Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Pertanyaan itu dilontarkan Alan Turing pada papernya yang berjudul 'Computing Machinery and Intelligence' di tahun 1950. Namun, matematikawan Inggris itu gagal menjawab pertanyaan tersebut. Itu tak lepas dari kesulitannya dalam mendefinisikan ‘Apa itu mesin?” dan ‘Apa itu berpikir?’.
ADVERTISEMENT
Turing lalu mengubah pertanyaannya jadi lebih praktikal. Yakni, ‘Bagaimana cara kita menguji apakah sebuah 'mesin' benar-benar dapat ‘berpikir’? Dalam papernya, perintis artificial intelligence (AI) itu pun menyodorkan sebuah gim eksperimental. Ia menyebutnya dengan istilah ‘The Imitation Game’ atau yang lebih dikenal sebagai Tes Turing.
Tes Turing tak lepas dari keyakinannya bawah di masa depan ada mesin yang dapat menyamai kecerdasan manusia. Namun bila hal itu terjadi, kata dia, perlu sebuah kriteria absolut untuk mengklasifikasikan apakah mesin itu mampu menyamai kecerdasan manusia atau tidak.
“Sebuah komputer pantas disebut cerdas jika dapat mengecoh manusia agar percaya bahwa ia adalah manusia,” tulis Turing.
Turing mengembangkan tes ini untuk menguji sebuah program dalam melakukan percakapan--pesan yang diketik secara online dengan interpretator (manusia) selama lima menit. Sang interpretator harus menebak apakah percakapan itu dilakukan ke mesin atau manusia. Program tersebut dinyatakan lolos jika mampu mengelabui interpretator kira-kira 30 persen dari waktu percakapan tersebut.
Selama 65 tahun, tak ada AI yang mampu lolos dari tes Turing itu. Baru pada tahun 2014, sebuah program chatbot bernama Eugene Goostman mampu melewati tes Turing. Kala itu, para interpretator di Royal Society, London, Inggris, mengira mereka tengah berbicara dengan anak berusia 13 tahun, padahal mereka sedang berbicara dengan mesin.
ADVERTISEMENT
Gempuran Kecerdasan Buatan
AI atau kecerdasan buatan pun terus berkembang. Tujuan AI adalah sebisa mungkin menyamai kecerdasan manusia. Caranya dengan meniru fungsi kognitif manusia. Mulai dari menganalisis data, memahami pola, mengenali lingkungan sekitar, hingga membuat keputusan.
Namun, AI yang semakin piawai justru menyisakan sejumlah kekhawatiran bagi masa depan umat manusia. Dalam film Terminator, misalnya, tampak bagaimana robot yang punya kecerdasannya justru berbalik menghancurkan peradaban manusia. Belum lagi soal kekhawatiran peran-peran manusia yang terus akan diambil alih oleh mesin.
Kekhawatiran semacam itulah yang ditangkap melalui survei Pew Research pada 2017 lalu. Terungkap bahwa 72 persen warga AS justru khawatir dengan keberadaan kecerdasan buatan. Di sana, implementasi robot-robot yang bisa 'berpikir sendiri' memang sudah terjadi.
ADVERTISEMENT
Amazon.com, misalnya, sudah menerapkan AI dalam urusan pengantaran paket ke konsumen melalui drone sejak tahun ini. Menurut laporan Tech Spot, Drone Amazon menggunakan sistem sense and avoid (SAA) yang memungkinkan untuk beroperasi Beyond the Visual Line of Sight (BVLOS). Praktis, drone itu dapat terbang pada jarak di luar jangkauan visual pilot sambil tetap menghindari orang atau hewan peliharaan.
Jasa self-driving taksi pun mulai menjamur di sejumlah negara. Mulai dari AS, China, hingga Singapura. Di beberapa ruas jalan, meski terbatas, mobil-mobil tanpa driver itu sudah hilir mudik melayani penumpang.
Di San Francisco, misalnya, layanan taksi Cruise diperbolehkan mengambil penumpang hanya pada pukul 22.00 hingga 06.00. Menurut laporan The Guardian, kebijakan itu diambil lantaran pemerintah setempat masih ekstra hati-hati terhadap kemungkinan terburuk.
ADVERTISEMENT
Para seniman pun kini mulai waspada lantaran kecerdasan buatan dapat menciptakan karya seni dengan sangat mudah. Bahkan pada tahun ini, untuk pertama kalinya di dunia, sebuah penghargaan seni dimenangkan oleh kecerdasan buatan. Itu terjadi di kompetisi seni tahunan Colorado State Fair, AS.
