Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Surga di telapak kaki ibu.
Adagium itu adalah segalanya buat Setyanto Hantoro , sosok di balik kemudi Telkomsel. Bagi direktur utama operator seluler terbesar di Indonesia itu, ibu adalah kunci kesuksesan. Ia bahkan menyebut seorang ibu sebagai “wakil Tuhan di dunia.”
Sebagai “wakil Tuhan”, restu ibu adalah rida Tuhan. Itulah yang diyakini Setyanto.
Restu ibu pula yang menurut Setyanto mendaratkannya pada jabatan Dirut Telkomsel sejak pertengahan Januari 2020—dan ia menyebutnya sebagai suatu “kebetulan”.
“Saya menjadi CEO Telkomsel bukan karena saya paling pandai, paling pekerja keras, atau paling pintar berstrategi. Bukan. Kebetulan saja saya terima SK sebagai Direktur Utama Telkomsel,” ujar pria 47 tahun itu.
“Kebetulan” itu, menurutnya, sudah tentu tak lepas dari rida Allah. Oleh sebab itu, ia harus berbuat yang terbaik sebagai seorang CEO.
Meski Setyanto mengatakan posisinya di pucuk pimpinan Telkomsel adalah “kebetulan”, industri telekomunikasi sama sekali bukan barang baru baginya. Ia sudah banyak makan asam garam. Kariernya bahkan terbentuk sejak ia menjejakkan kaki di bangku kuliah.
Setyanto mengenyam pendidikan di STT Telkom (kini Telkom University) yang memang didirikan untuk menggembleng ahli-ahli telekomunikasi. Lulus awal 1996, ia bergabung dengan unit Research and Development Center Telkom Bandung selama 6–7 tahun sebelum kemudian berkesempatan mengambil studi magister bidang finansial.
Setelahnya, ia bergeser ke unit Corporate Planning Telkom. Di situlah Setyanto kian ditempa. “Saya bisa melihat perusahaan secara helicopter view—in every aspect of operation … Saya mulai berkembang, membicarakan portofolio manajemen di industri telekomunikasi, dan seterusnya.”
Setyanto memang bertumbuh di Telkom Group. Setelah lama di Telkom Bandung, ia berpindah ke pusat, lalu sempat menjadi CEO PT Multimedia Nusantara (TelkomMetra)—anak usaha Telkom—sebelum akhirnya memimpin Telkomsel.
Setyanto Hantoro tak main-main menakhodai Telkomsel.
“Sebagai CEO, bukan berarti saya lebih pandai dan pekerja keras dari yang lain. Kami sama—anak buah kapal dalam kapal besar Telkomsel,” katanya.
Sebagai pemimpin, ia harus menentukan arah dan berani mengambil risiko. Sebuah keputusan yang diambil harus diukur dampaknya pada keberlanjutan bisnis serta para pemangku kepentingan; pelanggan, korporasi, mitra, karyawan, hingga pemegang saham.
Pada akhirnya nanti, ujar Setyanto, keputusan harus diambil sendiri oleh pemimpin, menggunakan segala pertimbangan dan background yang ia miliki. “Di situlah dibutuhkan integrity and walk the talk.”
Prinsip 3C: Cengli, Cuan, Cincai
Setyanto memegang falsafah China dalam menjalankan bisnis perusahaan: cengli, cuan, dan cincai (3C). Prinsip dipegang untuk menciptakan sebuah perjalanan bisnis yang berkelanjutan, menguntungkan pihak-pihak yang terlibat.
“Kita harus membuat keputusan yang benar—secara logika, regulasi, bisnis, maupun teknis. Kalau dilakukan dengan benar, pasti mendatangkan cuan.”
“Cuan belum tentu (dan bukan hanya) uang, tapi juga keuntungan untuk masyarakat dan pelanggan (selain perusahaan).”
“Kalau bisnis mau sustain, keuntungan dibagi-bagi dengan partner … Kalau mau jalan jauh, harus jalan sama-sama—kolaborasi.”
Kolaborasi untuk Terus Bergerak Maju di Tengah Pandemi
Kolaborasi jadi kunci bagi Telkomsel untuk terus bergerak maju. Di sisi lain, ada pula kompetisi. Setyanto menyebutnya dengan koopetisi.
Antarpemain industri telekomunikasi perlu berkolaborasi dalam mengadopsi teknologi digital guna bersama-sama menyamaratakan pembangunan di seluruh Indonesia. Kompetisinya, dalam hal ini memberi layanan terbaik kepada pelanggan sehingga setiap pelanggan memiliki kebebasan atau mempunyai banyak pilihan atas layanan terbaik.
“Kami melakukan banyak sekali kolaborasi. Kami telco, ahli di digital connectivity, dan harus bekerja sama sebanyak mungkin dengan digital platform dan service provider. … Ini akan mendorong pemanfaatan teknologi digital yang menguntungkan semua pihak,” kata Setyanto.
Pembangunan base transceiver station Telkomsel yang telah menjangkau 95 persen populasi Indonesia menunjukkan peran pentingnya dalam pemerataan infrastruktur telekomunikasi hingga ke pelosok negeri.
Di tengah pandemi COVID-19, anak perusahaan Telkom ini bahkan berkomitmen untuk menambah 25 ribu unit BTS hingga akhir 2020, dengan pemerataan akses broadband (koneksi internet berkecepatan tinggi) di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) Indonesia; serta penguatan jaringan di area residensial.
Dengan begitu, tutur Setyanto, masyarakat di wilayah 3T akan mendapatkan pengalaman digital yang makin setara dengan masyarakat perkotaan, terutama dalam proses pembelajaran jarak jauh para siswa.
Untuk semakin memudahkan PJJ (pembelajaran jarak jauh), Telkomsel juga menghadirkan paket Kuota Belajar seharga Rp 10 yang dapat digunakan untuk mengakses berbagai aplikasi edukasi digital dan ratusan e-learning sekolah/kampus di Indonesia, serta untuk melakukan pembelajaran virtual.
“Upaya kolaboratif bersama seluruh pemangku kepentingan akan terus kami dorong sebagai bagian dari komponen bangsa Indonesia yang terus bergerak maju,” ujar Setyanto.