Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Moms, Begini Caranya Hadapi Kehamilan yang Tidak Direncanakan
4 Desember 2017 16:15 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB

ADVERTISEMENT
Kehamilan seharusnya menjadi anugerah yang sangat disyukuri, atas adanya kehadiran sang buah hati di tengah keluarga tercinta. Bukan hanya sebagai bentuk kepercayaan Tuhan terhadap manusia, namun kehamilan juga menjadi satu hal yang sangat dinantikan oleh kebanyakan pasangan menikah.
ADVERTISEMENT
Namun, tak jarang segelintir wanita yang justru hamil meskipun tak merencanakannya. Jarak yang terlalu dekat dengan anak sebelumnya membuat kebanyakan pasangan menunda untuk memiliki anak kembali.
Akhirnya, situasi ini biasanya banyak membuat ibu hamil menjadi frustasi dan diliputi rasa cemas berlebihan. Hal ini pun diamini oleh Psikolog Ajeng Raviando. Ia menuturkan, dampak psikologis yang pertama kali dilihat dari kehamilan yang tidak direncanakan adalah adanya penolakan dari bumil itu sendiri.
"Penolakan dari bumil terjadi umumnya karena ia merasa sebenarnya sudah tidak mau lagi, merasa sudah tua usianya, dan ada banyak hal yang perlu diurus saat menjalani proses kehamilan. Selain itu, apabila sebelumnya ia telah memiliki anak, tak jarang bumil mengingat masa lalunya dan seketika merasa enggan untuk mengulanh proses kehamilan itu karena berbagai alasan," ujar Ajeng, saat ditemui kumparan (kumparan.com) beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Ajeng menuturkan bahwa keadaan seperti ini telah menjadi beban psikologis tersendiri bagi bumil. Sementara itu, apabila beban psikologis yang dirasakan sudah berat, maka faktor lainnya yang dirasakan nanti, akan dengan mudahnya memicu stres tingkat tinggi. Contohnya saja seperti mengalami mood swing.
"Perlu diketahui bahwa mood swing, khususnya di trimester pertama itu lumayan berat dan berpengaruh terhadap kehamilan. Apabila mood swing pada bumil tidak ditangani dengan baik oleh suami ataupun keluarga, maka nantinya mereka tetap tidak bisa menerima kehamilannya. Hal itu bisa menjurus kepada depresi yang dirasakan bumil," jelas alumni Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia itu.

Untuk itulah, dalam menghadapi kondisi tersebut, Ajeng mengemukakan salah satu cara terbaik yang bisa dilakukan, agar bumil memiliki persiapan mental yang cukup. "Selain mindset yang harus tetap positif, dukungan dari support system yang bumil miliki juga sangat diperlukan. Suami bisa memberikan semangat dengan memberikan kata-kata pendukung yang penuh rasa cinta dan empati," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, kata-kata pemberi semangat seperti, "Tidak masalah jika kamu hamil lagi, justru keluarga kita akan semakin ramai nantinya". Atau, "Kalau kita punya anak, hidup kita akan semakin bergairah lagi lho!", bisa dijadikan contoh sebagai ungkapan dukungan dan cinta dari sang suami kepada bumil yang sedang diliputi rasa khawatir dan tidak percaya diri.
Ia menambahkan, apabila sebelumnya bumil telah memiliki anak, maka sang anak juga bisa memberikan dukungan dan semangat kepadanya. "Saya sempat bertemu dengan bumil yang sebelumnya telah memiliki anak. Perbedaan usia anak dengan bayi yang ada di kandungannya sekitar 17 tahun. Namun, si anak justru memberikan dukungannya dan merasa senang karena akan memiliki adik baru," ceritanya.
Hal itu terbukti sangat berpengaruh terhadap psikis bumil yang semula tidak antusias, akhirnya menjadi lebih bersemangat dan bersyukur. Tak hanya itu, Ajeng juga menyarankan agar bumil bisa berbagi cerita apapun terhadap pasangannya.
ADVERTISEMENT
"Bumil harus berbagi rasa dan beban dengan sang suami. Hal ini dilakukan agar setidaknya rasa cemas dan ketidakpercayaan diri itu bisa tertangani dengan baik. Termasuk dengan pengendalian emosi dan mindset bumilnya." tutup Ajeng.