Fakta-fakta Buzzer di Indonesia: Komersial, Politik, dan Citra Negatif

1 November 2017 8:33 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi media sosial (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi media sosial (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Fenomena buzzer di media sosial sudah sejak lama dirasakan oleh para netizen Indonesia. Puncaknya, momen-momen politis seperti Pemilu Presiden 2014 menjadi ajang para buzzer untuk mempengaruhi pandangan para pengguna media sosial.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya era media sosial sekarang ini membuat para buzzer jadi laris manis untuk dipesan jasanya, mengingat kemampuan media sosial yang dapat menjangkau orang secara luas dan cepat.
Tapi, sejak awal mula menjadi tren di media sosial, pandangan masyarakat terhadap buzzer sendiri perlahan berubah. Pandangan ini berubah berdasarkan sikap si buzzer dalam berpendapat yang mungkin bisa menciptakan sebuah pembicaraan panas, debat panjang, sampai dengan perang twit.
Bagaimana kondisi fenomena buzzer sekarang? Lembaga riset independen CIPG (Centre for Innovation Policy and Governance) melakukan riset terkait hal ini dan menemukan beberapa fakta. Berikut pemaparannya:
1. Dua motif yang menggerakkan buzzer adalah sukarela atau komersial
CIPG mengungkapkan, buzzer terbentuk melalui dua proses, yaitu secara organik dan didorong oleh permintaan pasar. Dan untuk motifnya mereka melakukan buzzing, ada dua motif yang menjadi karakter umum dari buzzer.
ADVERTISEMENT
Motif pertama adalah komersial, yang ditandai dengan aliran dana. Dalam hal ini buzzer akan diminta untuk mempromosikan produk tertentu di akun media sosialnya. Selain mempromosikan produk, buzzer juga bisa diminta untuk menggerakkan isu tertentu.
Kemudian motif kedua adalah sukarela, di mana buzzer didorong oleh ideologi atau rasa kepuasan tertentu terhadap suatu produk atau jasa. Dalam motif ini buzzer tidak mendapatkan bayaran dari unggahannya, melainkan berasal dari hati dan keinginannya sendiri.
2. Istilah buzzer kini berkonotasi negatif
Semula, buzzer yang diartikan sebagai sosok yang menyebarkan pesan tertentu kepada orang banyak, identik dengan komersial dan merupakan istilah yang netral. Namun, sekarang buzzer malah dipandang negatif. Banyaknya keterlibatan buzzer dalam hal-hal politik saat ini menimbulkan perspektif seperti demikian dari masyarakat yang sudah melek digital.
ADVERTISEMENT
Menurut CIPG, buzzer punya jaringan luas, mampu menciptakan konten sesuai konteks, cukup persuasif, dan digerakkan oleh motif tertentu.
3. Berperan membuat trending topic di Twitter
Buzzer memiliki peran untuk membuat noise sebagai pemicu agar orang-orang mengarahkan perhatian pada isu/topik tertentu. Kesuksesan menarik perhatian dari buzzer dapat dilihat dari kemampuan mereka menciptakan topik tertentu menjadi trending topic di Twitter.
Strategi yang dipakai oleh buzzer untuk melakukan ini adalah dengan berkicau menggunakan tagar unik dan berupaya membangun percakapan, baik alami maupun rekayasa.
Riset CIPG juga mencatat bahwa buzzer kerap membuat atau memanfaatkan situs berita untuk meningkatkan kredibilitas kontennya atau gagasannya. Aplikasi pesan seperti WhatsApp dan Telegram juga dimanfaatkan buzzer untuk menyebarkan kontennya.
ADVERTISEMENT
4. Masuknya partai dan kandidat politik telah mengubah lanskap industri buzzer di Indonesia
Profesi buzzer kini bukan lagi identik dengan orang atau kelompok yang turut mempromosikan produk/jasa dengan cara yang halus. Istilah buzzer juga mengarah kepada mereka yang turut mendorong atau menggerakan suatu gagasan politik demi kepentingan golongan atau lembaga.
Menurut CIPG, saat ini setidaknya ada tiga pemain utama dalam industri buzzer, yakni klien yang terdiri dari korporasi dan partai/kandidat politik, agensi komunikasi sebagai perantara, dan buzzer itu sendiri. Ketika buzzer kerap jadi fokus pemberitaan, peran klien dari partai/kandidat politik dan agensi komunikasi sering luput dari sorotan.
Padahal, CIPG memaparkan industri buzzer di Tanah Air tumbuh dengan aliran dana dari partai/kandidat politik. Sementara agensi komunikasi dapat meraup untung dengan menggerakkan buzzer untuk menyerang dan menjatuhkan kompetitor klien dengan menyebar hoax.
ADVERTISEMENT
5. Buzzer punya jenjang popularitas
Menurut seorang anggota agensi periklanan yang diwawancarai oleh CIPG, buzzer juga punya jenjang karier yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu tier one, tier two, dan tier three.
Jenjang itu dibedakan berdasarkan eksistensinya, jumlah followers, dan engagement. Sumber itu menjelaskan, engagement maksudnya adalah ketika si buzzer mem-posting satu konten, itu dilihat berapa banyak yang likes, komentar, lalu disimpulkan apakah komentarnya related dengan postingan si buzzer.
Untuk pola rekrutmennya sendiri, CIPG mengumumkan biasanya agensi komunikasi itu memetakan dan mencari langsung akun buzzer yang sesuai dengan kebutuhannya. Kini, ada platform seperti Sociobuzz dan Go-Viral yang membantu pendekatan ke buzzer.
Cara lain adalah agensi komunikasi akan membuka lowongan untuk menjadi buzzer produk atau isu tertentu.
ADVERTISEMENT