Tren Dunia: Jam Kerja Kian Menyusut, Produktivitas Meningkat

6 Desember 2017 15:17 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Stres Bekerja (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Stres Bekerja (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Pada Desember 2015, masyarakat dunia dikejutkan dengan berita karyawan Dentsu yang bunuh diri karena stres akibat terlalu banyak lembur. Matsuri Takahashi, yang masih berusia 24 tahun, bunuh diri lantaran tidak tahan bekerja lembur selama 105 jam dalam satu bulan dan mengalami penindasan dari atasannya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya di Jepang, jam kerja yang lama plus beban kerja yang berat sering kali menghantui karyawan perusahaan di dunia. Padahal, produktivitas kerja tidak sama dengan jam kerja yang panjang.
Tampaknya, negara-negara di dunia patut belajar dari Jerman. Negara tersebut telah menerapkan aturan work life balance atau pembagian hidup-kerja yang seimbang dalam sistem perusahaan mereka.
Berdasarkan data Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Jerman menjadi salah satu negara dengan jam kerja paling rendah di dunia, yakni 1.363 jam per tahun. Ini berarti rata-rata jam kerja karyawan di Jerman tak lebih dari 40 jam per minggu.
Meski begitu, rendahnya jam kerja tak berarti produktivitas pekerja Jerman ikut menurun. Dilansir laporan majalah TIME, Jerman masuk ke dalam 10 besar negara dengan produktivitas tertinggi, dengan pencapaian produk domestik bruto sebesar 3.857 miliar dolar AS per tahun atau setara dengan Rp 52.158 triliun.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Jerman juga menjadi negara adidaya dalam bidang industri Eropa di mana mereka menjadi pionir ekspor manufaktur ke wilayah Asia.
Pertanyaannya, bagaimana sebuah negara dengan jam kerja hanya 35 jam per minggu, dengan rata-rata 24 hari libur per tahunnya, dapat menjadi negara dengan produktivitas sangat tinggi?
Pengecatan mobil Jerman, Volkswagen (Foto: Reuters/Tiksa Negeri)
zoom-in-whitePerbesar
Pengecatan mobil Jerman, Volkswagen (Foto: Reuters/Tiksa Negeri)
Ternyata, jam kerja yang rendah justru menjadi kunci dari produktivitas perusahaan maupun negara. Dilansir dari Salon, penelitian dari Business Roundtable menyebut bahwa pekerja tidak akan bisa produktif setelah bekerja lebih dari 6 jam per hari.
Maka dari itu, tidak mengherankan apabila banyak negara maju yang akhirnya memangkas jam kerja mereka justru untuk menambah produktivitas.
Perusahaan seperti KPMG yang bergerak di bidang audit pajak, dan Basecamp, perusahaan teknologi berbasis di Amerika Serikat telah mengadopsi kebijakan yang sama. Pun begitu dengan Swedia, yang awal 2017 lalu mewajibkan pegawainya bekerja 6 jam sehari.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya faktor apa saja yang melatarbelakangi dukungan terhadap pengurangan jam kerja?
Ilustrasi pekerja kantoran. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pekerja kantoran. (Foto: Pixabay)
Salah satu alasan mengapa jumlah jam kerja terus dikurangi adalah masalah kesehatan. Semakin tinggi jam kerja menyebabkan penurunan kesehatan tubuh para pegawai.
Mariana Virtanen, peneliti di Finnish Institute of Occupational Health, menemukan bahwa terdapat asosiasi antara bekerja terlalu lama dengan kemunculan gangguan tidur dan gejala depresi. Penelitian serupa juga menunjukkan adanya korelasi antara bekerja terlalu lama dengan penyakit Diabetes dan gangguan hati.
Dari situ, jam kerja yang pendek memberikan efek berkurangnya rasa stres yang dialami karyawan. Penelitian Nicholas Ashford dan Giorgosdari Kallis dari Massachusetts Institutes of Technology (MIT) menunjukkan bahwa seseorang dengan jam kerja lebih sedikit merasa lebih puas dengan hidupnya.
ADVERTISEMENT
Bekerja dengan waktu yang lebih sedikit juga memberikan kesempatan meluangkan waktu bagi karyawan untuk menjalani kehidupan pribadi mereka. Jerman, lagi-lagi, telah membuktikan hal itu. Bersama Belanda dan Amerika Serikat, Jerman didaulat menjadi negara dengan karyawan paling bahagia di dunia.
Jam kerja pendek justru lebih produktif? (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jam kerja pendek justru lebih produktif? (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Jam kerja yang terlalu panjang membuat seseorang memiliki kesempatan tidur lebih sedikit, memaksa jadwal makan yang tak teratur, dan kurangnya waktu untuk berolahraga. Ketiga faktor tersebut menjadi katalis bagi memburuknya kesehatan pegawai.
Tak hanya bagi para pekerja, tiga hal itu jelas mengurangi produktivitas di level bawah perusahaan. Pegawai cenderung lebih sering tidak masuk kerja dengan alasan sakit, meningginya upaya pindah pekerjaan, dan bertambahnya pengeluaran perusahaan untuk asuransi kesehatan.
Bekerja lebih lama juga dapat menimbulkan kelelahan dan menambah peluang berbuat kesalahan sewaktu bekerja. Ketika kita kelelahan, daya konsentrasi sebagai karyawan akan ikut turun. Akibatnya, efektifitas dan efisiensi kerja perusahaan jadi tak tercapai.
ADVERTISEMENT
Kondisi bekerja terlalu lama yang mengarah pada kesalahan karyawan telah muncul sejak abad ke-19 lalu. Di masa itu, pemilik pabrik membatasi jam kerja karyawannya menjadi 8 jam sehari. Ini dilakukan untuk mengurangi kesalahan atau kecelakaan pekerjaan yang muncul ketika pekerja dipaksa bekerja hingga belasan jam per hari.
Insiden Haymarket (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Insiden Haymarket (Foto: Wikimedia Commons)
Mengutip dari Salon, langkah mengurangi jam kerja sudah dipromosikan oleh Henry Ford sejak 1914. Setelah mengamati sistem kerja perusahaannya, bos utama dari perusahaan mobil Ford itu mengambil langkah radikal dengan menggandakan gaji karyawan dan memangkas jam kerjanya, dari 9 jam menjadi 8 jam per hari.
Lima tahun kemudian, para kompetitor dari Ford akhirnya mengambil langkah yang sama ketika melihat pesaingnya itu maju. Ford pun berikrar bahwa ketika perusahaan menginginkan para karyawannya untuk sehat, produktif, aman, dan efisien dalam bekerja, maka bekerja 40 jam per minggu dan 8 jam per hari adalah waktu yang ideal bagi karyawan.
Ilustrasi Ford (Foto: Reuters/Carlos Jasso)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ford (Foto: Reuters/Carlos Jasso)
Hal itu berlangsung hingga 2015, saat Swedia melakukan sebuah revolusi dengan memperkenalkan sistem kerja 6 jam per hari. Kebijakan itu diberlakukan bagi seluruh karyawan di semua lini pekerjaan, yang dianggap bisa menjadikan pekerja lebih efektif dan efisien. Pemangkasan yang dilakukan Swedia dinilai berhasil dengan berkurangnya tingkat stres karyawan dan berkurang pula jumlah tuntutan dari pegawai.
ADVERTISEMENT
Stres dan kelelahan pada karyawan memang dapat memicu masalah kesehatan, penurunan efiensi, dan kesalahan dalam pekerjaan. Maka dari itulah, untuk membuat pekerjaan lebih produktif dan efisien, dan membuat pekerja lebih sehat dan bahagia, jam kerja yang lebih sedikit merupakan jawaban.
=============== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!