Facebook, Twitter dkk Gagal Hapus 90 Persen Konten Islamofobia

8 Mei 2022 11:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi media sosial Twitter. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi media sosial Twitter. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, dan TikTok diketahui telah gagal menindak hampir 90 persen konten anti-Muslim dan Islamofobia di platform mereka.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian yang dilakukan Center for Countering Digital Hate (CCDH), ada 530 postingan berisi konten yang tidak manusiawi terhadap Muslim dengan kategori beragam seperti karikatur rasis, konspirasi, dan klaim palsu.
Melansir The Independent, postingan-postingan yang telah dilihat 25 juta kali di Instagram itu dilaporkan menggambarkan Muslim sebagai babi dan menyerukan pengusiran mereka dari Eropa, membandingkan Islam dan kanker yang harus “diobati dengan radiasi” pada foto ledakan atom.
Sedangkan di Twitter, beredar cuitan yang mengeklaim migrasi Muslim merupakan bagian dari plot untuk mengubah politik negara lain. Selain itu, CCDH juga menemukan beberapa tagar sensitif yang beredar, seperti #deathtoislam, #islamiscancer dan #raghead.

Tak ada tindakan tegas terhadap konten kebencian yang beredar

Ilustrasi Facebook dan Twitter. Foto: Thomas White/Reuters
CCDH melaporkan, dari 125 postingan yang diunggah ke Facebook hanya 7 postingan saja yang ditindaklanjuti. Sementara di Instagram, dari 227 postingan hanya 32 yang ditindaklanjuti, 50 postingan di TikTok dengan 18 yang ditindaklanjuti, 105 di Twitter dengan hanya tiga yang ditindaklanjuti. Sedangkan di Youtube, dari 23 video yang dilaporkan tak ada satu pun yang ditindaklanjuti.
ADVERTISEMENT
Media sosial ciptaan Mark Zuckerberg, Facebook, juga menjadi tuan rumah dari berbagai berbagai kelompok yang didtuding menyebar Islamofobia, dengan nama-nama seperti “ISLAM berarti Terorisme”, “Hentikan Islamisasi Amerika”, dan “Boikot Sertifikasi Halal di Australia”.
Banyak dari kelompok ini memiliki ribuan orang di dalamnya, dengan total 361.922 anggota, terutama di Inggris, AS, dan Australia. Diketahui semua grup ini masih aktif meskipun telah dilaporkan ke Facebook.
Ilustrasi menggunakan sosial media. Foto: Shutter Stock
Para peneliti juga mengidentifikasi 20 posting yang menampilkan teroris Christchurch, di mana hanya 6 yang ditindaklanjuti —padahal ketiga media sosial teranyar tersebut membuat komitmen publik untuk menghapus konten teroris dan ekstremis.
Standar komunitas Facebook melarang “serangan langsung terhadap orang atas dasar... ras [atau] etnis”, seperti halnya Instagram. Twitter menyatakan bahwa pengguna “tidak boleh mempromosikan kekerasan terhadap atau secara langsung menyerang atau mengancam orang lain berdasarkan ras, etnis [dan] asal negara”.
ADVERTISEMENT
Sedangkan YouTube menyatakan bahwa “ucapan kebencian tidak diizinkan di YouTube”, dan TikTok “tidak mengizinkan konten yang berisi ujaran kebencian atau melibatkan perilaku kebencian, dan kami menghapusnya dari platform kami.”
Dalam sebuah pernyataan kepada The Indepedent, Menteri Komunitas dan Kesetaraan Britania Raya, Kemi Badenoch, mengatakan bahwa perusahaan media sosial seharusnya mengambil tindakan lebih terhadap segala bentuk kebencian.
Rasisme terhadap Muslim bukan satu-satunya ujaran kebencian yang lolos dari jaring moderasi perusahaan media sosial. The Independent menemukan bahwa teori konspirasi antisemit masih mendapatkan jutaan tampilan dalam laporan dari Oktober 2020, meskipun platform melarang informasi yang salah tentang orang Yahudi.
Pada tahun yang sama, para peneliti menemukan bahwa posting dan halaman Facebook yang menyebarkan fasisme sedang “disarankan secara aktif” oleh algoritmanya. Sebagai tanggapan, Facebook mengatakan sedang memperbarui kebijakan dalam membendung informasi berisi ujaran kebencian.
ADVERTISEMENT