Menakar Jam Kerja Ideal untuk Pekerja

6 Desember 2017 17:06 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja China (Ilustrasi) (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja China (Ilustrasi) (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Oktober kemarin, inspektorat pengawas ketenagakerjaan Jepang mengumumkan bahwa kematian jurnalis media NHK, Miwa Sado, pada tahun 2013 silam disebabkan karena kerja paksa. Miwa dipaksa untuk bekerja selama 159 jam dalam sebulan dan hanya mendapat jatah libur selama dua hari.
ADVERTISEMENT
Kisah kematian pekerja yang disebabkan oleh kerja paksa sebenarnya masih jamak terjadi di Jepang. Mereka menyebut fenomena itu dengan istilah karoshi atau mati karena kerja lembur.
Dan kasus Miwa itu menunjukan fakta yang memprihatinkan. Alih-alih dapat menyerap produktivitas pekerja dengan optimal, jam kerja yang tinggi justru membuat pekerja depresi dan mengalami gangguan kesehatan yang fatal. Berbagai penelitian menunjukkan lebih sedikitnya jam kerja sama dengan meningkatnya produktivitas pegawai.
Melihat fenomena menyedihkan tersebut, muncul satu pertanyaan: sebenarnya, berapa jam kerja ideal untuk memaksimalkan produktivitas pekerja?
Apakah dengan bekerja penuh seharian dalam sebulan, pemilik modal benar bisa memaksimalkan produktivitas pekerjanya?
Buruh Indonesia. (Foto: Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Buruh Indonesia. (Foto: Flickr)
Jawabannya tentu saja bervariasi. Tingkat produktivitas kerja ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkelindan seperti; jam kerja dan waktu untuk bersantai, manajemen waktu, hingga usia para pekerja.
ADVERTISEMENT
Menurut hasil studi yang dilakukan oleh peneliti Stanford University, John Pencavel, jam kerja yang tepat untuk mengoptimalkan produktivitas pekerja adalah 50 jam per minggu. Ini berarti, menurut Pencavel, waktu kerja yang optimal cuma 7 jam per hari.
Dikutip dari Forbes, Pencavel itu menunjukkan bahwa output dari bekerja selama 70 jam per minggu hanya berselisih relatif sedikit dibanding bekerja selama 56 jam. Itu artinya, selisih waktu selama 14 jam dapat dialokasikan untuk menunjang kesehatan pegawainya, seperti waktu istirahat dan rekreasi bagi para pekerja.
Ilustrasi pekerja kantoran. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pekerja kantoran. (Foto: Pixabay)
Pakar emotional intelligence, Travis Bradberry, pun punya pendapat yang hampir sama. Menurutnya, jam kerja selama 8 jam per hari sudah basi dan tidak efektif lagi untuk diterapkan di dunia kerja.
ADVERTISEMENT
“Jika kalian ingin bekerja seproduktif mungkin, kalian perlu melupakan pendekatan lama dan menemukan pendekatan baru”, kata Travis, seperti dikutip dari Forbes.
Menurutnya, jam kerja 8 jam per hari dimulai di abad ke-18 sebagai upaya untuk mengurangi jam kerja manual para pekerja pabrik. Saat itu, kebijakan tersebut memang merupakan terobosan di masa revolusi industri. Namun demikian, sistem ini dinilai kurang begitu relevan untuk dipergunakan saat ini.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Melbourne Institute of Applied Economic and Social Research pada Februari 2016 lalu mengungkapkan fakta yang seharusnya diperhatikan secara khusus.
Menurut mereka, pekerja dengan usia di atas 40 tahun yang bekerja lebih dari 25 jam per minggu, rentan mengalami gangguan pada fungsi kognitif (seperti ingatan, bahasa, dan kemampuan fokus) yang disebabkan oleh stres dan kelelahan.
ADVERTISEMENT
Menurut Proffesor Collin McKenzie yang terlibat dalam studi tersebut, pada usia 40 tahun kebanyakan orang akan mengalami penurunan performa saat melakukan tes memori, penalaran pola, dan kecerdasan mental.
