Atlas Boy dan Imajinasi Astrid Sugandi: Kuliah Teknik Kimia, Tertambat di Cerita

24 Desember 2020 10:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Astrid Sugandi, salah satu pendiri Aaska Production selaku pihak yang memproduksi serial Atlas Boy Adventures. Foto: Aaska Productions
zoom-in-whitePerbesar
Astrid Sugandi, salah satu pendiri Aaska Production selaku pihak yang memproduksi serial Atlas Boy Adventures. Foto: Aaska Productions
ADVERTISEMENT
Kedamaian Pulau AHAHA tiba-tiba diganggu oleh awan kelabu. Anak berjubah peta Indonesia bernama Atlas Boy berusaha cari tahu apa yang terjadi di pulau itu. Dalam petualangannya memecahkan misteri ini, ia ditemani sahabatnya seorang anak perempuan berambut ikal bernama Daun, Elfie si gajah biru, dan sebuah gunung bermuka barong Bali bernama AHA.
ADVERTISEMENT
Cerita tersebut merupakan plot utama serial Atlas Boy Mini Adventures: Serangan Hantu Abu-abu, yang saat ini ditayangkan di platform streaming GoPlay. Seperti judulnya, ini adalah serial animasi singkat. Satu episode berdurasi antara 5 sampai 7 menit.
Meski pendek, kita bisa menemukan daya imajinasi dan cerita yang kuat di serial Atlas Boy. Mulai dari pertemanan manusia, gajah, dan gunung, hingga konflik yang bermula dari kerusakan lingkungan--semua disajikan dengan rapi.
Karakter fiksi dalam serial animasi Atlas Boy Adventures. Foto: Aaska Productions
Kisah Atlas Boy Adventures adalah wujud buah pikir Astrid Sugandi, founder dan CEO Aaska Productions, rumah produksi yang menciptakan serial animasi ini. Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan kumparanTECH, Astrid mengaku dirinya memang memiliki imajinasi yang ‘liar’.
Astrid sebenarnya tak punya latar belakang sebagai animator. Dia juga tak mahir gambar. "Gambarnya cuma stickman."
ADVERTISEMENT
Sejak lulus sarjana teknik kimia dari University of Melbourne, Australia, pada 2012 lalu, dia berkarier di industri perbankan. Astrid merasa tujuan hidupnya bukan di sana. Dirinya selalu terpanggil ke dunia cerita dan animasi. Semua bisa begini karena sejak kecil dan hingga sekarang, dia sungguh menyukai cerita, komik, buku, dan novel.
"Selain nulis diary, aku suka banget baca buku, baca komik, nonton kartun," kata dia. "Setiap kali merasa di sekolah enggak punya teman, di-bully sama teman-teman di sekolah, aku merasa kalau pulang aku punya teman. Biarpun teman-temanku itu fiksi, buatku mereka adalah sungguhan."
Astrid Sugandi dan Kartika Sandjojo di acara storytelling Atlas Boy Adventures di Museum Macan. Acara berlangsung sebelum pandemi corona. Foto: Dok. Aaska Productions
Komik Doraemon, Sailor Moon, dan novel Harry Potter, merupakan cerita yang mendefinisikan masa kecilnya. Ketiganya bagai cinta pertama bagi Astrid.
ADVERTISEMENT
"Itulah kenapa meskipun aku mengambil teknik kimia, hatiku akan selalu ada di cerita," jelas Astrid.
Panggilan diri ke dunia cerita membuat Astrid keluar dari dunia perbankan pada 2016. Selama satu tahun sejak keluar, ia memutuskan vakum sejenak sembari membantu bisnis keluarga dan menulis puisi di akun Instagram @astridsuu.
Saat memulai proyek pribadi menulis puisi di Instagram, dirinya sempat merasa takut. Tidak percaya diri. Tetapi, akhirnya dia berani untuk mempublikasi tulisan-tulisannya ke publik lewat Instagram, di mana teks ia kemas dalam format gambar.
"Sebelum itu, enggak ada yang tahu aku bisa menulis, karena memang tidak pernah dipublikasi. Sebelum itu aku kalau nulis selalu di buku sendiri."

Membangun Aaska Productions

Upaya untuk merealisasikan panggilan hidup pada dunia cerita dimulai di 2017. Astrid tertarik dengan karya ilustrasi sahabatnya di Instagram, Kartika Sandjojo. Mereka berdiskusi, sepakat membuat animasi anak, di mana Astrid menjadi penulis cerita, Kartika sebagai animator.
ADVERTISEMENT
Setahun kemudian, Astrid dan Kartika resmi mendirikan Aaska Productions. Cerita petualangan Atlas Boy akhirnya mulai dirilis pada 2018. Namun, karena waktu itu masih kekurangan pengalaman untuk memproduksi animasi video, mereka membuat Atlas Boy dalam medium buku.
Di tahun yang sama, Aaska mulai bekerja sama dengan GoPlay untuk menayangkan program pilot animasi Atlas Boy di platform streaming kepunyaan Gojek itu. Namun, kata Astrid, karena beberapa kendala, mereka urung merilis debut video animasi Atlas Boy di GoPlay pada 2018.
Justru, debut video animasi Atlas Boy pertama kali diluncurkan Aaska di YouTube pada awal 2019. Setahun berselang, setelah mendapatkan popularitasnya lewat YouTube, Atlas Boy kemudian memulai miniseries-nya di GoPlay pada September 2020.
CEO GoPlay, Edy Sulistyo, dalam sebuah diskusi dengan kumparanTECH, mengatakan bahwa pihaknya memang punya misi untuk mendorong konten lokal dan kreator lokal. Segenap cara dilakukan untuk mendorong hal itu, dan salah satunya dengan menjalin kemitraan untuk Atlas Boy.
ADVERTISEMENT

