Pakar Psikologi Ungkap Dampak Buruk Medsos pada Anak Laki-laki dan Perempuan

7 April 2025 11:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para siswa melihat ponsel mereka di Melbourne pada 28 November 2024 ketika Australia berupaya melarang anak-anak di bawah 16 tahun dari media sosial dengan klaim bahwa platform media sosial telah dinodai oleh perundungan dunia maya. Foto: William West/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Para siswa melihat ponsel mereka di Melbourne pada 28 November 2024 ketika Australia berupaya melarang anak-anak di bawah 16 tahun dari media sosial dengan klaim bahwa platform media sosial telah dinodai oleh perundungan dunia maya. Foto: William West/AFP
ADVERTISEMENT
Presiden Prabowo Subianto meneken Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak. Disahkannya PP ini merupakan bentuk upaya pemerintah dalam mencegah anak terpapar dampak buruk atau negatif dari penggunaan media sosial.
ADVERTISEMENT
Prabowo menekankan anak-anak adalah masa depan bangsa sehingga anak-anak Indonesia harus tumbuh dengan sehat secara jiwa dan raga, hingga penuh optimisme. Awal terbentuknya PP ini berasal dari Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid yang menyampaikan keresahan dampak buruk ruang digital bagi anak-anak.
Baru-baru ini, Meutya Hafid, membagikan sebuah wawancara di akun media sosial Instagram miliknya dengan seorang profesor sekaligus pakar psikologi sosial New York University, Jonathan Haidt. Keduanya membahas soal dampak buruk media sosial terhadap anak.
Yang menarik adalah, Haidt mengatakan ada perbedaan dampak buruk media sosial yang dirasakan antara anak laki-laki dan perempuan. Bagi perempuan dampaknya sangat jelas. Media sosial dapat membuat mereka mengalami internalizing disorder atau gangguan internalisasi.
ADVERTISEMENT
Gangguan internalisasi adalah salah satu jenis gangguan emosional dan perilaku. Orang dengan gangguan ini akan mengalami kecemasan, kesepian, bahkan depresi. Menurut Haidt, gangguan internalisasi ini ada hubungan erat dengan menghabiskan waktu di media sosia.
Anak perempuan yang bermain medsos cenderung bakal membandingkan diri dengan ribuan gadis lain, membuat mereka ingin mendapatkan perhatian dari semua orang, mulai dari wajah, rambut, kulit, hingga tubuh.
Ilustrasi dampak buruk medsos bagi anak. Foto: Dragana Gordic/Shutterstock
“Jadi ada hubungan yang sangat jelas antara media sosial untuk anak perempuan dan kecemasan serta depresi. Lalu, ada juga hubungannya dengan gangguan makan. Terlalu banyak waktu di platform media sosial dapat menyebabkan gangguan makan.”
Sementara untuk anak laki-laki, media sosial dapat membuat mereka melakukan beberapa hal yang sangat berbahaya dan merusak. Salah satunya “sexstorts”, atau membagikan foto tidak senonoh kepada orang tidak dikenal.
ADVERTISEMENT
Jadi, menurut Haidt, anak perempuan umumnya tidak akan mengirim foto telanjang dirinya kepada orang asing yang berpura-pura menjadi laki-laki. Sebaliknya, banyak anak laki-laki mengirim foto diri mereka sendiri kepada orang asing yang dikira gadis muda seksi. Ini memicu tindak kejahatan sextortion.
Sekstorsi atau sextortion adalah tindak pemerasan disertai ancaman penyebaran konten eksplisit, intim, atau pribadi dalam bentuk foto dan video seksual, dengan tujuan memperoleh keuntungan berupa tambahan gambar dan video seksual, pemaksaan hubungan seks, uang, dan sebagainya
“Di Snapchat ada sekitar 10.000 laporan sextortion setiap bulan, tidak setiap tahun, setiap bulan 10.000 orang muda menjadi korban sextortion dan banyak dari mereka bunuh diri karena sangat memalukan,” katanya.
“Saya baru saja mendapat daftar 40 kasus bunuh diri yang diketahui, di mana anak laki-laki tersebut bunuh diri saat dia menjadi korban sextortion, dan mungkin ada ribuan kasus lain yang mungkin tidak kita ketahui.”
ADVERTISEMENT

Siapa yang bertanggung jawab?

Melihat dampak negatif yang bisa ditimbulkan ini, maka memang penting untuk membatasi anak bermain media sosial. Haidt bilang, setiap yang menjadi orang tua, maka harus menjadi pengayom anak-anak.
Tak hanya orang tua, guru, kepala sekolah dan semua orang yang bekerja di sekolah, gubernur, semuanya harus ikut berperan dalam menjaga anak-anak dari dampak buruk media sosial. Mereka semua harus menjadi partner.
“Di Amerika, tidak ada perpecahan partisan di pihak kiri, di pihak kanan, republik, demokrat, semua orang mendukung [regulasi pembatasan anak bermain medsos],” paparnya.
Sebelumnya, Meutya sendiri mengungkapkan bahwa kasus pornografi anak di Indonesia masih sangat tinggi, sekitar 5,5 juta lebih dalam 4 tahun terakhir. Angka tersebut menjadi keempat terbesar di dunia. Selain itu, 48 persen anak-anak Indonesia mengalami perundungan online, serta 80 ribu anak Indonesia di bawah usia 10 tahun terpapar judi online.
ADVERTISEMENT
Banyaknya kasus kejahatan digital yang melibatkan anak-anak, Komdigi bersama sejumlah stakeholder, termasuk KPAI, LPAI, Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Save the Children, hingga UNICEF, ikut memberikan dukungan dalam disahkannya aturan PP terbaru ini.
Dalam PP itu, aturan dibuat lebih kepada platform, seperti media sosial, game, hingga platform digital lainnya. Terdapat lima ketentuan utama, seperti dikutip dari keterangan resmi Komdigi, yaitu:
ADVERTISEMENT
“PP ini bukan memberi sanksi kepada orang tua atau pun anak, melainkan sanksi kepada para platform,” ujar Meutya.