Menurutnya, itu disebabkan karena sejak usia sekitar 20 tahun kebanyakan orang akan mengalami penurunan fungsi “fluid intelligence”. Fungsi tersebut adalah kemampuan untuk memproses informasi. Sementara pada usia sekitar 30 tahun, kebanyakan orang akan mulai kehilangan kemampuan untuk menggunakan keahlian, pengetahuan, dan pengalaman mereka.
Penurunan fungsi kognitif itupun terus menurun pada saat memasuki usia 40 tahun. Secara biologis dan emosional, kemampuan manusia di atas umur 40 tahun tidak didesain untuk bekerja dalam tekanan dan pengulangan, seperti: kerja rutin pukul 9 pagi sampai 5 sore, atau bekerja selama 5 hari per minggu.
ADVERTISEMENT
Penelitian McKezie itu juga didukung oleh penelitian lain yang dilakukan professor psikologi Florida State University, Karl Ericsson. Menurutnya, bekerja selama 40 jam selama seminggu tidak dapat mengoptimalkan produktivitas pekerja.
“Kami menemukan bahwa pekerja akan bekerja dengan performa tinggi apabila bekerja selama 21-35 jam per minggu, namun tidak lebih dari 3-5 jam per hari,” ungkapnya.
Jam kerja pendek justru lebih produktif? (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jam kerja pendek justru lebih produktif? (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Studi lain soal hubungan produktivitas pegawai dan jumlah jam kerja juga dilakukan oleh Draugiem Group. Penelitian itu mereka lakukan dengan aplikasi komputer yang mampu melacak kebiasaan pekerja di dalam jam kerja.
Hasilnya, terungkap bahwa durasi kerja bukanlah faktor satu-satunya yang memengaruhi produktivitas. Yang lebih berpengaruh adalah bagaimana pekerja mengelola waktu mereka.
Berdasarkan studi tersebut, pekerja religius yang sering mengambil waktu istirahat singkat untuk beribadah ternyata jauh lebih produktif dibanding pekerja yang bekerja pada durasi yang lebih lama.
ADVERTISEMENT
Sistem kerja dengan mengkombinasikan waktu kerja selama 52 menit, diikuti dengan waktu istirahat selama 17 menit diklaim sebagai sistem ideal untuk mengoptimalkan produktivitas. Alasannya, dengan adanya waktu istirahat, pekerja akan dapat mengoptimalkan 100 persen kemampuan mereka untuk menyelesaikan tugas-tugas.
Waktu istirahat yang diberikan dapat membuat pekerja untuk sementara waktu terbebas dari tugas-tugas guna menyegarkan otak kembali. Menurut studi yang sama, otak manusia akan bekerja dengan energi maksimal selama kurang lebih satu jam, yang diikuti dengan penurunan energi selama 15-20 menit.
Hasil studi Dragium Grup itu diperkuat oleh studi lain yang dilakukan oleh DeskTime, aplikasi komputer untuk mengukur kebiasaan pekerja yang paling produktif. Dilansir dari The Atlantic, analisis data yang dilakukan oleh DeskTime; pekerja dengan tingkat produktivitas tertinggi cenderung bekerja dengan konsentrasi penuh selama 52 menit, dilanjutkan dengan istirahat selama 17 menit. Waktu 17 menit itu, oleh pekerja yang produktif tadi, digunakan untuk jalan-jalan, berolahraga, atau sekedar ngobrol dengan pekerja lain.
Ilustrasi Karyawan Kantoran (Foto: thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Karyawan Kantoran (Foto: thinkstock)
Tentu saja hasil studi-studi tersebut tidak serta-merta dapat dijadikan acuan untuk seluruh industri kerja. Hasil penelitian pun beragam, dari yang mengklaim jam kerja ideal hanya sebatas 4 jam per hari, 5 jam per hari, 6 jam per hari, hingga yang 7 jam per hari.
ADVERTISEMENT
Namun, satu hal yang jelas, kerja 8 jam per hari dinilai sudah usang. Jam kerja tersebut --atau bahkan yang lebih lama lagi-- justru memberikan dampak buruk bagi pekerja perusahaan, yang akhirnya justru mengurangi produktivitas dan capaian perusahaan sendiri.
=============== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!