Adalah Jason Allen yang mendaftarkan sebuah karya lukisan yang ia buat dengan Midjourney, sebuah program kecerdasan buatan yang mengubah teks menjadi grafis atau lukisan yang sangat realistis. Karya lukis yang dibuat dari software tersebut diberi nama ‘Theatre D’opera Spatial’. Karya tersebut pun kini terus menuai polemik di kalangan para seniman.
Sementara itu, dalam laporan World Economic Forum 2020, 85 juta pekerja di seluruh dunia memang akan digantikan oleh mesin pada tahun 2025 mendatang. Otomatisasi terhadap pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya repetitif sudah tak bisa lagi terelakkan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, World Economic Forum mencatat bahwa akan ada 97 juta peran baru bagi manusia untuk beradaptasi dengan pembagian kerja yang baru antara manusia, mesin, dan algoritma di tahun 2025.
Munculnya Singularitas
Kecerdasan buatan yang terus berkembang dapat menyebabkan terjadinya singularitas. Sejumlah ilmuwan menilai, itu dapat terjadi karena generasi cerdas yang lebih cerdas muncul sangat cepat.
Kecerdasan ini yang memungkinkan munculnya superintelligence yang dapat mengalahkan kecerdasan manusia. Jika itu terjadi, kecerdasan buatan berpotensi menggeser peradaban manusia. Sementara itu, manusia tengah mengalami kesulitan dalam memahami kecerdasan pada level tertentu.
"Singularitas akan terjadi secara utuh pada 2045. Nanti, pada 2029 komputer juga akan memiliki tingkat kecerdasan setara dengan manusia," ujar ilmuwan komputer, Raymond Kurzweill, dalam wawancaranya dengan SXSW seperti dilansir Futurism pada tahun 2017 lalu.
ADVERTISEMENT
Di tahun yang sama, Elon Musk pernah mewanti-wanti keberadaan kecerdasan buatan tersebut. Menurut CEO Tesla dan SpaceX itu, pemerintah harus membuat regulasi terkait kecerdasan buatan sebelum terlambat. Elon Musk sendiri memproduksi mobil yang dapat berjalan sendiri tanpa ada pengemudinya.
"Hingga orang melihat robot turun ke jalan dan membunuh orang-orang, mereka tidak tahu bagaimana harus bereaksi," kata Musk berkomentar.
Salah satu persoalan dari kecerdasan buatan adalah bertumpu pada rasio belaka. Ini tak seperti manusia yang punya kompas moral dan etika dalam menentukan suatu keputusan.
Jauh sebelum kecerdasan buatan itu mengemuka, filsuf Prancis Rene Descartes sudah membayangkan ada teknologi masa depan semacam itu. Hal tersebut ia tuangkan dalam bukunya berjudul 'Discourse on Method' yang terbit pada tahun 1967.
ADVERTISEMENT
"Mesin ini tidak akan pernah mampu mengubah frasa yang sudah tertanam dalam dirinya untuk menanggapi segala macam pertanyaan atau perintah secara tiba-tiba, suatu hal yang bahkan bisa dilakukan oleh orang yang paling bodoh,” tulis Descartes.
Contoh paling nyata adalah kecerdasan buatan yang dibuat oleh Facebook. Mereka dilaporkan lantaran memberi label "primata" di video yang menampilkan orang kulit hitam pada tahun 2020 lalu. Media sosial Mark Zuckerberg itu pun dinilai rasis.
Uniknya, para ilmuwan pun pernah penasaran dengan kecerdasan buatan yang diberikan asupan etika pada tahun 2021 lalu. Ask Delphi, program yang diluncurkan Allen Institute for AI, memungkinkan pengguna untuk memasukkan pertanyaan etis tentang apa pun. Persoalannya, mesin yang dianggap etis tersebut justru tetap bersikap rasis saat ditanya tentang negara-negara di Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kecerdasan buatan memang tak akan pernah memiliki jiwa dan emosi layaknya manusia. Hal itu pun diamini oleh President dan Wakil Konselor di Hong Kong Baptist University, Roland Chin.
"Harus dipikirkan di masa depan manfaatnya bagaimana. Apakah sistem kecerdasan yang akan dibuat bisa membantu atau justru melawan manusia," kata Roland dalam dalam acara EmTech Asia 2020 yang diselenggarakan oleh Koelnmesse Pte Ltd dan MIT Technology Review, Rabu (4/8/2020). .