Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Memahami Perbedaan Fast Fashion & Slow Fashion dalam Industri Mode
17 Februari 2018 10:05 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Pernahkah tebersit dalam pikiranmu bagaimana cara membuat pakaian yang sekarang kamu kenakan? Dari mana asalnya dan siapa yang membuatnya?
ADVERTISEMENT
Sejatinya, pakaian yang dikenakan saat ini melewati berbagai proses yang panjang, bahkan terbilang memilukan. Para pekerja bersusah payah membuat pakaian berpeluh keringat dengan upah yang tak seberapa dalam memproduksi satu potong baju yang kamu kenakan. Bahkan, pencemaran lingkungan juga menjadi taruhannya.
Industri pakaian ready-to-wear dunia kini didominasi oleh bisnis berkonsep Fast Fashion. Lini pakaian seperti H&M, Zara, Topshop merupakan beberapa contohnya. Mereka berlomba-lomba menghadirkan tren fashion terkini ke gerai modenya yang tersebar di seluruh dunia dalam jumlah masal dan dalam tempo yang secepat-cepatnya.
Seketika, Fast Fashion menjadi pujaan dan dipuji sebagai model bisnis yang inovatif berkat manajemen supply chain-nya yang membuat jaringan produksi dan distribusinya yang efektif serta efisien.
Jika boleh meminjam sebuah peribahasa, tak ada gading yang tak retak, secara perlahan borok industri Fast Fashion pun terungkap. Terdapat dua isu yang menjadi perhatian penting dari industri Fast Fashion ini. Di balik kesuksesannya ternyata ada pelanggaran terhadap praktik perburuhan para pekerjanya hingga soal lingkungan.
ADVERTISEMENT
Industri fashion sendiri sebenarnya sangat bergantung pada ketersediaan bahan mentah. Hampir setiap tahapan dalam rantai proses industri ini melibatkan air.
Sebuah kaus berbahan katun misalnya, memerlukan kurang lebih 2.700 liter air untuk proses pembuatannya. Pembuatan setengah kilogram benang sendiri membutuhkan lebih dari 50 liter air.
Ketergantungan ini menjadikan industri tekstil masuk ke dalam 10 besar industri dunia yang menggunakan dan mencemari air. Bahkan berdasarkan data yang dilansir Boston Consulting Group, pada 2015 saja, industri mode menghabiskan 79 miliar meter kubik air, melepaskan 1,715 juta ton CO2, dan memproduksi 92 juta ton sampah.
Terkait pengerahan terhadap para pekerjanya, industri Fast Fashion memiliki target untuk memenuhi pasokan busana tiap gerainya di berbagai belahan negara dalam waktu singkat dengan biaya produksi rendah.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, mereka mencari pekerja yang dapat dibayar murah dari negara dunia ketiga seperti Kamboja, India, Bangladesh dan Indonesia. Pihak produsen pun seringkali luput terhadap permasalahan keselamatan, jam kerja dan upah yang layak bagi para pekerjanya.
Sejatinya, efek samping yang ditimbulkan oleh industri Fast Fashion menjadi harga yang teramat mahal untuk memproduksi pakaian yang usianya mungkin tidak sampai lima bulan. Pakaian tersebut mungkin saja sudah melar sana sini karena materialnya yang memang dibentuk untuk jangka waktu tertentu.
Belum lagi konsep Fast Fashion yang memproduksi pakaian per season alias per musim. Biasanya tiap season berkisar tiga hingga empat bulan sekali dalam setahun mengeluarkan model-model terbaru.
Tren yang bersifat musiman tersebut, seringkali akan membuat dirimu "Ah, sudah ga model lagi nih. Ketinggalan zaman!", dan pada akhirnya pakaianmu tidak terpakai dan berakhir di tempat sampah.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, berkembanglah industri yang mengusung Slow Fashion yang menjadi antitesis dari industri Fast Fashion. Istilah ini diperkenalkan oleh Kate Fletcher pada 2007 dan kerap dianggap sebagai revolusi mode yang berkelanjutan.
Slow Fashion adalah sebuah filosofi yang didasarkan atas pemakaian pakaian yang lebih lama, ketahanan lebih baik, kualitas lebih tinggi, produksi beretika serta ramah lingkungan. Kecepatan produksi bukan menjadi prioritas utama, Slow Fashion mengedepankan kualitas ketimbang kuantitas. Industri ini berkomitmen menciptakan praktik kerja yang sehat terhadap pekerjanya serta mengedepankan daya tahan produk yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penerapan bisnis Slow Fashion salah satunya diinisiasi oleh Zady yang berpusat di New York. Sosok Soraya Darabi dan Maxine Bedat merupakan duo di balik Slow Fashion startup tersebut.
ADVERTISEMENT
Dilansir Business Insider , hal ini didasari atas keprihatinan mereka terhadap industri fashion. Mereka ingin melakukan sesuatu untuk mengubah cara pakaian yang diproduksi, dibeli, dijual dan didistribusikan.
Melalui Zady yang berdir sejak 2013, mereka memberi jaminan bahwa setiap produk yang mereka pasarkan tidak mengeksploitasi pekerja dan limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan. Tak hanya itu saja, produk mereka memiliki daya tahan yang bagus sehingga tak akan buru-buru berakhir di tong sampah.
Oleh karena itu, kehadiran Slow Fashion kerap kali dijadikan sebagai solusi atas industri fashion yang lebih ramah lingkungan. Namun, industri tetaplah industri, yang bermuara pada suatu keuntungan.
Tetapi satu hal yang perlu diingat, menciptakan industri yang memperhatikan kondisi lingkungan dan kesejahteraan pekerjanya merupakan tanggung jawab para pemangku jabatan dalam industri tersebut.
ADVERTISEMENT
Tercatat pada 2017, terdapat suatu kesepakatan pada Copenhagen Fashion Summit. Agenda fashion global ini mengajak seluruh merek fashion dan retailer ternama untuk mengubah sistemnya menjadi circular fashion system.
Untuk kamu yang belum paham, circular fashion system merupakan sistem produksi busana berkonsep sustainable alias berkelanjutan. Para pemangku kepentingan dan brand fashion memproduksi busana dengan menggunakan bahan yang ramah lingkungan.
Melalui program ini, sederetan brand fashion juga bertanggungjawab untuk mengedukasi konsumen soal cara meningkatkan masa pakai suatu produk. Mereka juga akan diberi informasi lengkap soal bahan atau material pakaian yang dibeli. Jadi, pakaian bisa dimaksimalkan dan tak akan 'terbuang sia-sia' serta mencemari lingkungan.
Per Juni 2017, setidaknya ada 64 perusahaan yang bergabung dengan program 2020 Circular Fashion System Commitment. Antara lain Adidas, ASOS, Zara, H&M, Topshop, Guess, Hugo Boss, Lacoste, Kering, M&S, Tommy Hilfiger, Nudie Jeans, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, eksistensi merek dan retailer Fast Fashion kenamaan yang telah tergabung dalam circular fashion system yang kerap muncul pada ajang fashion dunia seperti New York Fashion Week diharapkan dapat menggaungkan pentingnya industri fashion yang berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan bumi dan para pekerjanya.
Bagaimana denganmu, apakah lebih memilih Fast Fashion atau Slow Fashion?