Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Peneliti LIPI: Tak Ada Beda Alat Deteksi Tsunami Vulkanik dan Tektonik
24 Desember 2018 16:09 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:51 WIB
ADVERTISEMENT
Indonesia dilanda duka akibat tsunami yang terjadi di perairan Selat Sunda pada Sabtu (22/12) malam. Gelombang tinggi air laut ini menerjang deras ke daerah pesisir Selat Sunda, seperti Anyer, Pandeglang, hingga Lampung Selatan.
ADVERTISEMENT
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tidak mengeluarkan peringatan dini, lantaran tsunami bukan disebabkan karena gempa bumi. BMKG mengaku belum memiliki alat untuk mendeteksi peringatan dini tsunami akibat pergerakan vulkanik gunung berapi.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono. Menurutnya, saat ini baru hanya ada alat deteksi dini tsunami yang diakibatkan oleh gempa tektonik.
"Tentunya, saya sampaikan, untuk kasus tsunami yang diakibatkan oleh aktivitas gunung api memang belum ada peringatan dininya, yang ada hanya peringatan dini tsunami akibat gempa tektonik," tutur Rahmat pada Minggu (23/12) lalu.
Pernyataan Rahmat didukung oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho. Sutop berkata, Indonesia belum mempunyai alat pendeteksi dini terjadinya tsunami yang disebabkan karena longsor bawah laut dan erupsi gunung berapi.
Di lain pihak, Madya Bidang Instrumentasi Kebencanaan P2Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Widyatmoko berkata, tidak ada perbedaan antara alat pendeteksi dini tsunami yang diakibatkan oleh pergerakan gempa tektonik dan vulkanik.
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya, alat untuk mendeteksi tsunami itu sendiri tidak ada bedanya dari apakah itu dibangkitan dengan gempa tektonik dan vulkanik. Jadi tidak ada bedanya untuk mendeteksi tsunami itu sendiri. Nah kenapa BMKG mengatakan seperti itu (karena) tidak mengukur langsung tsunaminya, dia hanya memprediksi dari kegempannya," Kata Bambang saat dihubungi kumparan, Senin (24/12).
Bambang juga menjelaskan pada intinya pendeteksi tsunami adalah sensor tekanan air yang akan mengamati pergerakan anomali air laut. Sensor ini telah ada di alat pendeteksi tsunami, buoy.
"Sekarang kita pakai buoy untuk mendeteksi tsunami. Buoy itu difungsikan untuk memantau pergerakan air laut, jika terjadi anomali, maka sensor akan mengirimkan sinyal ke pos pemantaunya," tuturnya.
Selain itu, hingga saat ini belum ada alat untuk mendeteksi longsoran bawah laut yang bisa menyebabkan gelombang tinggi tsunami. Dia menyatakan "deteksi longsor di dataran telah ada alatnya dan sudah banyak digunakan, namun untuk longsor di bawah laut belum ada sampai saat ini."
Senada dengan Bambang, Pakar Tsunami Institut Teknologi Bandung (ITB) Hamzah Latief menjelaskan, saat ini alat buoy bisa dipergunakan untuk mendeteksi dini tsunami akibat berbagai faktor.
ADVERTISEMENT
"Jadi begini, buoy itu mendeteksi anomali perubahan permukaan laut, jadi bukan hanya tsunami akibat gempa, atau tsunami vulkanik, akibat atmosfer juga bisa dipantau," ungkapnya.
Lebih lanjut, Hamzah menerangkan sensor yang ada pada buoy akan mengirimkan sinyal tanda bahaya, jika menemukan pergerakan anomali permukaan air di sekitar wilayah tersebut.
Buoy Disebut Kurang Efektif
Hamzah dan Bambang menilai, pemerintah belum maksimal dalam memberikan perhatian terhadap alat pendeteksi tsunami yang ada saat ini. Banyaknya aksi vandalisme dan kurangnya alokasi dana untuk perawatan membuatnya tidak berfungsi normal.
"Selama ini tidak ada perhatian khusus untuk membuat buoy berfungsi dengan baik. Cuma kendala vandalisme dan kurang perawatan yang menyebabkan tidak berfungsi. Vandalisme dan alokasi dana untuk me-maintan ke depannya harus pemerintah harus memprioritaskan," ungkap Hamzah.
Menurut Bambang, sebaiknya pemerintah fokus juga untuk mengembangkan alat yang lebih efisien dibandingkan dengan buoy yang memerlukan biaya perawatan yang mahal dan rentan aksi vandalisme.
ADVERTISEMENT
"Sekarang harus berpikir efisien, buoy itu memang saat pemasangan membutuhkan biaya yang tidak mahal. Namun beban biaya perawatannya yang cukup besar, belum lagi vandalisme yang sulit dihindarkan. Butuh pengembangan alat alternalif," katanya.
BNPB sendiri mengungkap alat pendeteksi tsunami atau yang disebut buoy tsunami di Indonesia sudah tidak beroperasi sejak 2012. Menurut Sutopo, hal tersebut dikarenakan vandalisme, terbatasya anggaran, serta kerusakan teknis.
Tsunami Selat Sunda
BMKG mengatakan, gelombang tsunami Selat Sunda ini disebabkan oleh longsoran dari kepundan (kawah) Gunung Anak Krakatau. Longsoran diakibatkan oleh adanya gempa vulkanik dengan kekuatan guncangan 3,4 magnitudo di Gunung Anak Krakatau.
"Fenomena di Selat Sunda tidak lazim dan kompleks multi bencana. Tsunami dipicu secara tidak langsung oleh erupsi (Gunung) Anak Krakatau. Di situ kolapsnya kepundan (kawah) inilah yangg akibatkan longsor bawah laut dan akhirnya menimbulkan tsunami," kata Kepala BMKG Dwikornita Karnawati dalam jumpa pers di Kantor BMKG, Jakarta, Senin (24/12).
ADVERTISEMENT
Menurut data BNPB per Senin (24/12) pukul 07.00 WIB, bencana ini telah menyebabkan 281 orang meninggal dunia dan 1.016 orang luka-luka, serta kerusakan infrastruktur yang belum dihitung total kerugiannya.