Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Jualan di Medsos Jangan Dilarang, tapi Diatur seperti e-Commerce
26 September 2023 11:56 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, merespons langkah pemerintah mengatur larangan platform media sosial untuk melakukan transaksi, seperti TikTok Shop. Dia menyarankan pemerintah fokus mengatur social commerce seperti e-commerce, daripada melarang perdagangan di media sosial.
ADVERTISEMENT
Larangan jualan di media sosial nanti tertuang dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Regulasi juga mengatur medsos hanya boleh untuk promosi barang dan jasa.
Nailul mengatakan aturan memisahkan social commerce sebagai regulasi yang tak bertaji, karena pada akhirnya algoritma di TikTok Shop bisa digunakan di platform utama TikTok sebagai media sosial. Ditambah, praktik social commerce sudah jamak dilakukan sejak zaman forum internet Kaskus, sehingga larangan bukan solusi yang efektif.
"Praktik pemisahan aplikasi itu sudah biasa dan tidak ada batasan penggunaan data di sister apps untuk kepentingan apps utamanya. Yang ada ya hanya memberikan ruang yang lain saja antara TikTok Shop dengan TikTok medsos," katanya kepada kumparan, Selasa (26/9).
ADVERTISEMENT
Nailul menambahkan, media sosial memegang peran penting dalam proses digitalisasi penjualan UMKM, sebab media sosial berada di urutan kedua dari empat platform yang sering digunakan UMKM untuk jualan online berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik). Peringkat pertama ada instant messenger (aplikasi pesan instan) dan di bawah medsos ada e-commerce atau marketplace dan website.
Urutan tersebut dianggap Nailul sebagai langkah UMKM untuk digitalisasi, dimulai dengan menggunakan WhatsApp yang memiliki jangkauan terbatas, kemudian pindah ke Instagram, Facebook, TikTok, dan lain-lain. Jika sudah berpengalaman, mulai masuk e-commerce atau marketplace macam Tokopedia, Shopee, Bukalapak, dan sebagainya, dan pada akhirnya punya website pribadi.
ADVERTISEMENT
Aturan social commerce harus sama dengan e-commerce
Oleh sebab itu, Nailul menyarankan pemerintah mengatur social-ecommerce untuk disetarakan dengan e-commerce ataupun pedagang offline, mulai dari persyaratan admin hingga perpajakan. Harapannya tercipta aturan main yang setara.
Dia juga mendorong pemerintah untuk memproteksi produk lokal dari produk impor yang masuk melalui social commerce.
Caranya bisa dengan memberikan disinsentif bagi produk impor dengan biaya admin lebih tinggi dan tidak dapat promo dari platform, serta memberikan insentif berupa promo ke produk lokal. Produk impor juga harus menyertakan sertifikasi produk, seperti SNI, halal, BPOM, dan lain sebagainya.
Langkah selanjutnya adalah menyediakan minimal 30 persen etalase platform untuk produk lokal.
"Jadi saya melihat social commerce merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya karena sejatinya interaksi di social media tidak dapat diatur apakah mau jual beli atau interaksi lainnya," ujarnya. "Maka seharusnya ada pengaturan untuk social commerce yang disamakan dengan e-commerce karena prinsipnya kan sama-sama jualan menggunakan internet."
ADVERTISEMENT