Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Indonesia Posisi Pertama Sumber Video Penyiksaan Hewan di Medsos
26 Agustus 2021 14:11 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Indonesia menjadi pusat konten video penyiksaan hewan di media sosial (medsos), menurut laporan organisasi kesejahteraan hewan Asia For Animals Coalition. Ribuan konten video kekerasan terhadap hewan yang diunggah dari Indonesia ini berseliweran di berbagai medsos, mulai dari Facebook, YouTube, hingga TikTok.
ADVERTISEMENT
Konten video penyiksaan hewan ini termasuk bayi monyet yang dikubur hidup-hidup atau disiksa, anak kucing diinjak atau dibakar, orang memakan hewan hidup, hingga video anak anjing dan bebek yang dihancurkan sampai mati oleh ular.
“Kami mendokumentasikan rekaman mengejutkan dari individu hewan liar yang dipelihara sebagai hewan peliharaan dan berulang kali dilecehkan di depan kamera. Anak kucing dan hewan muda lainnya dibakar saat pembuat film tertawa,” kata peneliti dalam laporannya.
“Penguburan langsung, penenggelaman sebagian, pemukulan dan siksaan psikologis juga didokumentasikan.”
Asia For Animals Coalition mencatat bahwa 1.626 dari 5.480 konten penyiksaan hewan di dunia berlokasi di Indonesia. Catatan kelam ini ditambah dengan 1.569 dari 5.480 konten penyiksaan hewan di-upload dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dengan catatan ini, Indonesia menduduki peringkat pertama negara penghasil konten penyiksaan hewan di medsos, jauh lebih tinggi dari AS (296 konten), Australia (135 konten), dan negara lainnya.
Untuk mencari tahu sumber lokasi dan negara tempat upload video penyiksaan hewan, para peneliti Asia For Animals Coalition pertama-tama mengumpulkan konten yang tersedia di domain publik. Setelah itu, tim menganalisis sumber lokasi melalui sejumlah keterangan yang tersedia, termasuk negara spesifik user, bahasa yang dipakai di video, bahasa yang muncul di latar belakang video, hingga nama akun pengguna.
Peneliti menyebut bahwa dari 5.480 video yang dikumpulkan, sebanyak 1.683 video tidak dapat diketahui di mana tempat diambilnya. Untuk kategori lokasi upload, 2.232 video tidak terdaftar dengan negara atau wilayah apapun.
ADVERTISEMENT
“Kami juga harus menekankan bahwa data kami dikumpulkan melalui pengambilan snowball sampling dan hanya dengan konten yang tersedia di domain publik. Harap pertimbangkan juga bahwa 'lokasi' sering salah dinyatakan oleh pengguna,” ujarnya dalam laporan.
Bagaimanapun, peneliti menegaskan bahwa masalah konten kekerasan terhadap hewan tak memiliki batasan negara. "Konten kekejaman terhadap hewan adalah masalah global di mana pun konten itu dibuat, diunggah, atau dibagikan, dan media sosial memiliki sedikit batasan," tambah peneliti.
Facebook, YouTube, dan TikTok dapat cuan dari video penyiksaan hewan
Peneliti mengungkap bahwa 5.480 video yang mereka kumpulkan telah ditonton lebih dari 5,3 miliar kali di berbagai platform medsos. Salah satu video penyiksaan hewan bahkan telah ditonton lebih dari 1 miliar kali, sedangkan video yang lain rata-rata disaksikan dari jutaan hingga ribuan kali.
ADVERTISEMENT
Video-video penyiksaan hewan ini berseliweran di medsos disebut peneliti sebagai hiburan yang tidak etis. Analisis data menunjukkan bahwa produsen video bisa menjadi hampir “seperti selebriti” untuk mendapatkan jutaan followers, menurut Asia For Animals Coalition. Peneliti mencatat bahwa kekerasan terhadap hewan dilakukan secara intensional di lebih dari 4.000 konten video yang mereka kumpulkan.
Para periset pun menduga platform media sosial mendapatkan pemasukan dari konten penyiksaan hewan.
“Organisasi anggota SMACC Lady Freethinker memperkirakan bahwa dalam video yang dicatat selama tiga bulan pada tahun 2020, YouTube memperoleh hingga 12 juta dolar AS dari berbagi video pelecehan hewan, dengan pembuat konten sendiri menghasilkan hampir 15 juta dolar AS,” kata laporan tersebut. SMACC atau Social Media Animal Cruelty Coalition merupakan koalisi yang dibentuk Asia For Animals Coalition untuk menelusuri konten penyiksaan hewan di medsos.
ADVERTISEMENT
Peneliti menyebut bahwa YouTube memiliki video penyiksaan hewan paling banyak. Namun, hal tersebut bukan menjadi bukti platform medsos lain berhasil mengatasi kekerasan terhadap hewan. Instagram, misalnya, mengizinkan pengguna untuk share video dan gambar kekerasan terhadap hewan.
Periset juga menyebut bahwa konten video kekerasan hewan mungkin lebih banyak ketimbang yang mereka kumpulkan. Hal tersebut dimungkinkan karena penelusuran tim peneliti hanya didasari pada video yang ada di domain publik.
YouTube dan Facebook, misalnya, mengizinkan adanya grup privat yang terenkripsi sehingga memungkinkan konten kekerasan hewan dibagikan tanpa terdeteksi.
Dugaan ini pun terbukti lewat penelusuran tim SMACC. Pada 6 Agustus 2021 lalu, peneliti berhasil menyusup ke grup privat pembenci hewan di YouTube yang membagikan video penyiksaan kera dan monyet.
“Monyet-monyet tersebut dilaporkan ditangkap di pulau Jawa, Indonesia, dan orang-orang yang melakukan dan merekam penyiksaan dan pelecehan tersebut menerima pembayaran melalui PayPal,” jelas Lady Freethinker dalam laporannya.
ADVERTISEMENT
“Catatan obrolan menunjukkan anggota saat ini telah secara aktif merekrut anggota grup baru melalui YouTube dengan menjangkau mereka yang telah menyatakan kegembiraan mereka atas penyiksaan monyet di bagian komentar video yang di-posting di situs.”
Laporan Asia For Animals Coalition mengatakan bahwa video penyiksaan monyet sering diambil di Indonesia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand. Meski demikian, penonton video-video kejam ini berasal dari seluruh dunia.
Penyiksaan hewan dan kebijakan medsos
Di masa lalu, platform media sosial bersikeras bahwa mereka tidak mengizinkan konten berisi kekejaman dan akan menghapus konten yang melanggar pedoman mereka.
Namun, peneliti mengatakan bahwa mereka telah melihat video penyiksaan hewan di medsos tetap ditayangkan meskipun telah dilaporkan beberapa kali. Channel penyebar konten penyiksaan hewan yang telah ditutup juga ditemukan muncul kembali dengan kedok yang berbeda.
ADVERTISEMENT
“Eksploitasi satwa liar terjadi dalam skala yang sangat besar, berdampak pada kesejahteraan miliaran individu hewan. Kita harus memanggil perusahaan yang terlibat dalam eksploitasi ini dan mendesak mereka untuk bertanggung jawab atas solusi,” ungkap Nick Stewart, peneliti dari World Animal Protection.
Hingga saat ini, YouTube dan Facebook belum memberikan komentar atas laporan Asia For Animals Coalition. Sedangkan TikTok berjanji untuk menegakkan pedoman mereka yang melarang konten kekejaman.
“Kami tidak dapat mengomentari secara spesifik karena kami belum melihat kasus spesifik,” kata juru bicara TikTok kepada The Independent.
“Namun, sebagai prinsip umum, pedoman komunitas kami menjelaskan bahwa kami tidak menoleransi kekejaman terhadap hewan di platform kami, dan kami mengambil tindakan saat orang melanggar aturan ini - hingga dan termasuk melarang mereka secara permanen dari platform. Kami menggunakan kombinasi teknologi dan moderasi manusia untuk mengidentifikasi dan menghapus konten yang melanggar pedoman komunitas kami.”
ADVERTISEMENT