Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
Begitu dengar iPhone rilis, banyak orang, termasuk para Apple fanboy berbondong-bondong ingin membeli gadget ini. Animo masyarakat selalu tinggi bahkan harus mengantre hingga tengah malam.
ADVERTISEMENT
Apa yang membuat antusiasme masyarakat tidak luntur? Meski harga yang super mahal dan ditambah bayang-bayang resesi?
Herry SW, pengamat gadget mengatakan bahwa di Indonesia, iPhone masih menjadi produk ‘status sosial’, yang menjadi simbol bahwa seseorang mampu secara finansial. Faktor gengsi ini menjadi pendorong sendiri bagi masyarakat, khususnya golongan menengah ke atas.
“Prinsipnya begini, jadi iPhone itu, kalau di Indonesia, masih simbol dari lifestyle, jadi pake iPhone itu akan lebih keren, lebih elegan dan lebih gengsi,” ungkap Herry kepada kumparanTECH (7/11).
Menilik ke beberapa dekade lalu, orang-orang ramai-ramai membeli Nokia Communicator juga karena faktor gengsi dan simbol kekayaan. Pun membeli perangkat mahal bukan berarti memanfaatkan semua teknologinya.
“Nokia Communicator itu seolah keren, jadi, status sosial nya naik. Karena itu mereka berlomba-lomba menjadi yang pertama, kemudian dipamer-pamerin.”
ADVERTISEMENT
“Pada masa itu (Nokia Communicator) bisa ngolah dokumen, terima fax, tapi kalau kemudian disurvei, banyak yang menggunakan hanya untuk telepon dan SMS.”
Senada dengan Herry, Lucky Sebastian yang juga pengamat gadget mengungkapkan hal serupa. Kebanyakan masyarakat Indonesia membeli iPhone karena lifestyle.
“Buat di kita itu iPhone itu masih menjadi barang yang memang dicari bukan hanya teknologinya tapi juga sebagai device lifestyle,” jelas Lucky (7/11).
Lucky menambahkan, perangkat mahal menjadi simbol kekayaan terus berlangsung.
“Masih banyak yang menggunakannya sebagai status sosial, kita pernah melihat bahwa ada fenomena iPhone 7 yang repacking dijual murah, laku keras,” lanjut Lucky.
“Mereka menganggap bahwa tidak menggunakan iPhone tidak cool gitu lho, bukan bagian yang memiliki kekayaa lah, orang ingin dipandang punya.”
ADVERTISEMENT
Sekedar lifestyle tapi tidak memanfaatkan fitur sepenuhnya
Ketika seorang membeli perangkat hanya karena lifestyle dan bukan keunggulan teknologi dan fiturnya, hal tersebut berdampak kepada fitur-fitur high end yang tidak terutilisasi secara maksimal.
iPhone sebagaimana yang kita tahu, memiliki fitur-fitur yang eksklusif untuk Ekosistem Apple. Misal jika pengguna hanya menggunakan ponsel iPhone tapi tidak dengan tab, desktop, atau smartwatch Apple, banyak fitur high end yang ujung-ujungnya tidak digunakan.
“Memang yang bisa mengutilisasi (fitur iPhone) secara penuh sangat sedikit menurut saya, mereka yang hidup di ekosistem apple, dan menguasai nya,” ungkap Lucky.
“Kadang beli offline, toko yang membuatkan akun (Apple ID)-nya. Kadang-kadang mereka tidak tahu bagaimana memanfaatkan iCloud dan sistem-sistem lainnya.”
Herry pun sependapat, bahwa pembeli yang dimotivasi karena lifestyle atau tuntutan lingkungan belum tentu paham dan bisa memaksimalkan fitur serta teknologi yang ada di model terbaru iPhone 14.
ADVERTISEMENT
“Ya, kalau kita bilang misal dibilang disurvei acak, mungkin lebih dari setengah belum bisa memanfaatkan dengan maksimal,” ungkap Herry.
“karena bagi mereka sudah menggunakan iPhone kemudian memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti medsos, chatting dan email plus telepon sudah cukup bagi mereka.”
Lucky menambahkan, “ada yang memang berkutat dan menguasai, tapi jumlahnya saya pikir tidak banyak dibanding mereka yang memilikinya hanya sekadar lifestyle, kebanggaan, atau fotografi.”