KONTEN SPESIAL, Lifestyle Support System #UntukPerempuan

Tanya Psikolog: Mengapa Perempuan Cenderung Saling Menjatuhkan?

13 April 2019 13:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perempuan saling meremehkan perempuan lainnya. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan saling meremehkan perempuan lainnya. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa disadari, kita sering membentuk sebuah ‘kebiasaan’ tersirat yang menjatuhkan sesama perempuan. Mulai dari bergunjing tentang seseorang yang tidak dikenal, ejekan yang terselubung lewat candaan, menghakimi tanpa mengetahui permasalahan, hingga pandangan sinis pada seseorang yang dirasa tidak dalam status yang sama. Ironisnya lagi, terkadang, mereka yang kita bicarakan bukanlah seseorang yang dikenal.
ADVERTISEMENT
Dan pada akhirnya, kita sebagai perempuan, justru menjadi musuh terbesar bagi sesama perempuan lainnya. Menyedihkan? Tentu. Tapi sayang, kebiasaan ‘menjatuhkan’ sesama perempuan ini sering ditemukan di lingkungan masyarakat kita. Bahkan, banyak dari kita yang mungkin juga memiliki kebiasaan buruk ini. Bergosip, mengucilkan, mempermalukan, dan tindakan negatif lainnya terkadang jadi hal lumrah yang tanpa disadari kita lakukan sehari-hari.
Bagi sebagian orang mungkin ini adalah hal yang sepele. Tapi tahukah Anda, bahwa kebiasaan yang sepertinya sepele ini bisa menjadi sesuatu yang berbahaya dan memiliki dampak negatif, baik bagi diri kita sendiri maupun orang lain.
Lalu, sebenarnya apa yang menyebabkan perempuan terkadang menjatuhkan sesama perempuan lainnya? Dan bagaimana kita bisa mengubah kebiasaan negatif ini menjadi sesuatu yang lebih positif?
Psikolog klinis dewasa, Alvieni Maria Angelica, M.Psi., Psikolog Foto: dok. Alvieni Maria Angelica, M.Psi
kumparan berbicara dengan psikolog klinis dewasa, Alvieni Angelica, M.Psi., Psikolog, yang juga pendiri Enlightmind, perusahaan Consulting Psychology yang membahas hubungan antara sesama perempuan.
ADVERTISEMENT
Simak penjelasan Alvieni di bawah ini.
Ada anggapan bahwa musuh terbesar perempuan adalah sesama perempuan itu sendiri. Apakah itu benar dan mengapa perempuan punya kecenderungan menjatuhkan satu sama lain?
Dari sudut pandang psikologi evolusi yang dipopulerkan oleh David Buss, ada istilah yang dinamakan sebagai kompetisi intraseksual, yaitu kompetisi di antara sesama kelompok; laki-laki maupun perempuan.
Dalam kelompok laki-laki, status sosial dan kemampuan fisik yang menjadi bahan kompetisi umum. Sedangkan pada perempuan, awet muda dan daya tarik fisiklah yang menjadi bahan kompetisinya. Jadi, sebenarnya fenomena ini bukan hanya terjadi di antara perempuan saja.
Secara primitif, insting untuk melakukan kompetisi intraseksual ini adalah untuk berlomba mendapatkan perhatian dari orang-orang yang dianggap memiliki potensi sebagai pasangan. Namun, karena perempuan lebih sering mengekspresikan perasaan dan pemikirannya secara verbal, maka kompetisi ini menjadi terlihat lebih jelas di antara perempuan.
ADVERTISEMENT
Apakah pengalaman masa kecil dan lingkungan akan mempengaruhi cara pandang seorang perempuan terhadap kecenderungan persaingan ini?
Dari sudut pandang teori perkembangan, pengalaman bagaimana seorang anak perempuan dibesarkan akan mempengaruhi bagaimana insting mereka untuk melakukan kompetisi intraseksual tersebut.
Apabila sejak masa awal kanak-kanak ia mengalami penerimaan yang baik terhadap dirinya tanpa syarat, maka ia akan tampil sebagai pribadi yang cenderung lebih damai dengan sekitarnya. Sebaliknya ketika ia selalu dikritik, disalahkan, di-bully, maka kecenderungan untuk tampil penuh rasa kompetisi dengan orang lain pun akan menjadi lebih tinggi. Tinggal bagaimana ia mengekspresikannya, apakah ia akan menjadi agresif dan penuh kritik terhadap orang lain, atau justru menarik dan membatasi diri dalam lingkungan sosial.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini ada kasus perseteruan antara anak-anak perempuan di Pontianak yang menghadirkan gerakan sosial Justice for Audrey. Bagaimana Anda memandang kasus ini?
