Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Familier dengan kondisi ini: lemari penuh pakaian tapi merasa tak ada yang bisa dikenakan? Persoalan tersebut sempat dialami oleh Agnes Andriana, 34 tahun.
Lemari pakaiannya tak lagi cukup menampung baju yang ia beli. Sebagian bahkan masih terbungkus plastik belanja dan belum sempat ia gunakan. Tapi, plang diskon di department store setiap kali ia jalan-jalan di mall selalu menggodanya.
“Aku diomelin sama suami karena ada satu kantong, dia tanya ‘Ini apa?’ Terus dilihat tanggal belanjanya, ternyata bulan lalu dan belum diapa-apain,” tuturnya saat mengobrol bersama kumparan di Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (16/4).
Bekerja di bagian marketing salah satu perusahaan properti ternama membuat Agnes harus selalu tampil gaya. Selain itu, ia juga hobi mix and match dan mencoba beragam style busana. Dua hal yang membuat kebutuhannya akan pakaian meningkat.
“Biasalah kalau lagi diskonan kan beli tuh. Terus abis itu, udah kayak disumpel-sumpelin aja (di lemari). Belum kepakai,” ujarnya. Meski harga diskon, Agnes bisa menghabiskan Rp 1-2 juta per bulan untuk membeli pakaian bermerek seperti Mango dan Zara.
Bagi Agnes, penuhnya lemari pakaian adalah kondisi yang sulit ia hindari. “Namanya cewek, kebutuhan banyak. Kadang-kadang untuk jalan-jalan dan ke kantor kebutuhan (pakaiannya) beda. Mau party kebutuhannya beda lagi.”
Meski tak diucapkan, tuntutan untuk tampil profesional dan trendi kerap membayangi perempuan urban perkotaan. Berpakaian untuk kerja saja bisa menjadi ‘pekerjaan’ tersendiri. Belum lagi biaya—berupa rupiah, waktu, dan tenaga—yang harus ditanggung demi sebuah penampilan.
Hal serupa dialami oleh Andri Manullang. Tuntutan untuk tampil dengan busana berbeda muncul seiring dengan banyaknya acara yang mesti ia kunjungi.
Ia, misalnya, mesti menghadiri tiga undangan pernikahan selama tiga minggu berturut-turut. Situasi yang baru pertama kali ia alami itu membuatnya kebingungan.
Bagi Andri, dan rata-rata perempuan, pantang rasanya mengenakan pakaian yang sama di tiap kondangan. Apalagi acara tersebut beruntun setiap pekan. Tapi ia juga enggan untuk membeli gaun yang mungkin hanya akan dipakai satu dua kali saja.
“Kalau tiga kali pakai baju yang itu melulu, kayaknya… waduh!” ucap Andri diiringi tawa saat bercerita kepada kumparan di sekitar Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (10/4).
Persoalan yang dialami oleh Andri dan Agnes bukan tak mungkin dihadapi oleh banyak perempuan lainnya. Terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar dengan segala tuntutan tak kasat mata akan penampilan.
Menghadapi persoalan tersebut, keduanya mencoba cara baru dalam mengonsumsi baju, yakni dengan menyewa/rental fesyen. Hal tersebut dimulai ketika Style Theory, aplikasi rental busana dari Singapura, mulai merambah Indonesia pada November 2017.
Aplikasi ini memungkinkan penggunanya untuk menyewa baju sesering yang ia mau hanya dengan membayar biaya berlangganan Rp 590 ribu untuk satu bulan pertama. Sama halnya dengan Netflix, Spotify, Airbnb, atau Gojek dan Grab, aplikasi rental fesyen ini menganut prinsip sharing economy.
“You don’t need to own it, but you still can enjoy it,” ucap Wisnu Aryo Setio, Marketing Lead Style Theory, kepada kumparan di kantornya, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (9/4).
Kehadiran aplikasi semacam Style Theory yang menawarkan penyewaan busana rancangan desainer ternama memang cukup menarik perhatian. Di tahun pertamanya saja, aplikasi ini mampu menarik perhatian 20 ribu pengguna aktif di Jakarta.
Bagi Agnes, aplikasi ini cukup membantunya. “Aku jadi nggak usah beli-beli baju. Rasanya punya baju banyak banget, tapi space apartemenku aman,” ujar ibu satu anak ini.
Aplikasi sewa pakaian ini pun membuatnya merasa lebih bebas untuk mencoba beragam jenis mode pakaian. Mulai dari tampilan sangat girly dengan gaun berpotongan flowy dan warna-warna cerah, ataupun gaya casual dengan jins dan outer oversized.
“Aku lihat bajunya itu lumayan bagus. Rancangan desainer Indonesia ada, dari luar negeri juga. Lumayan,” kata Agnes. Maka ia memanfaatkan aplikasi ini untuk menunjang kebutuhannya berbusana ke kantor, liburan, hingga pemotretan untuk promosi tokonya.
“Dari pada beli-beli terus, aku bingung akhirnya bagaimana. Mau di-preloved (jual) ribet urusannya. Mau dikasihin ke orang, tapi baru dipake sekali dua kali gitu kan (sayang). Mau disimpan juga nggak muat,” kata Agnes.
Sementara Andri menggunakan aplikasi ini untuk tampil apik di berbagai acara yang harus ia kunjungi. Tak cuma pesta pernikahan, tapi juga berbagai event dan gelaran seni di kantornya hingga hari khusus seperti Hari Raya Paskah.
Andri cukup puas sebab ia bisa tetap tampil apik tanpa harus terus-menerus membeli gaun dan pakaian yang hanya akan dipakainya sesekali lalu menumpuk di lemari.
“Sewa harga normal kan Rp 990 ribu per bulan. Berarti kira-kira Rp 250 ribu per minggu. Let’s say, seminggu tiga kali sewa baju berarti kita cuma bayar kurang lebih Rp 80 ribu. Itu kan murah banget,” kata Andri.
Tapi ia tak menampik banyak keraguan dilontarkan rekan-rekannya saat mengetahui ia menyewa pakaian . “Mereka mikirnya kayak, ‘ah geli abis dipakai siapa’,” ucapnya seraya tertawa.
Bagi Andri, hal tersebut tak jadi soal sebab pakaian yang ia sewa selalu datang dalam kondisi bersih dan wangi. “Gue gak terlalu mikirin, lagian itu udah di-laundry juga,” ucapnya.
Penyewaan pakaian memang bukanlah barang baru. Sebelumnya pakaian untuk pernikahan, pertunangan, atau gaun dan tuksedo semata yang biasa disewakan.
Kini, pakaian kerja dan kasual pun bisa dirental. Tapi tentu saja bukan sembarang pakaian yang disewakan, melainkan pakaian merek ternama atau rancangan desainer kondang.
Menurut jurnalis fesyen, Syahmedi Dean, berkembangnya bisnis penyewaan pakaian tak lepas dari gaya hidup kelas menengah perkotaan dan pengaruh media sosial. “Gaya hidup dengan posting visual (seolah mengatakan) sebaiknya tidak dua kali (posting dengan baju yang sama),” ucapnya.
Belum lagi, tren #OOTD alias outfit of the day, dengan mengunggah gaya busana yang dikenakan hari itu, membuat orang-orang berlomba untuk menunjukkan dirinya. Hingga rasa enggan mengenakan pakaian yang sama kedua kali hinggap, sebab semuanya tampak di layar dunia maya.
“Sekarang kalau ada acara, pergi arisan, ketemu teman, selalu foto-foto kan, selfie-selfie. Itu juga cenderung akan dibercandain kalau ada yang pakai baju lu dua kali,” kata Dean.
Beragam ejekan bisa berdatangan jika ketahuan mengenakan baju yang sama berkali-kali . Misalnya, kalimat ‘baju lu dua kali sama nih’ lalu diafirmasi dengan perkataan ‘jangan kayak orang susah’.
Sementara itu mode pakaian dengan cepat berubah. Menurut Dean—panggilan akrab Syahmedi Dean—pakaian trendi dengan mode terkini, lifetime-nya rata-rata hanya satu kali pakai. Kondisi yang kemudian biasa disebut dengan fast fashion, tren yang berganti cepat dan diproduksi massal.
Di beberapa negara Amerika dan Eropa, perubahan pola konsumsi fesyen dengan cara menyewa bukan membeli sudah lebih dulu dimulai. Misalnya, aplikasi rental pakaian seperti Rent the Runway yang muncul sejak 2009 dan berkembang pesat pada 2016.
Ada pula Tulerie yang berbasiskan komunitas. Aplikasi ini memungkinkan penggunanya untuk pinjam meminjam pakaian di antara rekan sesama pengguna Tulerie.
Kehadiran Style Theory, Rent the Runway, Tulerie, dan beragam aplikasi sejenis di berbagai negara memiliki alasan hampir serupa. Mengubah pola konsumsi fesyen agar lebih ramah lingkungan.
Sebab, fast fashion yang berubah begitu cepat meningkatkan sampah pakaian , bukan cuma limbah tekstil yang mencemari lingkungan tapi juga pakaian yang lebih cepat terbuang sia-sia.
Para pemilik rental fesyen tak cuma berharap bisa memenuhi ragam mode yang diinginkan para penggunanya, tapi juga membentuk pola konsumsi fesyen yang lebih sustainable dan ramah lingkungan. Dan, tentu saja ramah dompet.