Suara Lantang Hannah Al Rashid, Menyerukan Aksi Sosial & Kesetaraan

21 April 2018 13:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Hannah Al Rashid (Foto: Dok.Garin Gustavian / Muhammad Faisal Nu'man)
Tercatat pada tahun 2017 terdapat hampir 260.000 kasus kekerasan terhadap perempuan dilaporkan. Menurut catatan tahunan dari Komnas Perempuan, terdapat 173 perempuan yang dibunuh di Indonesia pada tahun 2017, dengan 95 persen di antaranya dibunuh oleh laki-laki.
ADVERTISEMENT
Tak heran, dengan fakta tersebut aksi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan pun kian mencuat. Salah satunya adalah aksi Women's March.
Aksi Women’s March yang telah digelar untuk kedua kalinya tahun ini diikuti oleh ratusan hingga ribuan masyarakat yang peduli dan ingin membantu menyuarakan tuntutan dan suara perempuan agar terpenuhi segala hak-haknya.
Tidak hanya diikuti oleh perempuan, aksi ini juga turut menyuarakan tuntutan dan aspirasi kaum marginal yang kerap tak didengar.
Sederet kalangan pun ikut turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi terkait kesetaraan gender dan perlindungan terhadap perempuan. Coba saja tengok Women's March 2018 yang lalu, Anda bisa menemui aktivis hingga publik figur yang berpartisipasi.
Dan salah satunya yang menarik perhatian kami adalah sosok Hannah Al Rashid. Aktris kelahiran London ini kerap ditemui wara-wiri di berbagai kegiatan dan aktivisme sosial terkait kesetaraan gender.
ADVERTISEMENT
Tak heran UN mendapuk Hannah sebagai penggerak SDG (Sustainable Development Goals) dalam bidang kesetaraan gender di Indonesia yang aktif menyuarakan hak-hak perempuan.
Sosoknya yang menginspirasi dan merepresentasikan sosok Kartini masa kini, membuat kumparanSTYLE (kumparan.com) memilih Hannah Al Rashid kedalam kompilasi kumparan (kumparan.com) Inspiring Woman Series. Mari simak obrolan kami dengan Hannah.
Hannah Al Rashid (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
Selain dikenal sebagai aktris, Anda juga didaulat sebagai duta terbaru dari Koalisi Cegah Kanker Serviks (KICKS) dan di tahun 2017 didapuk PBB sebagai penggerak SDG (Sustainable Development Goals) dalam bidang kesetaraan gender di Indonesia yang menyuarakan hak-hak perempuan. Bagaimana komitmen ini terbentuk?
Basically manajer saya, Litha pernah kerja di UN. Saat itu UN sedang mencari kandidat yang bisa menjadi penggerak Suistainable Development Goals (SDG). Mereka mencari sosok public figure yang punya passion di bidang aktivisme sosial juga. Alhasil saya dipertemukan dengan pihak UN. Sebenarnya saat mereka menawarkan posisi tersebut, mereka menunjukkan list goals yang belum diwakili. Dari beberapa pilihan yang ada, saya memilih poin terkait kesetaraan gender.
ADVERTISEMENT
Kenapa kesetaraan gender? Kenyataannya dari dulu I have genuine passion about this issue, I have very strong interest in woman empowerment, woman issue. Hal-hal yang menurut saya seksis atau tidak adil terkait perempuan, langsung cepat saya respon. Jadi saat ada tawaran sebagai duta penggerak SDG (Sustainable Development Goals) dalam bidang kesetaraan gender, saya merasa cocok. Selain itu sebelum kerja sama dengan UN pun, saya suka menulis tentang pengalaman pribadi terkait sexism, juga pengalaman mengalami kekerasan seksual atau fisik.
Apakah ada pengalaman pribadi yang membawa Anda menjadi seseorang yang menaruh perhatian khusus terkait isu gender?
Pengalaman menjadi korban pelecehan seksual mostly saya alami saat pindah ke Indonesia. Saya mengalami cat calling hampir tiap hari saat pindah kesini 10 tahun yang lalu. Saya sempat juga mengalami eksibisionis di jalan. Saat saya sedang jalan, tiba-tiba ada seorang laki-laki mengeluarkan alat kelaminnya dan masturbasi di depan saya di siang bolong, pernah juga saat sedang berjalan ada motor lewat tiba-tiba ada yang memegang pantat dan payudara saya.
ADVERTISEMENT
Nah, karena saya memiliki genuine interest akan woman issue, dan pernah mengalami tindak pelecehan tersebut juga, alhasil pihak UN juga merasa cocok dengan background saya.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh organisasi PBB UN Women, saat ini 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidupnya yang sebagian besar dilakukan oleh pasangan. Bagaimana tanggapan Anda terkait hal ini?
Mayoritas pelaku kekerasan fisik atau seksual adalah orang terdekat, dan saya lihat ini merupakan isu global.