Kasus yang baru saja terjadi semakin memperjelas betapa kita sedang mengalami krisis relasi. Banyak hal tidak bisa lagi dikomunikasikan dengan baik ketika sedang menghadapi masalah.
Peristiwa ini mengajak kita kembali untuk merefleksikan relasi yang lebih kecil dalam rumah tempat seseorang dibesarkan. Khususnya, relasi orangtua dan anak. Apakah ada kehadiran dan komunikasi di sana? Apakah seorang anak sudah dibiasakan untuk membicarakan masalahnya dengan baik? Apakah ada yang menegurnya di rumah ketika ia pulang dengan wajah murung? Apakah orangtua mau duduk dan mendengarkan tentang kesehariannya serta berbagai cerita yang ia alami bersama teman-temannya?
ADVERTISEMENT
Kehadiran, mendengarkan, dan arahan dari orangtua akan membuat seorang anak yang menginjak remaja bisa lebih menyikapi permasalahan dengan lebih bijak.
Apabila semua hal ini tidak ada, maka remaja akan cenderung untuk bertindak sesuai dengan apa yang bisa ia pikirkan - survival mode on. Dalam kasus Audrey, remaja yang pada dasarnya belum memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan semua konsekuensi dengan baik, mengambil langkah pertahanan diri melalui bullying.
Ilustrasi perempuan saling mendukung satu sama lain. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Apakah kecenderungan bullying ini juga memiliki akar yang sama dari persaingan intraseksual yang sudah dijelaskan?
Ketika berbicara akar maka ada banyak faktor dari beberapa kemungkinan yang bisa menjadi penyebab. Beberapa hal tersebut di antaranya adalah persaingan intraseksual di mana bagian dari penyebab kasus Audrey adalah adanya sakit hati akibat kakak sepupu Audrey dianggap merebut pacar salah seorang pelaku. Kemudian perkembangan anatomi otak rasional yang belum sempurna pada remaja. Remaja usia 12-18 tahun, dalam tahapan perkembangan psikososial Erikson, sedang berada di tahap Identity VS Role Confusion. Di tahap ini, remaja berusaha untuk bisa fit in dalam lingkungan sosialnya sehingga ada kalanya ia mencoba berbagai gaya, tindakan yang lebih bisa mendapatkan persetujuan dari orang-orang di sekitarnya. Di usia ini, menjadi populer, menunjukkan kehebatan dan kemenangan menjadi bagian dari usaha untuk bisa diterima dalam lingkungan sosial.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kecenderungan perempuan pelaku bullying dan yang menerima perlakuan bullying ini di masa depan?
Perempuan pelaku bullying masih mungkin untuk terus melakukan cara yang sudah pernah ia lakukan sebelumnya, kecuali dalam kasus Audrey, di mana pelaku masuk ke ranah hukum, maka hal ini menjadi pukulan tersendiri terhadap rasa ‘menang’ paska bullying. Pukulan yang dimaksud bisa berupa rasa takut, malu, bahkan mungkin juga marah.
Bagi korban bullying tentunya perasaan takut, marah, tidak berdaya mungkin saja dirasakan. Tidak bisa dipastikan kecenderungan yang akan terjadi tentunya, kecuali ada data yang lengkap terkait bagaimana ia dibesarkan, bagaimana ia menghayati peristiwa penting dalam hidupnya, dan lain sebagainya.
Apa akibatnya jika seorang perempuan memiliki kecenderungan tinggi untuk selalu bersaing dan membandingkan dirinya dengan orang lain?
ADVERTISEMENT
Terdapat dua akibat, untuk diri sendiri, dan juga orang lain. Untuk diri sendiri, secara emosi tentunya dia tidak akan merasa damai karena ada kecemasan, bahwa ada orang lain yang dianggap lebih baik dari dirinya. Mungkin juga ada kemarahan karena sebenarnya ia tidak puas pada dirinya sendiri.
Secara fisik, iri hati ini berpengaruh terhadap peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan hormon adrenalin. Selain itu juga, iri hati menyebabkan kesulitan tidur (insomnia) yang akhirnya berakibat pada melemahnya imun sistem. Jadi, iri hati sebenarnya justru lebih banyak merugikan diri sendiri.
Akibatnya untuk orang lain, secara sosial, tentunya ketika seseorang selalu ingin bersaing akan membuat orang sekitarnya tidak nyaman, teman pun jadi berkurang.
Dan bagaimana dampak negatif jika seorang perempuan selalu mendapat celaan dari pihak lain dan sekitarnya?
ADVERTISEMENT
Pastinya ada rasa kecewa ketika tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan sosial, termasuk berpengaruh terhadap rasa percaya diri. Namun, sebenarnya hal ini bukan hanya berlaku untuk perempuan saja.
