Pendapat Ahli tentang Larangan Menikah antara Suku Jawa dan Sunda

10 Juni 2018 13:14 WIB
Pernikahan Outdoor (Foto: Instagram @syahnazs)
zoom-in-whitePerbesar
Pernikahan Outdoor (Foto: Instagram @syahnazs)
ADVERTISEMENT
Hidup di negara dengan budaya dan adat istiadat yang beragam, membuat masyarakat Indonesia tak luput dari beberapa mitos—dan stereotip yang menyelimuti pemikiran terhadap norma, suku, dan tradisi yang ada. Salah satunya adalah dalam urusan pernikahan antarsuku.
ADVERTISEMENT
Di beberapa kalangan masyarakat, larangan menikah antarsuku ini masih sangatlah kental, bahkan menjadi sesuatu yang tabu. Tak jarang, beberapa pasangan terpaksa membatalkan pernikahan, hanya karena leluhur keluarga yang tak bisa merestui hubungan antarsuku tersebut.
Salah satu mitos pernikahan yang paling populer adalah antara suku Jawa dan Sunda. Ada paham yang berkembang di masyarakat bahwa pernikahan antara seseorang dari suku Jawa dengan suku Sunda sangat dilarang terkait sejarah masa lalu tentang Perang Bubat, antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda. Walau ini merupakan legenda, namun di generasi modern millenial saat ini, mitos tersebut ternyata masih menjadi sebuah momok dan bahasan yang seru.
Tapi apakah benar tabu pernikahan antara kedua suku ini merupakan akibat trauma sejarah atau sebenarnya karena adanya steorotip antarsuku yang cukup kuat di Indonesia?
ADVERTISEMENT
kumparanSTYLE (kumparan.com) menghubungi Notty J Mahdi, Antropolog dalam Forum Kajian Antropologi Indonesia untuk membahas mitos menarik ini.
Pernikahan Kahiyang-Bobby (Foto: Antara/Mohammad Ayudha)
zoom-in-whitePerbesar
Pernikahan Kahiyang-Bobby (Foto: Antara/Mohammad Ayudha)
“Kebetulan saya punya pengalaman pribadi tentang pernikahan dua suku yang berbeda ini. Suami saya Sunda, dan saya Jawa,” paparnya.
Notty bercerita bahwa rencana pernikahannya sempat tersendat, lantaran, menurut pini sepuh keluarganya yang menganggap bahwa ‘awu’ diri Notty sebagai orang Jawa, lebih tua dari sang suami.
“Artinya biarpun usia suami saya 5 tahun lebih tua dari saya namun secara sejarah (dan dalam kepercayaan Jawa) saya dianggap lebih tua dari suami. Itu tidak boleh menurut adat, harusnya suami lebih tua dari istri,” tambah Notty.
Latar belakang kepercayaan budaya tersebut menjadi salah satu halangan pertama Notty untuk menikahi calon pasangannya.
ADVERTISEMENT
Namun, secara general Notty berpendapat bahwa ada berbagai stereotip lain yang menyebabkan pernikahan antara suku Jawa dan Sunda menjadi tabu. Hal paling kentara menurut Notty adalah yang berkaitan dengan perempuan Sunda. Ada stereotipe bahwa mereka tidak pandai memegang uang, terlalu gemar berdandan, tak pandai memasak dan bersih-bersih rumah, tidak sopan, dan masih banyak lagi.
Pernikahan antar suku  (Foto: dok.The Bridedept  &  Antara/Maulana Surya)
zoom-in-whitePerbesar
Pernikahan antar suku (Foto: dok.The Bridedept & Antara/Maulana Surya)
“Stereotip ini muncul karena dulu saat orang-orang Jawa datang ke daerah Pasundan, mereka melihat para perempuan (Sunda) suka duduk-duduk di depan rumah sudah berdandan. Perbedaan kebiasaan ini yang menimbulkan anggapan mereka matre,” jelas Notty.
Sebaliknya, ada pandangan dari perempuan Sunda, bahwa suara pria Jawa, khususnya Jawa Timur yang tegas, memunculkan stereotip bahwa pria Jawa itu kasar.
ADVERTISEMENT
Namun, menurut Notty, sebenarnya hal tersebut hadir bukan karena mitos. Hanya saja sebuah stereotip yang sudah menempel dari masa ke masa yang akhirnya mempengaruhi cara berpikir orang tua terdahulu.
“Semua orang tua ingin anaknya langgeng dalam pernikahan, mereka lebih comfortable seandainya anak-anak mereka menikah dengan orang-orang dari suku yang sama. Setidaknya, mereka mengerti tentang adat istiadatnya, juga bahasanya,” jelas Notty.
Lalu bagaimana pendapat Notty mengenai mitos terkait sejarah di masa lampau tentang Perang Bubat antara kerajaan Sunda dengan kerajaan Jawa?
Ia menjawab bahwa itu hanya bagian dari mitologi saja. “Itu cerita-cerita yang lahir dari sebuah peristiwa,” paparnya.
Inspirasi kebaya pernikahan (Foto: Dok. Studio Boh, Didiet Maulana, & Vera Kebaya)
zoom-in-whitePerbesar
Inspirasi kebaya pernikahan (Foto: Dok. Studio Boh, Didiet Maulana, & Vera Kebaya)
Dalam penjelasan Notty, mitos-mitos tersebut hadir untuk menjaga keselarasan dalam bermasyarakat. Tentunya, untuk menghindari konflik karena bahasa, kebiasaan, hingga adat kesopanan.
ADVERTISEMENT
“Ini terjadi dalam rumah tangga saya, kalau kumpul-kumpul dengan keluarga saya dan kita berbahasa Jawa, suami curiga kita ngomongin dia, begitu juga sebaliknya. Akhirnya kami berdua jadi penerjemah kalo kumpul-kumpul,” ungkap Notty.
Apabila dikaitkan dengan relevansi saat ini, pemikiran terhadap larangan antarsuku, perlu diakui, masih ada di beberapa masyarakat. Namun kabar baiknya, seiring perubahan masa, keadaan ekonomi sosial berubah, dan cara pandang masyarakat terhadap suku di luar lingkupnya juga ikut berubah.
“Waktu saya penelitian batik di Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Sumedang, para ibu-ibu (di sana) mengatakan mantu idaman mereka malah pria Jawa karena ulet bekerja, sopan dan jarang berbicara,” kenang Notty.
Karena itu, pernikahan antara dua suku itu memang perlu dibicarakan sedari awal hubungan. Karena bagaimana pun, terdapat beberapa hal penting yang berbeda, dan perbedaan tersebut dapat menimbulkan konflik seandainya tidak ada kesepakatan.
ADVERTISEMENT
“Pada akhirnya, saat pernikahan dua manusia berbeda suku, itu juga merupakan sebuah perayaan dan pesta keluarga luas yang mementingkan hubungan sesama, bawahan dan atasan, juga Tuhan dan manusia,” tutup Notty.