Dua Cara Penyadapan: Tactical dan Lawful Interception

2 Februari 2017 10:40 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Penyadapan (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penyadapan (Foto: Pixabay)
Kasus penyadapan kembali jadi perbincangan hangat di Indonesia setelah Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, mengklaim dirinya telah disadap dalam percakapan telepon dengan mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kyai Haji Ma'ruf Amin yang dilakukan pada 7 Oktober 2016.
ADVERTISEMENT
Menurut pria yang akrab disapa SBY ini, jika benar dirinya disadap, maka itu adalah tindakan ilegal dan ia meminta kasus ini diusut secara tuntas.
Klaim SBY membuat masyarakat bertanya-tanya, sebenarnya bagaimana metode melakukan penyadapan itu?
Pakar kriptografi sekaligus Chairman Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, berkata sebenarnya semua sistem telekomunikasi di dunia pada intinya bisa disadap.
"Apapun itu mau menggunakan telepon seluler, telepon Telkom, radio, satelit, fiber optik, internet, apapun bisa disadap. Itu poin pentingnya," ujar Pratama ketika dihubungi kumparan, Rabu (1/2).
Menurut Pratama, ada dua metode untuk melakukan penyadapan, yaitu tactical dan lawful interception. Penyadapan tactical bisa dilakukan dengan beberapa cara seperti mendekati lokasi target, kemudian alat khusus dipasang dan ketika target melakukan komunikasi, maka informasi itu bisa diambil. Sementara lawful interception, adalah penyadapan melalui operator seluler dan dilakukan secara resmi lewat jalur hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam penyadapan tactical, ada tiga sistem penyadapan yang disebut penyadap aktif, hibrid, dan pasif.
"Kalau aktif, dia (penyadap) bisa melakukan take over sinyal dan memodifikasi isinya. Kalau hibrid itu 50-50, bisa aktif atau pasif, tapi jangkauannya tidak terlalu besar. Sementara yang pasif, dia (penyadap) bisa melakukan penyadapan full semua komunikasi dalam satu BTS (Base Transceiver Station) dan diambil semua," papar Pratama.
Berbeda dengan metode tactical, penyadapan lawful interception tidak perlu seperti itu. Penyadap hanya perlu tahu nomor telepon dari target yang kemudian bisa disadap melalui operator telekomunikasi. Biasanya, penyadapan melalui operator dilakukan berdasarkan permintaan pihak penegak hukum.
SBY berikan klarifikasi soal kasus Ahok. (Foto: Dok. Wikimedia/World Economic Forum)
zoom-in-whitePerbesar
SBY berikan klarifikasi soal kasus Ahok. (Foto: Dok. Wikimedia/World Economic Forum)
Dalam prosedur permintaan data intersepsi secara resmi, perusahaan telekomunikasi XL Axiata menyatakan hal ini sudah tertuang dalam undang-undang yang berlaku dan pihaknya menyatakan selalu siap untuk memenuhi kebutuhan data yang diminta aparat penegak hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, XL menambahkan operator tidak mengetahui data siapa yang diminta oleh aparat karena mereka tidak memiliki kewenangan untuk mengetahui proses tersebut.
Operator telekomunikasi sejatinya memiliki sistem bernama Call Data Record (CDR) yang menyimpan panggilan telepon atau kiriman pesan dari para pelanggannya. Data ini yang biasanya diandalkan perusahaan telekomunikasi untuk memenuhi permintaan penegak hukum soal intersepsi.
Pratama berpendapat, masalah besar dari isu penyadapan taktis adalah ketika orang rela membeli dan menguasai operasional alat penyadapan yang canggih. Ini menurutnya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki banyak uang, karena harga alat yang canggih bisa mencapai puluhan miliar rupiah.
"Sekarang sudah banyak dijual alat penyadap dengan harga sangat mahal. Alat ini bisa digunakan untuk melakukan penyadapan seluler, baik 2G maupun 3G. Menyadap ini sudah seperti orang membuat teh, saking mudahnya melakukan penyadapan," ungkap Pratama.
ADVERTISEMENT
Ia mengimbau pemerintah harus mulai memerhatikan aksi penyadapan karena menurut hukum yang berlaku, penyadapan hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk menuntaskan sebuah kasus hukum.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, menjelaskan bahwa aksi penyadapan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk beberapa kategori kasus kejahatan, yaitu korupsi, terorisme, narkotika, psikotropika, tindak pidana perdangan orang, dan tindak pidana pencucian uang.
"Pada dasarnya penyadapan dilarang, unlawfull, karena melanggar atas privacy. Tetapi kemudian demi keamanan nasional, demi penegakan hukum, maka itu (penyadapan) boleh dilakukan oleh institusi yang memiliki wewenang menurut Undang-Undang," jelas Wahyudi.
Dalam aturan yang berlaku, di Indonesia ada beberapa lembaga yang bisa melaksanakan intersepsi. Dalam ruang aparat keamanan nasional, lembaga yang diizinkan melakukan penyadapan adalah Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Badan Intelijen Kepolisian, Intelijen Kejaksaan Agung, dan Intelijen Kementerian atau Lembaga.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk ruang aparat penegak hukum, yang bisa melakukannya adalah Kejaksaan Agung, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, Pejabat Penyidik Kepolisian, dan Penyidik Oditur.