Dari sudut pandang neurobiology, sistem otak kita sudah diset sebagai makhluk sosial yang menangkap dengan jelas sinyal pada saat kita diterima atau ditolak oleh orang lain. Dukungan atau penolakan dari orang lain ini masuk sebagai reward (penghargaan) atau punishment (hukuman) ke dalam sistem otak kita. Dukungan yang masuk ke dalam kategori reward akan membuat seseorang termotivasi untuk bergerak lebih aktif lagi dalam mencapai tujuannya. Sedangkan penolakan yang masuk ke dalam kategori punishment, akan membuat seseorang merasa gelisah, takut, dan cemas sehingga rasa percaya dirinya menjadi lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Persaingan dan kebiasaan saling menjatuhkan antara perempuan juga sering terjadi di tempat kerja. Jika mengalami dilema seperti ini, apa yang seharusnya kita lakukan?
Persaingan tidak sehat tidak akan terjadi ketika perspektif seseorang dalam bekerja diarahkan pada tujuan bersama yang akan dicapai. Perspektif bagaimana kelebihan seseorang melengkapi yang lainnya, dan bagaimana kekurangan yang satu dibantu oleh yang lainnya akan dapat menciptakan suatu sinergi kerja yang baik.
Keterbukaan pikiran terhadap input yang diberikan oleh orang lain sebagai sarana untuk mengembangkan diri amat diperlukan. Di sisi lain, cara menyampaikan input secara asertif juga diperlukan sehingga orang lain yang mendengar bisa menerima input tersebut sebagai suatu input yang membangun.
Kemampuan untuk bisa memiliki perspektif ini secara lebih stabil memang tidak mudah, terutama bagi perempuan yang sistem otaknya memiliki lebih banyak kabel yang terhubung dengan otak emosi. Namun, bukan berarti perempuan tidak bisa melakukannya. Latihan kesadaran (mindfulness) setiap hari misalnya, bisa dilakukan untuk membuat fokus kita lebih baik pada apa yang terjadi di ‘sini dan kini’ sehingga lama kelamaan kita menjadi tidak terlalu reaktif terhadap opini yang disampaikan orang lain kepada kita. Selain itu, olahraga seperti yoga yang banyak mempengaruhi otak emosi juga baik dilakukan secara teratur untuk menjaga keseimbangan emosi.
Ilustrasi dukungan untuk perempuan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Saat ini makin banyak perusahaan yang mengembangkan bentuk support system bagi karyawan perempuannya melalui berbagai cara, seperti coaching dan mentoring. Apakah ini bisa menjadi tools tepat untuk menciptakan energi positif bagi sesama perempuan di tempat kerja?
ADVERTISEMENT
Support system di lingkungan kerja, memang memegang peranan besar dan akan menjadi lebih efektif ketika digunakan sesuai dengan karakteristik seseorang dan area pengembangan diri yang masih perlu ditingkatkan dari seorang perempuan karier. Intinya, bisa memilih tools-tools mana yang akan digunakan untuk mengembangkan seseorang.
Misalnya, mentoring akan menjadi sangat efektif ketika diaplikasikan kepada orang yang memerlukan arahan dalam frekuensi tinggi karena ia kurang terstruktur. Metode ini juga bisa dipakai untuk orang yang secara kapasitas pikir terbatas, sehingga memerlukan lebih banyak pola untuk membantunya mengeksekusi pekerjaan.
Sesi coaching dan counselling misalnya akan sangat bermanfaat juga bagi perempuan secara khusus, karena bisa menjadi wadah bagi mereka untuk mengekspresikan belenggu-belenggu yang disimpan selama ini secara verbal, sekaligus reflektif untuk bisa membantu mengarahkan mereka kembali pada tujuan yang hendak dicapai dalam pekerjaan tanpa warna emosi yang terlalu kental.
ADVERTISEMENT
Bagaimana menciptakan persaingan sehat dan kultur saling mendukung antar perempuan?
Prinsipnya, semua harus dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Pertama, melihat diri kita sebagai sosok yang unik, bukan menilai kekurangan kita dengan membandingkan dengan orang lain. Menyadari bahwa pada dasarnya tidak ada orang yang benar-benar apple to apple untuk dibandingkan, sehingga tiap kontribusi yang diberikan sekecil apapun bisa disikapi dengan apresiasi.
Kedua, adanya kerendahan hati untuk belajar dari setiap orang ketika memang belum menguasai sesuatu. Dan ketiga, memberikan kritik yang sifatnya membangun secara asertif tanpa disertai dengan emosi tertentu yang sifatnya agresif, misalnya.
Simak artikel lainnya mengenai Support System Untuk Perempuan pada topik #UntukPerempuan
#UntukPerempuan merupakan bagian dari kampanye Shopee Indonesia dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional dan Hari Kartini sebagai bentuk dukungan untuk perempuan di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten