Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Menanti Generasi Pengrajin Tenun Aceh (Bagian 1)
16 September 2018 9:44 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Tiga alat tenun tradisional itu berjejer rapi di atas teras rumah. Sepasang suami-istri tampak sedang memainkan benang di atasnya. Sang istri duduk di salah satu alat pengrajin, sementara sang suami berada di belakangnya. Kedua tangan mereka bergerak begitu cepat, merapikan setiap untaian benang lalu menyisipkan ke sela-sela benang lain hingga membentuk sebuah motif gambar.
ADVERTISEMENT
Pasangan itu, Pahriansyah (41) dan Jasmani Daud (55) keduanya membuka usaha tenun Aceh di rumah sendiri, Jalan Lambaro Angan, Desa Mireuk Taman, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. kumparan berkesempatan untuk mengunjungi tempat usaha mereka. Setiba di sana, terdapat tulisan Songket Aceh Kreasi Jasmani (SAKJ) terpampang di sana, menyediakan berbagai jenis tenun songket dan menerima pesanan.
Pahriansyah menyambut kedatangan kumparan dengan baik. Meski, awalnya ia enggan jika tempat usahanya dipromosikan. Keduanya memang tak mengeluhkan soal hasil produksi dan pasang-surut bisnis yang dikerjakan. Hanya saja perasaan resah dan takut, akankah tenun yang mereka pertahankan itu memiliki generasi baru jika keduanya telah tiada.
Keberadaan songket Aceh kian terancam seiring minimnya minat generasi muda menjadi pengrajin tenun. Ditakutkan tenun tradisional peninggalan leluhur ini akan hilang tergurus zaman.
ADVERTISEMENT
“Kami bukan tidak mau dipromosikan. Cuma bukan itu yang kami butuhkan sekarang. Untuk apa dipromosikan kalau nanti ketika ada konsumen yang memesan dalam jumlah banyak sementara pengrajinnya tidak ada,” ungkap Jasmani saat ditemui kumparan.
Jasmani merupakan generasi pengrajin tenun didikan Maryamun atau dikenal dengan sebutan Nyak Mu. Tokoh sesepuh tenun yang paling berpengaruh terhadap perkembamgan usaha tenun songket di Aceh. Jasmani menjadi salah seorang muridnya yang masih merawat warisan budaya yang telah lama ada di masyarakat Aceh itu.
Jasmani mulai belajar menenun di rumah Nyak Mu pada tahun 1990. Awalnya dia tidak memiliki ketertarikan di dunia tenun, lantaran sesudah tamat sekolah SMA dan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, ia ingin mencoba mengikuti pelatihan tenun. Setelah satu bulan berjalan, kemudian Jasmani mulai jatuh hati dan ingin belajar lebih.
ADVERTISEMENT
“Setelah bisa menenun kemudian saya sambung lagi belajarnya. Bisa dikatakan magang di tempat Nyak Mu. Karena ketika itu saya ingin mencoba belajar buat motif sendiri. Saban hari pulang pergi setelah mahir dan bisa mandiri baru saya kerja di rumah sampai 2 tahun,” lanjutnya lagi.
Berbeda halnya dengan Pahriansyah, ia mengikuti jejak sang istri belajar tenun lantaran saat Jasmani hamil anak pertama terpaksa harus ikut belajar untuk membantu pekerjaan sang istri merajin tenun pesanan konsumen.
“Mau tidak mau ya harus belajar, karena waktu itu kondisi istri lagi hamil. Kan tidak mungkin dia harus kerja keras. Perlahan saya belajar dari istri hingga akhirnya bisa dan jatuh hati. Berawal dari sana, saya langsung nekat tetap ingin melanjutkan usaha tenun ini untuk ekonomi rumah tangga kami,” tutur Pahriansyah.
ADVERTISEMENT
Jasmani bercerita, ia mulai membuka usaha tenun sendiri pada tahun 2000. Awalnya ia mengajak beberapa tetangga di kampung dan mengajari mereka cara merajin tenun. Meski ada yang berhenti setelah diajarkan, namun masih ada yang bertahan hingga kini berjumlah sebanyak lima orang.
“Kalau dulu lumayan banyak tetapi berhenti tidak menenun lagi. Sekarang kita regenerasi karena faktor usia juga sekarang yang aktif sekitar 5 orang lagi,” tuturnya.
Sementara untuk proses produksi, saat ini Jasmani mengaku kewalahan lantaran harus menunggu bahan dikirim dari Sumatera Utara dan membelinya di Banda Aceh. Sedangkan produksi dari tahap pertama hingga menenun mengabiskan waktu satu bulan untuk menghasilkan 3 lembar kain atau mereka menyebutnya 2 set satu sarung dan selendang.
ADVERTISEMENT
“Sistem kerja menenun ini sekali pemasangan untuk satu bulan kerja. Jadi dari tahap pertama hingga menenun satu bulan itu menghasilkan 3 lembar kain. Pasaran harga tergantung bahan, harga set satu sarung dan selendang itu dari Rp 1,5 sampai Rp 2 juta,” paparnya.
Jasmani mengaku peminat kain tenun Aceh hasil karyanya cukup banyak baik dari lokal, Pulau Jawa, Kalimantan, hingga turis mancanegara yang datang langsung ke tempatnya. Di tempat usahanya, Jasmani menyuguhkan ragam varian motif ciri khas Aceh mulai dari Pucok Reubong, Bungoeng Geulima,dan Pinto Aceh.
“Pemesan banyak baik dari daerah sendiri maupun luar Aceh juga sudah banyak yang sukai tenun kita. Motif yang kita berikan sesuai pemesanan dan juga ada yang kita sediakan. Misalnya seperti dari luar negeri datang ada beli seperti selendang, tas, dompet, dan aksesoris lainnya," tutupnya.
ADVERTISEMENT