di antara Generasi Z.
ADVERTISEMENT
David Yi melihat Generasi Z sebagai kelompok yang tak memedulikan konstruksi gender di masa lalu. “Mereka tidak melihat seksualitas atau gender hanya dan harus dua jenis saja. Bagi mereka, semua manusia bebas mengekspresikan seperti apapun diri mereka,” kata dia.
“Tren kosmetik kemudian membuka jalan untuk menghancurkan batasan maskulinitas. Semakin populer laki-laki yang menggunakan makeup bukan untuk menutupi kekurangan, melainkan sebagai bentuk ekspresi diri,” ujar Larissa Jensen , direktur eksekutif dan analis industri kecantikan The NPD Group.
Para pria kini tak hanya diharapkan untuk memiliki badan tinggi dan berotot, tetapi juga bebas dari jerawat dan berkulit mulus. Hal ini tentu saja bisa menjadi tekanan baru bagi para pria, selain persoalan ekspresi diri, untuk tampil sempurna.
ADVERTISEMENT
Tapi jangan lupa, makeup memiliki sudut gelap. Semakin kamu sering menggunakannya, kamu makin merasa tak percaya diri dan tak menarik tanpanya.
===============
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline !