KPPU Siap Monitoring Starlink, Jaga Persaingan Industri Telekomunikasi RI

29 Mei 2024 20:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Logo Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Foto: Muhammad Fikrie/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Logo Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Foto: Muhammad Fikrie/kumparan
ADVERTISEMENT
Kehadiran Starlink di Indonesia mendapat banyak sorotan dari berbagai pihak, mulai dari pengamat telekomunikasi hingga penyedia jasa internet. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan melakukan pengawasan untuk memastikan persaingan di industri telekomunikasi berjalan sehat.
ADVERTISEMENT
KPPU menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan para pemangku kepentingan untuk membahas dampak kehadiran Starlink di pasar layanan penyedia internet Indonesia. FGD ini digelar di Gedung KPPU, Jakarta, pada Rabu (29/5).
"Saat pemain baru masuk ke pasar, tentunya ini menjadi domain KPPU terkait perilakunya di pasar, dan ini tidak hanya kepada pemain yang baru, tapi juga kepada pemain yang existing," kata Anggota KPPU, Hilman Pujana, kepada wartawan, Rabu (29/5).
Eugenia Mardanugraha dan Hilman Pujana, Anggota KPPU, di Gedung KPPU, Jakarta, Rabu (29/5). Foto: Muhammad Fikrie/kumparan
Ada sejumlah isu yang dibahas selama diskusi berlangsung, salah satunya soal equal playing field yang dikhawatirkan oleh para operator penyedia layanan internet. Kemudian, potensi predatory pricing yang diduga dilakukan Starlink.
Soal predatory pricing, Hilman mengatakan ada salah persepsi yang mengemuka selama ini. Berdasarkan penjelasan pakar ekonomi di FGD KPPU, penetapan biaya langganan lebih murah dari kompetitor, termasuk diskon 40 persen untuk perangkat keras, yang dilakukan Starlink saat ini belum termasuk kategori predatory pricing.
ADVERTISEMENT
Prof. Ine Minara S. Ruky, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), menjelaskan bahwa predatory pricing adalah strategi bisnis dengan niat untuk menyingkirkan persaingan. Penetapan harga layanan Starlink yang lebih murah dari operator lokal belum termasuk predatory pricing.
"Harga predator itu kan maksudnya untuk mencapai posisi monopoli, jadi dia menetapkan harga yang lebih murah dari biaya untuk mendapatkan posisi monopoli setelah semua pesaing yang ada tersingkir dari pasar," jelas Prof. Ine.
"Kalau misalnya menetapkan harga yang lebih murah dengan batasan waktu, itu promosi, promotional pricing atau harga promosi, itu biasa dalam bisnis. Penetrasinya biasanya dalam beberapa bulan atau beberapa minggu, itu tergantung bisnisnya. Namanya harga penetrasi kan biasa bagi pemain baru, itu biasa."
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Starlink Foto: Hadrian/Shutterstock
Ine menambahkan, perusahaan yang melakukan predatory pricing berpotensi mengalami konsekuensi yang cukup signifikan. Mereka harus memiliki kemampuan untuk memulihkan kerugian yang diderita selama masa predatory pricing, dengan cara menetapkan harga yang sangat tinggi (monopoli) kepada konsumennya.
"Untuk berhasil seperti itu, secara teori, sangat sulit. Di industri digital itu tidak biasa," ujarnya.
Hilman memastikan KPPU akan menggelar diskusi lanjutan yang lebih intensif secara parsial. Mereka bakal mengundang pelaku usaha dari berbagai sisi, mulai dari penyedia jasa internet berbasis seluler, kabel serat optik, hingga satelit.