Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0

ADVERTISEMENT
Di tengah maraknya pembahasan soal kecerdasan buatan (AI) dalam dunia industri, Aveva World 2025 memberikan pengingat penting: Teknologi tidak bisa berdiri sendiri tanpa manusia di baliknya.
ADVERTISEMENT
Pesan ini ditegaskan oleh Profesor Erik Brynjolfsson dari Stanford dalam sesi utama Aveva World pada Selasa (8/4). Menurutnya, AI seharusnya menjadi alat bantu yang memperkuat peran manusia, bukan menggantikannya begitu saja.
“Bukan AI yang akan menggantikan manajer. Tapi manajer yang tidak menggunakan AI, itulah yang akan tergantikan,” tuturnya di panggung Aveva World 2025 di Moscone Center, San Francisco, AS.
Pernyataan tersebut juga diamini oleh CEO Aveva, Caspar Herzberg. Menurutnya, meski AI semakin canggih, banyak hal dalam proses industri tetap membutuhkan naluri, penilaian, dan keputusan manusia.
Teknologi Tetap Butuh Kendali
Di balik layar, Aveva sudah mengembangkan berbagai alat bantu AI seperti Copilot dan predictive analytics untuk mempercepat proses dan mengurangi potensi kesalahan.
ADVERTISEMENT
Namun, SVP dan Head of Asia Pacific Aveva, Chris Lee, menekankan hasil AI tetap bergantung pada siapa yang mengajarinya.
“Kalau model AI-nya dilatih dengan data yang keliru, hasilnya juga tidak akan sesuai. Jadi, kontrol manusia tetap penting,” jelasnya dalam sesi wawancara eksklusif dengan kumparan.
Itulah sebabnya Aveva juga banyak berinvestasi dalam pelatihan ulang (reskilling) dan pendidikan teknologi, tidak hanya untuk karyawan internal, tapi juga mitra dan pelanggan di berbagai sektor industri.
AI dan Manusia Saling Lengkapi
Lee pun membagikan beberapa contoh dari kawasan Asia Tenggara, di mana teknologi dan manusia berhasil saling menguatkan.
“Pertamina berhasil menghemat sekitar 11 juta dolar AS dalam tiga tahun berkat integrasi AI dan Pi System untuk perawatan prediktif,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya Petronas memproyeksikan efisiensi hingga USD 33 juta dari implementasi AI dalam pengelolaan kinerja aset.
Sementara itu, SCG Thailand mampu memangkas waktu downtime dari 48 jam menjadi 20 jam lewat analitik data dan prediksi kegagalan mesin.
Namun, hasil itu tak hanya datang dari perangkat lunak canggih —tapi juga dari para manajer dan teknisi yang memahami data dan tahu kapan harus bertindak.
“AI bantu mereka melihat risiko lebih cepat. Tapi keputusan akhir tetap datang dari mereka yang tahu medan dan tanggung jawabnya,” ujarnya.
Dalam diskusi terpisah bersama media, Caspar kembali menegaskan bahwa industri ke depan tidak seharusnya memilih antara manusia atau mesin.
Justru, yang dibutuhkan adalah simbiosis —di mana manusia dan AI bisa saling melengkapi.
ADVERTISEMENT
“AI harus bisa menjelaskan kenapa ia mengambil keputusan tertentu. Dan manusia perlu memahami itu, lalu menentukan langkah selanjutnya,” kata Caspar.