Investor SoftBank Jadi Dalang Isu Merger Gojek dan Grab di Indonesia

12 Maret 2020 11:59 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Logo Gojek dan Grab Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Logo Gojek dan Grab Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Rumor soal merger dua raksasa ride-hailing Asia Tenggara, Gojek dan Grab, kembali terdengar. Ternyata, rencana itu tidak datang dari masing-masing perusahaan, melainkan dari para investor yang menanamkan modalnya di kedua perusahaan.
ADVERTISEMENT
Gojek yang berbasis di Jakarta mendapatkan penanaman modal dari Tencent dan Google. Sementara Grab yang berkantor pusat di Singapura menerima investasi besar dari SoftBank dan Microsoft.
Pembicaraan merger antara keduanya ini dilakukan untuk pasar di Indonesia, mengingat keduanya sedang sibuk-sibuknya jadi yang lebih unggul di aspal Indonesia selama bertahun-tahun.
"Kekuatan yang bermain di sini lebih tinggi dari sekadar apa yang diinginkan Grab atau Gojek, atau memang tidak diinginkan. Ini adalah tentang sejumlah pemegang saham berpengaruh jangka panjang di kedua perusahaan yang ingin membendung kerugian atau menemukan cara untuk keluar dari investasi mereka," kata salah satu investor Grab, seperti dilansir Financial Times.
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di kawasan Pasar Anyar, Kota Tangerang, Banten, Rabu (11/3). Foto: ANTARA FOTO/Fauzan
Kedua perusahaan transportasi online ini memang memiliki persaingan yang sangat sengit. Pembicaraan terkait rencana menyatukan bisnis keduanya sendiri sudah dilakukan selama dua tahun belakangan.
ADVERTISEMENT
Kabar merger keduanya kembali mencuat, karena Grab dan Gojek kini mendapat tekanan lebih besar dari para investor, salah satunya SoftBank. Meski begitu, belum diketahui apa urgensi perusahaan asal Jepang ini untuk menyatukan kedua startup transportasi online tersebut.
Pendiri dan CEO SoftBank Masayoshi Son baru-baru ini dilaporkan mengunjungi Jakarta untuk melakukan diskusi terkait merger. Ia membahas soal kesepakatan yang akan dihasilkan apabila keduanya bersatu.
"Mengingat dinamika kedua belah pihak sama-sama terbuka, ada kemauan yang lebih besar. Meskipun begitu ada permasalahan kekuasaan yang rumit," ujar salah satu pemegang saham yang berpengaruh.
Masayoshi Son, CEO SoftBank. Foto: Charly Triballeau/AFP
Diskusi soal merger Grab dan Gojek di Indonesia ini memperlihatkan bagaimana lingkungan di Asia telah banyak berubah. Investor lebih mementingkan pertumbuhan dibandingkan keuntungan yang besar.
ADVERTISEMENT
Apabila Grab dan Gojek merger, diperkirakan akan menghasilkan nilai lebih dari 23 miliar dolar AS. NIlai sebesar itu bisa didapat mengingat keduanya rajin ‘bakar duit’ untuk berbagai layanan di aplikasi, mulai dari transportasi online, pesan-antar makanan, hingga platform pembayaran di Indonesia, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
SoftBank sendiri pertama kali menanamkan modal di Grab pada 2014. Perusahaan terus memberikan pendanaan dalam beberapa putaran pendanaan hingga berhenti berinvestasi, setelah perusahaan yang didanai, WeWork, bangkrut pada 2019 lalu.
Sejak saat itu, sejumlah startup mulai ditekan, termasuk perusahaan perhotelan India, OYO, dan perusahaan transportasi online China, Didi Chuxing, untuk mendapatkan lebih banyak pendapatan. Tak terkecuali Grab dan Gojek juga disebut tak menguntungkan.
Belum lagi Grab dan Gojek mendapatkan tekanan yang datang dari Elliott Management Corp, yang merupakan pemegang saham SoftBank. Elliott menuntut SoftBank untuk mengalami perubahan drastis dalam menghadapi kerugian dan penurunan nilai di masa depan.
ADVERTISEMENT
“Ini bukan satu-satunya pilihan tetapi itu adalah opsi yang paling masuk akal. Ada cara rasional untuk memikirkannya yaitu bahwa semua pemegang saham akan menghasilkan banyak uang, Bagian itu sangat mudah," ujar investor itu lagi.
"Tapi kemudian ada masalah manajemen yang kurang rasional. Jika pembicaraan gagal, mereka akan memecah ego manajemen, tentang siapa yang akan melakukan apa," imbuhnya.
Pengemudi ojek online Uber dan Grab di Jakarta. Foto: REUTERS/Beawiharta
Di Indonesia sendiri, terjadinya merger dua perusahaan akan mengakibatkan antitrust yang membuat Grab dan Gojek dapat kena denda atau kesepakatan bisa saja diblokir.
Ketika Grab akuisisi bisnis Uber di Asia Tenggara pada 2018 lalu, kedua perusahaan tersebut didenda 13 juta dolar AS oleh pengawas persaingan usaha Singapura.
Grab menolak berkomentar untuk isu ini, sementara Gojek telah membantah laporan ini. "Tidak ada rencana merger, dan pemberitaan yang beredar di media terkait hal tersebut tidak akurat," kata Nila Marita, Chief Corporate Affairs Gojek.
ADVERTISEMENT