Kabel Bawah Laut Bisa Jadi Alat Deteksi Tsunami Alternatif

24 Desember 2018 19:33 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kapal pendarat tank (Landing Craft-Tank) Surya Agung melakukan penambahan kabel bawah laut sistem kelistrikan destinasi wisataTiga Gili. (Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)
zoom-in-whitePerbesar
Kapal pendarat tank (Landing Craft-Tank) Surya Agung melakukan penambahan kabel bawah laut sistem kelistrikan destinasi wisataTiga Gili. (Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)
ADVERTISEMENT
Perairan Selat Sunda pada Sabtu (22/12) malam bergejolak. Tsunami dengan ketinggian 0,9 meter menerjang pesisir Selat Sunda yang meliputi kawasan Anyer, Pandeglang, dan Lampung Selatan.
ADVERTISEMENT
Air laut yang naik ke permukaan itu menyebabkan kerusakan infrastruktur dan korban jiwa serta luka-luka.
Badan Metorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan tsunami Selat Sunda terjadi karena adanya longsoran dari kepundan (kawah) Gunung Anak Krakatau. Kepala BMKG Dwikornita Karnawati menjelaskan longsoran tersebut terjadi diakibatkan adanya gempa vulkanik di Gunung Anak Krakatau.
"Kejadian ini adalah fenomena yang saat ini tidak lazim dan kompleks. Merupakan multifenomena yaitu bencana yang sudah kita berikan peringatan dini gelombang tinggi yang juga akhrinya memicu terjadinya tsunami," jelas Dwikornita, dalam konferensi pers di Kantor BMKG, Jakarta, Senin (24/12).
BMKG mengakui salah satu alat pendeteksi aktivitas Gunung Krakatau kondisinya mati. Akibatnya, tsunami yang disebabkan erupsi Gunung Anak Krakatau itu tidak bisa dideteksi oleh BMKG.
Buoy, alat rekonfirmasi tsunami. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Buoy, alat rekonfirmasi tsunami. (Foto: Pixabay)
Alat pendeteksi tsunami yang digunakan di Indonesia adalah buoy, alat yang mengapung di atas air laut. Buoy berfungsi untuk mengamati pergerakan permukaan air laut dan mendeteksi adanya kenaikan ombak di area-area yang dikenal rawan gempa dan tsunami. Jika terjadi anomali sensor di dalam air laut, maka buoy akan bekerja.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, di Indonesia banyak alat buoy yang tidak berfungsi dengan baik. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mengungkap alat buoy tsunami di Indonesia sudah tidak beroperasi sejak 2012.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkap ada alternatif selain menggunakan alat buoy untuk mendeteksi tsunami. Dijelaskan bahwa alat tersebut lebih efektif dan cepat dalam menangkap bahaya tsunami.
"Jadi ada alternatif lain, yaitu Laser Tsunami Sensor. Jadi prinsipnya itu mengirim cahaya dari darat itu ditembakkan ke dasar laut, lalu ada sensor di dalamnya yang akan kembali menembakkan cahaya tersebut ke pos pantau," kata Madya Bidang Instrumentasi Kebencanaan P2Fisika LIPI, Bambang Widyatmoko, saat dihubungi kumparan, Senin (24/12).
Lebih lanjut Bambang menjelaskan cara kerja Laser Tsunami Sensor adalah menggunakan kabel fiber optik untuk menempatkan alat sensor deteksi tsunami ini.
ADVERTISEMENT
Kabel fiber optik itu akan terhubung dengan pos pemantau yang akan memancarkan cahaya laser dari ujung kabel ke ujung kabel lainnya melalui sensor deteksi.
Ketika terjadi pergerakan air laut yang tidak biasa atau ada tekanan yang berubah, sensor deteksi akan membelokkan cahaya yang akan menjadi tanda peringatan bahaya tsunami ke pos pemantau. Cara ini diklaim lebih cepat dan efisien.
Gambar udara kondisi pesisir Pantai Tanjung Lesung yang di terjang tsunami. (Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar udara kondisi pesisir Pantai Tanjung Lesung yang di terjang tsunami. (Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan)
Plus-minus Laser Tsunami Sensor
Meski dinilai lebih efisien, Bambang menyebutkan pengaplikasian alat deteksi Laser Tsunami Sensor ada nilai positif dan negatif, jika dibandingkan oleh buoy.
"Seperti yang sudah saya katakan, walau pun hanya mengirimkan cahaya dari daratan menuju dasar laut lalu kembali, tetapi itu pakai fiber optik, pakai serat optik yang biasa untuk komunikasi itu. Maka butuh tarik kabel yang memakan biaya yang cukup besar di awal dan waktu yang lama," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan alat Laser Tsunami Sensor dinilai lebih murah dalam hal perawatan dibanding dengan buoy. Alat tersebut tidak memerlukan power supply untuk tetap aktif, berbeda dengan buoy yang memerlukan daya listik.
Pria yang sempat mengembangkan alat Laser Tsunami Sensor di Jepang ini menjelaskan jika menggunakan bouy juga memiliki nilai positif dan negatif, seperti pemasangan awal yang murah dan mahal di perawatan.
"Kalau yang sekarang digunakan pakai bouy pada saat pemasangnya akan jauh lebih murah, hanya tinggal pasang di titik-titik tertentu. Namun buoy itu rentan terhadap vandalisme dan sering kali hilang. Kasus hilangnya buoy tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Jepang," terangnya.
Pekerja melakukan penggelaran kabel bawah laut kelistrikan Tiga Gili di perairan Gili Trawangan, Tanjung, Lombok Utara, NTB. (Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja melakukan penggelaran kabel bawah laut kelistrikan Tiga Gili di perairan Gili Trawangan, Tanjung, Lombok Utara, NTB. (Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)
Bisa pakai Palapa Ring
Bambang melihat Indonesia bisa mengembangkan alat Laser Tsunami Sensor dengan baik. Anggapan itu muncul setelah terbangunnya proyek jaringan kabel serat optik telekomunikasi Palapa Ring. Ia menyebutkan proyek Palapa Ring bisa digunakan untuk menaruh sensor laser tsunami.
ADVERTISEMENT
"Semacam seperti salah salah satu fiber optik itu Palapa Ring bisa 'nebeng' di salah satu titiknya. Kemudian terhubung dengan pos pemantau, Jadi cara seperti itu bisa digunakan," ungkapnya.
Pembangunan proyek kabel laut Palapa Ring di Indonesia terdiri atas tujuh lingkar kecil serat optik untuk wilayah Sumatra, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi, dan Maluku. Pembangunan proyek ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu barat, tengah, dan timur.
Selain untuk telekomunikasi, kabel serat optik juga ternyata bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal, termasuk alat pendeteksi tsunami.