Animasi sebagai edukasi

Imajinasi 'liar' yang dimiliki Astrid kemudian dipadupadankan dengan edukasi. Di dalam cerita Atlas Boy, misalnya, Astrid dan tim hendak menggambarkan bahwa polusi udara bisa menghapus ketentraman dan menutupi keindahan Pulau AHAHA yang berwarna-warni.
Animasi baginya bukan sekadar hiburan. Animasi bisa menjadi medium pemicu daya berpikir kritis (critical thinking) bagi anak-anak.
"Saya selalu percaya edukasi enggak cuma di sekolah," kata Astrid. "Karena anak-anak (ketika di rumah) itu enggak bisa menghafal, membaca, belajar kayak di sekolah. Mereka itu kalau pulang maunya have fun, enjoy. Why not konten-konten yang kita kasih ke mereka juga bermakna? Jadi, enggak cuma yang noise, kosong gitu, tapi cerita-cerita fun tapi punya pesan yang bagus."
ADVERTISEMENT
Pandangannya dalam melihat animasi sebagai medium edukasi didapatkan dari komik Doraemon. Cerita ini tidak cuma soal robot yang bisa mengabulkan semua keinginan seorang anak SD. Komik karangan Fujiko F. Fujio itu sering memberikan pembacanya informasi yang bersifat edukasi, mulai dari macam-macam dinosaurus, hingga astronomi.

Promosi budaya Indonesia ke dunia

Meski saat ini baru rilis di GoPlay, popularitas Atlas Boy sebenarnya telah disadari di luar Indonesia. Melalui cerita tersebut, Aaska Productions sempat mewakili Indonesia dalam Asian Animation Summit 2020 di Korea Selatan. Di sana, cerita Atlas Boy ditampilkan di depan pelaku industri animasi tingkat Asia.
ADVERTISEMENT
Jika diperhatikan, sebenarnya Atlas Boy tak memuat cerita khas Indonesia. Hal tersebut diamini oleh Astrid.
Namun, ketiadaan cerita khas itu tak melunturkan budaya Indonesia dari cerita Atlas Boy di hadapan dunia. Sebagai gantinya, Aaska Productions mengubah representasi budaya Indonesia itu dari cerita ke karakter-karakter di dalam Atlas Boy.
"Visi kita untuk Atlas Boy ini terinspirasi oleh Indonesia, tapi punya cerita yang anak-anak dari semua negara bisa nyambung saat nonton," kata Astrid.
Foto tim Aaska Productions. Foto: Dok. Aaska Productions
Karakter-karakter yang ada di dalam cerita Atlas Boy memang merepresentasikan Indonesia. Atlas Boy sendiri, misalnya, punya jubah yang bermotif peta Indonesia. Adapun Daun digambarkan dengan karakteristik khas perempuan Indonesia di bagian Timur. "Dia kostumnya (juga) kain Sumba," kata Astrid.
ADVERTISEMENT
Awan kelabu sebagai 'hantu' di miniseries Atlas Boy terinspirasi dari Megamendung. Lalu juga ada AHA, yang merepresentasikan banyaknya gunung berapi di Indonesia, dengan wajah barong Bali.
"Hal-hal kecil semacam itu yang kita masukkan dalam properti intelektual Atlas Boy kita," kata Astrid. "Mungkin kalau orang pertama kali nonton, nggak langsung tahu itu Indonesia. Tapi, kalau dianalisa lebih, mereka tahu itu Indonesia. Dan itu yang menurut aku membuat properti intelektual kita unik."
Selain di GoPlay, Atlas Boy sebenarnya juga ditayangkan di aplikasi streaming Migo. Di luar platform streaming digital, cerita ini juga mulai membuka kemungkinan untuk hadir di TV lokal.
Bagi Astrid, dunia animasi Indonesia sebenarnya sedang mulai berjaya. Keberadaan platform streaming seperti GoPlay hingga Netflix membuka peluang animator lokal untuk memasarkan karyanya. Yang terpenting, kata Astrid, animator lokal perlu membekali diri dengan model bisnis dan memperluas jaringan mereka terhadap pelaku industri animasi lain.
ADVERTISEMENT
"Animasi lokal itu lagi mulai-mulainya berjaya," kata Astrid. "Broadcaster internasional itu sudah melirik Asia Tenggara, khususnya Indonesia, karena populasi kita besar banget, salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia."