Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
ADVERTISEMENT
Jumat (15/3) menjadi salah satu hari yang kelam bagi masyarakat Selandia Baru. Di hari itu, terjadi penembakan brutal di dua masjid kota Christchurch, Selandia Baru. Setidaknya hingga kini jumlah korban meninggal dunia telah mencapai 49 orang dan puluhan lainnya terluka, termasuk dua warga negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam konferensi pers di hari yang sama, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, mengatakan peristiwa tersebut merupakan "salah satu hari paling gelap di Selandia Baru." Dan dia juga menyatakan bahwa ini adalah "aksi teroris."
Berita terkait penembakan Christchurch telah menyebar dengan cepat melalui berbagai platform media sosial, dan juga menjadi headline media massa (TV, radio, dan koran) di berbagai belahan dunia.
Media menyoroti salah satu pelaku bernama Brenton Tarrant. Pria yang diketahui warga negara Australia itu menyiarkan secara langsung aksi sadisnya lewat fitur live streaming di Facebook, memanfaatkan kamera aksi GoPro yang dia pasang di kepalanya.
Tidak hanya itu, Tarrant juga diklaim telah menyebarkan manifesto di internet sebelum menembaki jamaah ibadah salat Jumat di Masjid Al-Noor dan Masjid Linwood Ave.
ADVERTISEMENT
Penyebaran ketakutan dan propaganda melalui media sosial
Sejumlah analis, sebagaimana dilansir BBC, menganggap penembakan massal di Selandia Baru menunjukkan betapa lemahnya media sosial dan cerdiknya pelaku penembakan menyiapkan aksi sadisnya untuk menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat dunia.
Brenton Tarrant melakukan siaran langsung aksinya di Facebook. Meski telah dihapus, video itu sudah terlanjur tersebar hingga lintas platform, baik itu Instagram, Twitter, YouTube, hingga WhatsApp.
Tersebarnya video itu dianggap sebagai tujuan menyebarkan ketakutan dan mencuri perhatian masyarakat di media sosial ataupun menjadi bahan pemberitaan media massa.
Salah satu adegan dalam video Tarrant sebelum menembak, yakni saat dia berteriak "subscribe to PewDiePie", diasumsikan untuk menarik perhatian. Tarrant dianggap tahu bahwa PewDiePie merupakan YouTuber terkenal yang tengah menjadi perhatian karena persaingannya dengan T-Series untuk mendapatkan jumlah subscriber terbanyak.
ADVERTISEMENT
Dan pada akhirnya, PewDiePie pun terpancing untuk meresponsnya. Melalui akun Twitter-nya, PewDiePie mengeluarkan pernyataan bahwa dirinya "benar-benar muak, nama saya diucapkan oleh orang ini."
Manifesto Tarrant juga turut memancing propaganda aksi teror. Dalam manifestonya itu, dia menyebut Fortnite, salah satu game online yang saat ini paling populer di dunia.
Kesadaran masyarakat
Penyebaran video aksi teror yang dilakukan oleh Tarrant menjadi bahan pembelajaran. Di satu sisi berbagai platform media sosial telah menangkal video itu tersebar luas. Namun aksi replikasi yang dilakukan oleh banyak orang tetap menyebarkan video itu terus menyebar.
Ketika video terus menyebar oleh sebagian orang yang menjadi oknum, sebagian masyarakat lainnya memohon kepada orang-orang untuk berhenti membagikannya.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadi semacam perlombaan yang melelahkan, di mana orang-orang terus melaporkan video tersebut, dan platform media sosial telah menghapusnya, tetapi salinannya masih tetap diunggah dan dibagikan dengan cepat.
Penyebaran terjadi sangat cepat terutama melalui aplikasi pesan WhatsApp. Aplikasi ini memiliki kebijakan privasi yang sulit dipantau untuk melihat penyebaran video penembakan di Selandia Baru.
Penyebaran video sadis Tarrant yang bermula di Facebook ini sulit dicegah. Oleh karena, itu sangat penting bagi pengelola media sosial untuk segera memoderasi video dengan cepat sehingga tidak menyebar ke platform lain.
Sayangnya, saat ini moderasi media sosial tidak diarahkan untuk menganalisis konten secara langsung. Ibarat peribahasa, "Seperti menemukan jarum di tumpukan jerami data yang mengalir melalui jaringan sepanjang waktu," kata Charles Seife, profesor di NYU School Jurnalisme, sebagaimana dilansir Technology Review.
ADVERTISEMENT
Seife menambahkan bahwa media sosial Facebook sebenarnya dapat meminta pengguna untuk melaporkan konten siaran langsung sebelum membiarkannya tersebar untuk mengurangi risiko.
Tidak hanya punya sistem moderasi yang rentan, media sosial seperti Facebook juga dianggap memiliki kesalahan algoritma. Memang saat ini kebanyakan platform media sosial memakai algoritma yang tidak memprioritaskan konten-konten mencurigakan. Tetapi, seorang Profesor University of Southern California, Mike Ananny, mengatakan algoritma di media sosial ini mungkin justru menguntungkan atau membuat populer konten-konten video yang bersifat menyerang, seperti video yang mengandung kekerasan dan kebencian.
Terlepas dari lemahnya sistem media sosial yang sehari-hari kita gunakan, kita sebagai masyarakat tetaplah diminta untuk tak lagi menyebar konten video aksi penembakan di Selandia Baru itu di platform media sosial mana pun.
ADVERTISEMENT
Di indonesia, ada sanksi yang dapat dikenakan untuk para penyebar video penembakan di Selandia Baru karena video tersebut mengandung aksi kekerasan. Penyebaran konten berisi kekerasan seperti ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Salah satu pasal dalam UU ITE tersebut, yakni Pasal 45B, berbunyi: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
ADVERTISEMENT