Hal ini dapat terjadi karena kita atau masyarakat kerap memposisikan perempuan sebagai sosok yang tidak memiliki power atau merasa tidak memiliki power untuk speak up dan melawan. Selain itu, tidak adanya support system untuk mendukung perempuan keluar dari situasi-situasi yang kurang menyenangkan.
Women's March di MH Thamrin (Foto: Puti Cinintya Arie Safitri/kumparan)
Anda juga berpartisipasi dalam aksi Women’s March Jakarta, seberapa penting aksi tersebut dalam menyuarakan hak-hak perempuan? Apa dampak konkretnya terhadap isu kesetaraan gender di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Menurut saya penting sekali, karena tanpa adanya Women’s March dan ribuan perempuan yang turun ke jalan, orang yang tidak concern akan isu ini tidak akan paham bahwa masih ada masalah soal gender. We (woman) don’t have space to share our issue and problem. Jadi ya sudah kami memilih turun ke jalan untuk menyuarakan hal tersebut secara bersama-sama.
Misalnya begini, ada satu perempuan yang dilecehkan di tempat kerja, namun ketika ia mengeluh malah ia yang disalahkan, “Halah lo aja emang perempuan nakal.”
Saat perempuan hanya sendirian dalam posisi tersebut ia tidak bisa melakukan apa-apa. Namun ketika ada ribuan perempuan menyuarakan hal yang sama, apa kalian masih tidak percaya juga?
Meskipun Women's March yang tahun ini sempat dijadikan kontroversi oleh beberapa pihak, ini semakin membuktikan bahwa kita butuh gerakan-gerakan serupa. Setidaknya bisa membuka mata mereka terkait isu-isu gender yang ada saat ini saja.
ADVERTISEMENT
Dan fakta bahwa Presiden Jokowi ‘meng-endorse’ Women’s March tahun ini dengan Instagram postnya, menurut saya itu adalah sesuatu yang sangat powerful. Hal ini menunjukkan bahwa presiden pun sadar akan isu ini.
Poster Anda di Women’s March yang berbunyi “Aurat gue bukan urusan lo!” sempat menuai berbagai respon di media sosial, ada yang mendukung dan mengecam. Bagaimana Anda memandang konsep aurat bagi perempuan? Mengingat persoalan aurat perempuan sering dikambinghitamkan sebagai penyebab pelecehan seksual.
Saya bangga sekali dengan poster yang saya buat. Tapi saya menyesalkan poster tersebut dijadikan alat politik dan digunakan sebagai agenda radikal yang cukup menggambarkan kondisi negara ini.
Inti poster saya sangat jelas, “aurat gue bukan urusan lo! Stop blaming the victim, stop pelecehan seksual." Inti dari poster tersebut adalah jangan menyalahkan korban pelecehan seksual dengan alasan pakaian apa yang ia kenakan.
ADVERTISEMENT
Toh, kita banyak yang sudah tahu bahwa perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual tidak semata-mata karena memakai pakaian yang terbuka. Semua bisa jadi korban. Entah perempuan tersebut memakai cadar, mukena, atau yang terbuka sekalian.
Menurut saya, poster saya tersebut cukup jelas maknanya, tapi ternyata ada pihak-pihak yang mungkin sensitif jadi mudah tersulut.
Terkait poster tersebut, banyak akun-akun radikal yang menghujat saya, dan menggiring akun radikal lainnya untuk turut serta menghujat. Mereka memposting foto saya dan bilang Hannah Al Rashid menyuruh perempuan Indonesia untuk buka aurat.
Cara mereka memanipulasi poster saya, tujuannya sudah jauh sekali. Kehebohan saya dengan poster tersebut semakin menunjukkan atau mencerminkan betapa mengecewakan sekali arah politik negara ini.
ADVERTISEMENT
Hannah Al Rashid (Foto: Dok.Instagram @henystephanie)
Belum lama ini di jagat Hollywood muncul gerakan #MeToo, di mana perempuan di ranah hiburan akhirnya memberanikan diri untuk bersuara terkait pengalaman mereka menghadapi pelecehan dan kekerasan seksual. Sebagai sosok yang berkecimpung di dunia hiburan, pernahkah Anda merasa dilecehkan atau direndahkan atas status perempuan?
Banyak aktris atau peran perempuan dalam film hanya sebagai pemanis saja. Hal tersebut sudah cukup menjadi standar industri hiburan itu sendiri menurut saya.
Misalnya saat saya ambil peran sebagai karakter Sophie di film Warkop DKI Reborn, yang mana image film Warkop dari dulu kan perempuan sebagai pemanis saja dengan pakaian yang seksi semata. Saya mencoba berdiskusi juga untuk menampilkan sosok perempuan seksi dalam film tersebut bukan semata-mata tubuhnya saja. Tapi membentuk Warkop Angels yang baru, keseksiannya juga baru. They can be sexy melalui kepintaran dan kemandirian mereka. Jadi karakter Sophie dalam film tersebut bukan sekadar pelengkap saja. Jangan sampai karakter perempuan dijadikan sex object semata.
ADVERTISEMENT
Dalam isu kesetaraan gender, tantangan apa yang terpampang nyata bagi Anda dan perempuan di Indonesia?
Meyakinkan laki-laki dan perempuan bahwa kesetaraan gender yang ada saat ini masih amat kurang. Masih banyak perempuan yang tidak memiliki kebebasan dalam meraih hak-haknya. Sejatinya perempuan saat ini harus sudah bisa memilih pasangan hidupnya sendiri, bisa memilih jalur kariernya sendiri, boleh memilih menikah kapan pun, itu privilege yang ternyata belum semua perempuan bisa raih saat ini.
Jadi kita (masih) harus perjuangkan hak perempuan. Banyak orang yang tidak sadar dengan isu ini, banyak orang yang tidak sadar kekerasan adalah isu yang sangat penting bagi perempuan karena yang mengalaminya sudah banyak.
Misalnya saat pacaran dipukul dan perempuan menganggap itu normal. No it shouldn’t be normal, but we normalized it.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini adakah sosok yang menginspirasi Hannah dalam melakukan aktivisme sosial?
Selama menjadi duta untuk UN, saya dipertemukan banyak sekali orang yang menginspirasi. Berbagai perempuan hebat yang memperjuangkan isu gender, terutama teman-teman aktivis yg mengatur Women’s March, saya belajar banyak dari mereka. Saya melihat penyanyi seperti Kartika Jahja dan Yacko. Mereka amat inspiratif karena voicing this issue with their music.
Begitupun saya melihat Lupita Nyong’o yang berani speak up.
Perempuan yang menginspirasi saya juga berasal dari karakter fiksi, Nyai Ontosoroh dari novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Menurut saya dia adalah sosok perempuan Indonesia yang ideal, pintar, mandiri, yang sadar memperjuangkan haknya walaupun pada zaman kolonial perempuan tidak memiliki hak apa pun. Tapi dia tetap fight. Menurut saya jiwa seperti itu yang harus kita miliki.
ADVERTISEMENT
Dan salah satu feminist icon saya adalah Linda Sarsour. Dia adalah salah satu pendiri Women’s March movement. Ia adalah warga Amerika berdarah Palestina dan mengenakan hijab. Linda tak hanya memperjuangkan isu kesetaraan gender tapi juga memperjuangkan hak semua orang.
Aksi di Women's March (Foto: Dok.Instagram @indahpermatas)
Apa rencana yang Anda ingin lakukan selanjutnya ? Adakah ambisi lain yang belum tercapai?
Saya ingin sekali menyebarluaskan isu kesetaraan gender, kalau bisa bikin series video lagi yang membicarakan isu ini. Saya pernah dikirim ke Aceh untuk membuat film pendek, jujur saya ingin sekali bersama UN turun langsung ke lapangan untuk membantu perempuan di daerah.
Jika dilihat lagi efek dari program UNDP untuk membentuk perempuan sebagai pemimpin, saya melihat langsung dampak positifnya. Perempuan yang memiliki skill khusus dan menjadi leader dalam komunitasnya, mereka melakukan hal-hal yang mengagumkan.
ADVERTISEMENT
Dan saya ingin isu akan kesetaraan gender semakin meluas, banyak kalangan yang mau speak up dan makin banyak laki-laki yang turut dan paham serta ikut memperjuangkan hak perempuan.
Jika disuruh memilih, Anda lebih menyukai berkecimpung di dunia hiburan atau aktivisme sosial?
Pilihan yang sulit ya, karena passion saya memang di dunia film (akting). I love my job , i love making movie. Tapi di sisi lain, posisi saya sebagai public figure memberi saya tanggung jawab untuk membantu menyuarakan orang-orang yang mengalami ketidakadilan dalam masyarakat. Dan menariknya saya pernah mendapat tawaran peran di suatu film karena aktivisme sosial yang kerap saya lakukan. Jadi saya senang menjalani profesi sebagai aktris dan aktivisme sosial secara beriringan.
ADVERTISEMENT
Apa harapan Anda terkait masa depan kesetaraan gender di Indonesia?
Saya harap akan ada big policy changes dari pemerintah kita yang akan melindung perempuan korban kekerasan fisik maupun seksual.
Jadi kalau dari pemerintahnya sudah ada, hal ini akan menurun ke bawah. Saya berharap sekali adanya revolusi mental terhadap isu kesetaraan gender yang membuat orang sadar ini adalah isu penting yang harus diperjuangkan.This is a long term issue.
Dan penting bagi perempuan yang sudah memiliki privilege tidak terpaku dengan privilege mereka saja. Tapi juga bertindak dengan memperjuangkan hak-hak perempuan yang lainnya.
Simak cerita perempuan inspiratif lainnya di topik sheinspiresme.